Menimbang Remunerasi dan Kinerja KPK
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
SAAT ini masyarakat sedang berpolemik perihal usulan kenaikan gaji unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gaji dan remunerasi lain dari pimpinan KPK saat ini sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 82 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No 29 Tahun 2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol dan Perlindungan Keamanan bagi Pimpinan KPK. Ihwal terjadinya polemik di masyarakat adalah adanya rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang akan mengubah PP No 82 Tahun 2015. Hal yang dipolemikkan adalah rencana kenaikan gaji dan remunerasi unsur pimpinan KPK saat PP berubah.
Pada saat yang bersamaan juga mencuat polemik tentang anggaran pembelian mobil dinas pimpinan dan Dewan Pengawas KPK. Memang kalangan internal KPK sendiri juga belum satu suara yang antara lain dibuktikan dengan sikap Dewan Pengawas KPK yang menolak pengadaan mobil tersebut. Isu pengusulan RPP atas perubahan PP No 82 Tahun 2015 yang munculnya bersamaan dengan pembahasan anggaran mobil dinas inilah yang memicu reaksi dari masyarakat.
Sebenarnya persoalan perubahan remunerasi pejabat negara adalah hal yang wajar dan tidak perlu dipersoalkan. Jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 36/PUU-XV/2017 yang menyebutkan KPK adalah bagian dari eksekutif, salah satu konsekuensinya adalah remunerasi unsur pimpinan KPK. Jadi dengan adanya putusan MK tersebut seharusnya persoalan remunerasi unsur pimpinan KPK telah memiliki pedoman, yakni pedoman remunerasi bagi eksekutif dalam golongan yang sama.
Demikian juga dengan prosedur peninjauan remunerasi maupun kenaikan gaji unsur pimpinan KPK yang seharusnya memedomani ketentuan yang berlaku bagi eksekutif sebagaimana mengacu pada putusan MK sehingga seharusnya tak memicu polemik. Sejatinya remunerasi bagi eksekutif termasuk dalam hal ini pimpinan KPK telah memiliki norma hukum sebagai pedoman dan dasar penetapan.
Norma versus Faktor Sosiologis
Sebagaimana telah dijelaskan, peninjauan gaji dan remunerasi bagi pejabat tinggi negara adalah hal yang lumrah. Praktik tersebut juga telah terjadi di seluruh dunia. Namun yang menjadi persoalan adalah momentum pengusulan tersebut. Secara normatif peninjauan remunerasi memang memiliki pedoman, tetapi momentum pengusulan tersebut tidak tepat. Secara sosiologis pengusulan RPP perubahan terhadap PP No 82 Tahun 2015 dan penganggaran mobil dinas pimpinan dan Dewan Pengawas KPK dipandang mengesampingkan kesulitan yang dihadapi masyarakat atas berbagai dampak yang timbul akibat kondisi pandemi korona (Covid-19).
Secara sosiologis pengusulan tersebut dipandang tidak tepat karena pengusulan penyesuaian remunerasi dilakukan dalam kondisi APBN yang minus, pertumbuhan ekonomi minus hingga 6,5% (bahkan mungkin lebih), kondisi perekonomian resesi sehingga melahirkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang pada 2020 telah mencapai 4 juta pekerja. Masalah lain adalah naiknya angka kemiskinan serta turunnya pendapatan negara. Dengan kondisi demikian dipandang tidak tepat jika dilakukan penyesuaian (baca: kenaikan) remunerasi bagi pimpinan KPK dan penganggaran mobil dinas baru.
Dalam kondisi perekonomian yang tertekan, banyak instansi pemerintah dan BUMN yang justru melakukan pemotongan gaji maupun remunerasi lainnya. Kondisi serupa juga terjadi di banyak negara, utamanya setelah pandemi melanda. Pada akhirnya apa yang diusulkan tersebut adalah bentuk hedonisme pejabat negara.
Menimbang Kinerja
RPP Perubahan remunerasi dan penganggaran mobil dinas dipandang terlalu subjektif karena tidak didasarkan pada kondisi objektif yang valid untuk mendasari dilakukannya penyesuaian. Mengapa? Alasannya adalah unsur pimpinan dan Dewan Pengawas KPK baru dilantik pada tahun lalu atau masa kerjanya baru setahun. Pimpinan KPK periode 2019-2023 juga dipandang belum banyak memberikan kontribusi optimal atas pemberantasan korupsi. Disebut belum optimal karena masih banyak kasus lama yang "menggantung" di KPK, minimnya operasi tangkap tangan (OTT) yang bisa menimbulkan efek jera hingga mulai terbitnya budaya baru, yakni terbitnya surat perintah penghentian penyidikan di KPK (SP3).
Menimbang kondisi yang ada tersebut, pemerintah sebaiknya menghentikan pembahasan RPP Perubahan remunerasi bagi pimpinan KPK. Demikian juga anggaran pengadaan mobil dinas juga perlu ditunda dengan pertimbangan sosiologis maupun pertimbangan kinerja. Anggaran tersebut dapat dialihkan untuk hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat. Menjadi pimpinan maupun Dewan Pengawas KPK adalah bentuk pengabdian dan tentu para pejabat tersebut tidak semata mengejar materi dengan jabatan yang diemban tersebut.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
SAAT ini masyarakat sedang berpolemik perihal usulan kenaikan gaji unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gaji dan remunerasi lain dari pimpinan KPK saat ini sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 82 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No 29 Tahun 2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol dan Perlindungan Keamanan bagi Pimpinan KPK. Ihwal terjadinya polemik di masyarakat adalah adanya rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang akan mengubah PP No 82 Tahun 2015. Hal yang dipolemikkan adalah rencana kenaikan gaji dan remunerasi unsur pimpinan KPK saat PP berubah.
Pada saat yang bersamaan juga mencuat polemik tentang anggaran pembelian mobil dinas pimpinan dan Dewan Pengawas KPK. Memang kalangan internal KPK sendiri juga belum satu suara yang antara lain dibuktikan dengan sikap Dewan Pengawas KPK yang menolak pengadaan mobil tersebut. Isu pengusulan RPP atas perubahan PP No 82 Tahun 2015 yang munculnya bersamaan dengan pembahasan anggaran mobil dinas inilah yang memicu reaksi dari masyarakat.
Sebenarnya persoalan perubahan remunerasi pejabat negara adalah hal yang wajar dan tidak perlu dipersoalkan. Jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 36/PUU-XV/2017 yang menyebutkan KPK adalah bagian dari eksekutif, salah satu konsekuensinya adalah remunerasi unsur pimpinan KPK. Jadi dengan adanya putusan MK tersebut seharusnya persoalan remunerasi unsur pimpinan KPK telah memiliki pedoman, yakni pedoman remunerasi bagi eksekutif dalam golongan yang sama.
Demikian juga dengan prosedur peninjauan remunerasi maupun kenaikan gaji unsur pimpinan KPK yang seharusnya memedomani ketentuan yang berlaku bagi eksekutif sebagaimana mengacu pada putusan MK sehingga seharusnya tak memicu polemik. Sejatinya remunerasi bagi eksekutif termasuk dalam hal ini pimpinan KPK telah memiliki norma hukum sebagai pedoman dan dasar penetapan.
Norma versus Faktor Sosiologis
Sebagaimana telah dijelaskan, peninjauan gaji dan remunerasi bagi pejabat tinggi negara adalah hal yang lumrah. Praktik tersebut juga telah terjadi di seluruh dunia. Namun yang menjadi persoalan adalah momentum pengusulan tersebut. Secara normatif peninjauan remunerasi memang memiliki pedoman, tetapi momentum pengusulan tersebut tidak tepat. Secara sosiologis pengusulan RPP perubahan terhadap PP No 82 Tahun 2015 dan penganggaran mobil dinas pimpinan dan Dewan Pengawas KPK dipandang mengesampingkan kesulitan yang dihadapi masyarakat atas berbagai dampak yang timbul akibat kondisi pandemi korona (Covid-19).
Secara sosiologis pengusulan tersebut dipandang tidak tepat karena pengusulan penyesuaian remunerasi dilakukan dalam kondisi APBN yang minus, pertumbuhan ekonomi minus hingga 6,5% (bahkan mungkin lebih), kondisi perekonomian resesi sehingga melahirkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang pada 2020 telah mencapai 4 juta pekerja. Masalah lain adalah naiknya angka kemiskinan serta turunnya pendapatan negara. Dengan kondisi demikian dipandang tidak tepat jika dilakukan penyesuaian (baca: kenaikan) remunerasi bagi pimpinan KPK dan penganggaran mobil dinas baru.
Dalam kondisi perekonomian yang tertekan, banyak instansi pemerintah dan BUMN yang justru melakukan pemotongan gaji maupun remunerasi lainnya. Kondisi serupa juga terjadi di banyak negara, utamanya setelah pandemi melanda. Pada akhirnya apa yang diusulkan tersebut adalah bentuk hedonisme pejabat negara.
Menimbang Kinerja
RPP Perubahan remunerasi dan penganggaran mobil dinas dipandang terlalu subjektif karena tidak didasarkan pada kondisi objektif yang valid untuk mendasari dilakukannya penyesuaian. Mengapa? Alasannya adalah unsur pimpinan dan Dewan Pengawas KPK baru dilantik pada tahun lalu atau masa kerjanya baru setahun. Pimpinan KPK periode 2019-2023 juga dipandang belum banyak memberikan kontribusi optimal atas pemberantasan korupsi. Disebut belum optimal karena masih banyak kasus lama yang "menggantung" di KPK, minimnya operasi tangkap tangan (OTT) yang bisa menimbulkan efek jera hingga mulai terbitnya budaya baru, yakni terbitnya surat perintah penghentian penyidikan di KPK (SP3).
Menimbang kondisi yang ada tersebut, pemerintah sebaiknya menghentikan pembahasan RPP Perubahan remunerasi bagi pimpinan KPK. Demikian juga anggaran pengadaan mobil dinas juga perlu ditunda dengan pertimbangan sosiologis maupun pertimbangan kinerja. Anggaran tersebut dapat dialihkan untuk hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat. Menjadi pimpinan maupun Dewan Pengawas KPK adalah bentuk pengabdian dan tentu para pejabat tersebut tidak semata mengejar materi dengan jabatan yang diemban tersebut.