Kehilangan Hak Eksklusif, PT Pos Indonesia Gugat UU Pos ke MK

Rabu, 14 Oktober 2020 - 19:46 WIB
loading...
Kehilangan Hak Eksklusif,...
Persidangan pembacaan perbaikan permohonan uji materiil UU Pos yang diajukan PT Pos Indonesia (Persero). Foto/YouTube Mahkamah Konstitusi
A A A
JAKARTA - PT Pos Indonesia (Persero) mengajukan gugatan uji materiil atas delapan pasal dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (UU Pos) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa kehilangan hak eksklusifnya sebagai pos negara.

Gugatan diajukan PT Pos Indonesia (Persero) sebagai pemohon I diwakili oleh Direktur Hubungan Strategis dan Kelembagaan PT Pos Indonesia Noer Fajrieansyah dan Harry Setya Putra sebagai pemohon II. Gugatan para pemohon teregister dengan nomor perkara: 78/PUU-XVII/2020. Para pemohon didampingi hukum Tegar Yusuf AN dkk.

Persidangan perkara a quo ditangani oleh hakim panel konstitusi yang dipimpin oleh Wahiduddin Adams dengan anggota Suhartoyo dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Pada persidangan secara virtual, Rabu (14/10/2020), para pemohon melalui kuasa hukumnya membacakan perbaikan permohonan. ( )

Secara spesifik, PT Pos dan Harry Setya Putra menguji Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 8, Pasal 15, Pasal 27 ayat (2), Pasal 30, Pasal 46, Pasal 51 UU Pos, Pasal 4, dan Pasal 29 ayat (2) terhadap UUD 1945. Menurut para pemohon, seluruh pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, serta bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Gugatan ini berkurang satu pasal yakni Pasal 8 UU Pos yang sebelumnya ada dalam berkas permohonan awal.

Perbaikan permohonan dibacakan oleh Tegar Yusuf AN dan Widat, kuasa hukum PT Pos. Tegar menyatakan, pihaknya telah memperbaiki beberapa poin dalam berkas permohonan yang telah dikirimkan dan diterima Kepaniteraan MK. Di antaranya, status dan kedudukan hukum PT Pos serta kedudukan Direktur Hubungan Strategis dan Kelembagaan PT Pos Indonesia Noer Fajrieansyah yang mewakili perusahaan sebagai pemohon I dalam gugatan perkara a quo.

Kedudukan hukum pemohon I, tutur Tegar, sesuai dengan Pasal 98 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Secara utuh pasal ini berbunyi, "(1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. (2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar." Dia juga membacakan akta notaris pendirian PT Pos Indonesia (Persero) sebagai perusahaan BUMN. ( DPR Sebut Peran PT Pos Indonesia Strategis dalam Ekosistem Logistik Nasional )

"Yang kami perbaiki juga perseroan diwakili oleh Noer Fajrieansyah dalam kapasitasnya sebagai Direktur Hubungan Strategis dan Kelembagaan PT Pos Indonesia dan seterusnya sesuai dengan Pasal 98 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Akta Pendirian Perseroan ini juga dinyatakan bahwa direksi berhak dan berwenang mewakili PT Pos Indonesia dalam perkara a quo," ujar Tegar.

Perbaikan berikutnya, tutur Tegar, terkait dengan alasan permohonan untuk Pasal 1 angka 2 UU Pos yang berbunyi, "Penyelenggara Pos adalah suatu badan usaha yang menyelenggarakan pos." Pasal 1 angka 1 ini, bagi para pemohon bertentangan dengan semangat penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak.

Dia membeberkan, penjabaran siapa saja yang dimaksud sebagai penyelenggara pos tidak hanya Pasal 1 angka 2 UU Pos tapi juga diatur dalam ketentuan norma Pasal 4 UU Pos. Pasal 4 secara umum, ujar Tegar, menjabarkan bahwa penyelenggaraan pos dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum Indonesia. Badan usaha ini terdiri atas badan usaha milik negara,badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi.

"Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Pos mengakibatkan pemohon I kehilangan hak eksklusifnya sebagai pos negara dan bahkan menjadi tidak ada bedanya dengan penyelenggara pos non-negara. Di sisi lain sebagai pos negara, juga masih dibebani kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum. Dengan tidak adanya batasan yang ketat mengenai definisi penyelenggara pos dalam Pasal 1 angka (2) UU Pos, pemohon I menjadi kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan kinerja guna memperoleh keuntungan yang maksimal di wilayah-wilayah yang justru berpotensi memberikan keuntungan untuk pemohon I," tegas Tegar.

Widat menyatakan, khusus untuk ketentuan Pasal 51 UU Pos maka bagi para pemohon bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Untuk memperkuat permohonan, kata dia, para pemohon menambahkan argumentasi tentang upaya penyehatan perusahaan BUMN yang telah diatur dalam Pasal 1 UU BUMN. Pasal ini secara utuh berbunyi, "Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan."

Widat mengungkapkan, atas dasar restrukturisasi seperti dalam Pasal 1 UU BUMN maka pemohon I menilai bahwa restrukturisasi agar badan usaha dapat melakukan pelayanan yang terbaik itu justru harus menghadirkan peran negara. Tapi di sisi lain, ketentuan pada UU Pos tidak dimaknai secara jelas dan ketat akan hal itu. Perbaikan berikutnya, tutur dia, ada pada poin petitum.

Berdasarkan hal-hal yang disebutkan dalam berkas perbaikan permohonan, maka para pemohon meminta Ketua MK yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan enam hal. Pertama, mengabulkan seluruh permohonan ini. Kedua, menyatakan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 4 UU Pos bertentangan dengan pasal 33 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Ketiga, menyatakan Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4) dan Pasal 15 ayat (5) UU Pos bertentangan dengan Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Keempat, menyatakan frasa "upaya penyehatan" dalam Pasal 51 UU Pos bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai sebagai upaya penyehatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bab VIII Pasal 72 dan Pasal 73 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Kelima, menyatakan kata "Kiriman" dalam Pasal 1 angka 8 UU Pos bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang kata tersebut juga tidak dimaknai sebagai surat. Keenam, memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

"Atau, apabila Mahkamah berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ujar Widat.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1124 seconds (0.1#10.140)