Pernyataan Menkominfo soal Hoaks Dinilai Tidak Demokratis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate terkait berita bohong (hoaks) yang disampaikan dalam wawancara Mata Najwa terkait protes Undang-undang Cipta Kerja, Rabu 14 Oktober 2020 menuai kontroversi.
Dalam wawancara itu, Johnny mengatakan jika pemerintah menyatakan sesuatu sebagai hoaks maka hal itu adalah hoaks.
Pakar komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Emrus Sihombing mengatakan, pernyataan Menkominfo tersebut berpotensi seolah memposisikan pemerintahan sebagai penafsir tunggal dan atau pihak yang memonopoli kebenaran di ruang publik. Akibatnya, muncul berbagai pandangan yang kontra.
"Saya belum menemukan yang pro. Tentu, pandangan menteri tersebut tidak dikehendaki pencetus dan para pejuang demokrasi yang mengedepankan kesetaraan komunikasi pada semua konteks sosial," ujar Emrus Sihombing, Minggu (18/10/2020).( )
Menurut Direktur Eksekutif EmrusCorner ini, pernyataan tersebut sangat tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu di antaranya adalah bahwa pemerintah senantiasa bersama-sama dengan rakyat, berdialog dan berdialektika. Ada kesetaraan menuju suasana komunikasi yang saling memahami satu dengan lain.
Dia mengatakan, hal ini terjadi salah satunya karena Menkominfo tidak sebagai komunikolog tulen. "Lain halnya jika Menteri Komunikasi dari seorang komunikolog tulen. Sebab, seorang komunikolog tulen selalu mengedepankan dialog dan manajemen komunikasi kesetaraan karena menguasai dan paham betul konsep dan teori komunikasi serta suasana sosial politik dalam berdialektika di ruang publik," urainya.( )
Karena itu, menurut dia, jabatan menteri, selain mempertimbangkan aspek politik juga mutlak harus memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang kerja kementerian.
"Artinya, Menkominfo selayaknya komunikolog tulen yang keilmuannya linear," ujarnya.
Dalam wawancara itu, Johnny mengatakan jika pemerintah menyatakan sesuatu sebagai hoaks maka hal itu adalah hoaks.
Pakar komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Emrus Sihombing mengatakan, pernyataan Menkominfo tersebut berpotensi seolah memposisikan pemerintahan sebagai penafsir tunggal dan atau pihak yang memonopoli kebenaran di ruang publik. Akibatnya, muncul berbagai pandangan yang kontra.
"Saya belum menemukan yang pro. Tentu, pandangan menteri tersebut tidak dikehendaki pencetus dan para pejuang demokrasi yang mengedepankan kesetaraan komunikasi pada semua konteks sosial," ujar Emrus Sihombing, Minggu (18/10/2020).( )
Menurut Direktur Eksekutif EmrusCorner ini, pernyataan tersebut sangat tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu di antaranya adalah bahwa pemerintah senantiasa bersama-sama dengan rakyat, berdialog dan berdialektika. Ada kesetaraan menuju suasana komunikasi yang saling memahami satu dengan lain.
Dia mengatakan, hal ini terjadi salah satunya karena Menkominfo tidak sebagai komunikolog tulen. "Lain halnya jika Menteri Komunikasi dari seorang komunikolog tulen. Sebab, seorang komunikolog tulen selalu mengedepankan dialog dan manajemen komunikasi kesetaraan karena menguasai dan paham betul konsep dan teori komunikasi serta suasana sosial politik dalam berdialektika di ruang publik," urainya.( )
Karena itu, menurut dia, jabatan menteri, selain mempertimbangkan aspek politik juga mutlak harus memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang kerja kementerian.
"Artinya, Menkominfo selayaknya komunikolog tulen yang keilmuannya linear," ujarnya.
(dam)