Perludem Paparkan Masalah dalam Pemilihan Nasional dan Daerah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sistem pemilihan umum ( pemilu ) di Indonesia, baik nasional maupun daerah memiliki kelemahan dan bermasalah. Yang paling terlihat adalah pemilihan langsung lima kotak dalam satu hari, yakni presiden (pilpres), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, kabupaten, dan kota.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ), Titi Anggraini mengatakan penyelenggaraan pemilihan lima kotak pada tahun 2019 itu berat, kompleks, dan rumit. Pemilih cenderung menjadi tidak rasional. (Baca juga: PM Palestina: Tuhan Bantu Kami Jika Trump Menang Pemilu)
“Atensinya kepada pemilihan presiden. Tidak konsentrasi terhadap pemilihan legislatif. Penyelenggara pemilu kelelahan,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Evaluasi 15 Tahun Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada Langsung”, Kamis (15/10/2020).
Titi menjelaskan pilkada serentak itu membuat isu-isu mengenai daerah terpinggirkan oleh pilpres. Surat suara yang tidak sah untuk pemilihan DPRD dan DPD cukup tinggi. Hal itu diakibatkan distribusi isu yang tidak setara.
Efek ekor jas yang awalnya digembor-gemborkan akan terjadi, ternyata tidak. Figur nasional, terutama dua calon presiden tidak mampu mengerek suara partai yang mengusungnya. Hanya partai tempat bernaungnya dua calon presiden yang memperoleh insentif elektoral.
Pola pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung pun dinilai bermasalah. Pilkada sekarang identik dengan biaya mahal. Ujungnya, kepala daerah melakukan korupsi ketika menjabat.
Titi memaparkan hubungan ekssekutif dan legislatif, dalam hal ini DPRD, cenderung transaksional. Pengawasan DPRD kepada kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota lemah. (Baca juga: Pilkada di Masa Pandemi, Perlu Ada Jaminan dari Penyelenggara Pemilu)
“Kasus korupsi di daerah, kepala daerah menyuap DPRD, seperti Bupati Lampung Tengah Mustafa. Lalu, kepala daerah disuap kelompok bisnis, seperti kasus di Subang,” pungkasnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ), Titi Anggraini mengatakan penyelenggaraan pemilihan lima kotak pada tahun 2019 itu berat, kompleks, dan rumit. Pemilih cenderung menjadi tidak rasional. (Baca juga: PM Palestina: Tuhan Bantu Kami Jika Trump Menang Pemilu)
“Atensinya kepada pemilihan presiden. Tidak konsentrasi terhadap pemilihan legislatif. Penyelenggara pemilu kelelahan,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Evaluasi 15 Tahun Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada Langsung”, Kamis (15/10/2020).
Titi menjelaskan pilkada serentak itu membuat isu-isu mengenai daerah terpinggirkan oleh pilpres. Surat suara yang tidak sah untuk pemilihan DPRD dan DPD cukup tinggi. Hal itu diakibatkan distribusi isu yang tidak setara.
Efek ekor jas yang awalnya digembor-gemborkan akan terjadi, ternyata tidak. Figur nasional, terutama dua calon presiden tidak mampu mengerek suara partai yang mengusungnya. Hanya partai tempat bernaungnya dua calon presiden yang memperoleh insentif elektoral.
Pola pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung pun dinilai bermasalah. Pilkada sekarang identik dengan biaya mahal. Ujungnya, kepala daerah melakukan korupsi ketika menjabat.
Titi memaparkan hubungan ekssekutif dan legislatif, dalam hal ini DPRD, cenderung transaksional. Pengawasan DPRD kepada kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota lemah. (Baca juga: Pilkada di Masa Pandemi, Perlu Ada Jaminan dari Penyelenggara Pemilu)
“Kasus korupsi di daerah, kepala daerah menyuap DPRD, seperti Bupati Lampung Tengah Mustafa. Lalu, kepala daerah disuap kelompok bisnis, seperti kasus di Subang,” pungkasnya.
(kri)