Pemerintah Diminta Waspadai Risiko Pengangguran Akibat Tutupnya Pabrik Rokok
loading...
A
A
A
"Dampak negatifnya, golongan menengah dan kecil yang menyerap tenaga kerja cukup tinggi akan gulung tikar. Jumlah pabrik rokok golongan menengah dan kecil jumlahnya cukup banyak terutama di Jawa Timur, kalau ini dilakukan, terjadi PHK secara besar-besaran,” sambungnya.
Lebih lanjut, beberapa pertimbangan yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan simplifikasi cukai bahwa IHT di Indonesia sangat beragam dari aspek modal, jenis, hingga cakupan pasar. (Baca juga: Duh, Anak Muda dan Pendidikan Rendah Dominasi Pengangguran di Indonesia)
“Pemerintah mesti memperhatikan keberlangsungan lapangan pekerjaan bagi para tenaga kerja dan pelaku yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap IHT. Jangan sampai aturan tersebut menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat melalui praktik oligopoli bahkan monopoli," tutur Firman.
Firman menambahkan jika peraturan simplifikasi cukai dilakukan, tren investasi di sektor IHT akan menurun dan mengancam pabrikan rokok nasional. “Sebaiknya pemerintah harus mengutamakan kepentingan industri rokok nasional. Dibutukan regulasi yang melindungi industri hasil tembakau nasional,” tegasnya.
Peneliti Senior Universitas Padjadjaran (Unpad), Bayu Kharisma menuturkan jika simplifikasi tarif cukai tembakau diterapkan justru berpotensi menurunkan penerimaan negara. Hal itu tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang ingin meningkatkan sumber penerimaan negara.
"Oleh karena itu, pemerintah harus mengkaji secara matang dan hati-hati, bahkan tidak perlu dilakukan dengan tetap mempertahankan kebijakan struktur tarif cukai yang ada sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018 sebagai revisi PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau," kata Bayu.
Menurutnya, untuk melihat pengaruh dari simplifikasi tarif cukai rokok terhadap penerimaan negara, harus menggunakan model dan metode ekonometrik. Data yang digunakan adalah panel data, di mana jenis rokok sebagai observasi dan waktu yang digunakan antara Januari 2014-April 2019.
"Hasil analisis regresi menunjukan, variabel simplifikasi tarif cukai rokok berpengaruh negatif signifikan terhadap variabel penerimaan negara. Hasil ini konsisten ketika kami menambah maupun mengganti variabel kontrol dari model. Turunnya penerimaan negara diduga diakibatkan adanya penurunan penjualan rokok setelah diberlakukan simplifikasi," tutur Bayu.
Lebih lanjut, simplifikasi tarif cukai juga berdampak dari sisi persaingan usaha. Wacana simplifikasi berpotensi akan mendorong ke arah monopoli. “Maka, kebijakan cukai dan struktur tarif cukai yang ada saat ini perlu dipertahankan sebagai bagian keberpihakan pemerintah pada industri rokok secara nasional, bukan pada perusahaan rokok golongan I saja," tegas Bayu.
"Jika direalisasikan, kebijakan ini akan sangat merugikan bagi pendapatan pajak negara," pungkasnya.
Lebih lanjut, beberapa pertimbangan yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan simplifikasi cukai bahwa IHT di Indonesia sangat beragam dari aspek modal, jenis, hingga cakupan pasar. (Baca juga: Duh, Anak Muda dan Pendidikan Rendah Dominasi Pengangguran di Indonesia)
“Pemerintah mesti memperhatikan keberlangsungan lapangan pekerjaan bagi para tenaga kerja dan pelaku yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap IHT. Jangan sampai aturan tersebut menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat melalui praktik oligopoli bahkan monopoli," tutur Firman.
Firman menambahkan jika peraturan simplifikasi cukai dilakukan, tren investasi di sektor IHT akan menurun dan mengancam pabrikan rokok nasional. “Sebaiknya pemerintah harus mengutamakan kepentingan industri rokok nasional. Dibutukan regulasi yang melindungi industri hasil tembakau nasional,” tegasnya.
Peneliti Senior Universitas Padjadjaran (Unpad), Bayu Kharisma menuturkan jika simplifikasi tarif cukai tembakau diterapkan justru berpotensi menurunkan penerimaan negara. Hal itu tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang ingin meningkatkan sumber penerimaan negara.
"Oleh karena itu, pemerintah harus mengkaji secara matang dan hati-hati, bahkan tidak perlu dilakukan dengan tetap mempertahankan kebijakan struktur tarif cukai yang ada sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018 sebagai revisi PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau," kata Bayu.
Menurutnya, untuk melihat pengaruh dari simplifikasi tarif cukai rokok terhadap penerimaan negara, harus menggunakan model dan metode ekonometrik. Data yang digunakan adalah panel data, di mana jenis rokok sebagai observasi dan waktu yang digunakan antara Januari 2014-April 2019.
"Hasil analisis regresi menunjukan, variabel simplifikasi tarif cukai rokok berpengaruh negatif signifikan terhadap variabel penerimaan negara. Hasil ini konsisten ketika kami menambah maupun mengganti variabel kontrol dari model. Turunnya penerimaan negara diduga diakibatkan adanya penurunan penjualan rokok setelah diberlakukan simplifikasi," tutur Bayu.
Lebih lanjut, simplifikasi tarif cukai juga berdampak dari sisi persaingan usaha. Wacana simplifikasi berpotensi akan mendorong ke arah monopoli. “Maka, kebijakan cukai dan struktur tarif cukai yang ada saat ini perlu dipertahankan sebagai bagian keberpihakan pemerintah pada industri rokok secara nasional, bukan pada perusahaan rokok golongan I saja," tegas Bayu.
"Jika direalisasikan, kebijakan ini akan sangat merugikan bagi pendapatan pajak negara," pungkasnya.