Para Tokoh KAMI yang Ditangkap Disarankan Ajukan Praperadilan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Hukum asal Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menyatakan tindakan penangkapan merupakan bagian dari upaya paksa dalam penegakan hukum. Secara prosedur, substansi, dan kewenangan, penangkapan harus dilakukan dengan baik dan benar.
Penangkapan semestinya dilakukan dengan berdasarkan pada alat bukti yang cukup, bahwa yang bersangkutan diduga melakukan suatu tindak pidana.
"Karena, jika penangkapan ada kesalahan prosedur, yang ditangkap atau yang kemudian ditetapkan jadi tersangka dapat melakukan praperadilan," kata Suparji kepada SINDOnews, Rabu (14/10/2020), menanggapi penangkapan sejumlah tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) .
(Baca: Jenguk Anggota KAMI, Aktivis ProDem: Pak Gatot Nurmantyo Ditunggu Lho...)
Suparji mengatakan, dengan implikasi tersebut, maka penegak hukum tentunya harus cermat secara hukum dalam melakukan penangkapan dugaan tindak pidana yang terkait dengan UU ITE yaitu penyebaran berita hoaks.
Menurut dia, proses pembuktian antara lain adanya informasi elektronik yang disampaikan oleh pihak yang ditangkap dan informasi tersebut mengandung berita bohong atau hoaks. Jika unsur tersebut terpenuhi dan berdasar alat bukti minimal 2 alat bukti, maka dapat dilakukan penangkapan.
"Yang sering jadi multitafsir adalah kualifikasi berita bohong. Ini yang tidak mudah pembuktiannya. Dari sisi politik, tidak akan terlalu berpengaruh meski yang bersangkutan petinggi KAMI," tutur dia.
(Baca: Amnesty International: Penangkapan Tokoh KAMI Bertujuan Sebar Ketakutan)
Lebih lanjut Suparji menilai, karena kondisi itu dipengaruhi oleh kedewasaan politik bangsa ini yang semakin matang dan elit politik eksekutif maupun legislatif relatif harmoni dan solid sehingga akan mampu mengatasi dinamika politik yang kritis, sehingga tidak muncul tindakan-tindakan yang kontraproduktif.
"Proses hukum harus berada dalam ruang sistem hukum yang independen dan akuntabel," saran Suparji menandaskan.
Seperti diketahui, polisi menangkap delapan tokoh KAMI di Jakarta dan Medan. Mereka dituduh menghasut aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang berujung rusuh, melalui pernyataan-pernyataan di media sosial.
Lihat Juga: Praperadilan, Tom Lembong Bakal Hadirkan 5 Saksi Ahli Buktikan Penetapan Tersangka Tidak Sah
Penangkapan semestinya dilakukan dengan berdasarkan pada alat bukti yang cukup, bahwa yang bersangkutan diduga melakukan suatu tindak pidana.
"Karena, jika penangkapan ada kesalahan prosedur, yang ditangkap atau yang kemudian ditetapkan jadi tersangka dapat melakukan praperadilan," kata Suparji kepada SINDOnews, Rabu (14/10/2020), menanggapi penangkapan sejumlah tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) .
(Baca: Jenguk Anggota KAMI, Aktivis ProDem: Pak Gatot Nurmantyo Ditunggu Lho...)
Suparji mengatakan, dengan implikasi tersebut, maka penegak hukum tentunya harus cermat secara hukum dalam melakukan penangkapan dugaan tindak pidana yang terkait dengan UU ITE yaitu penyebaran berita hoaks.
Menurut dia, proses pembuktian antara lain adanya informasi elektronik yang disampaikan oleh pihak yang ditangkap dan informasi tersebut mengandung berita bohong atau hoaks. Jika unsur tersebut terpenuhi dan berdasar alat bukti minimal 2 alat bukti, maka dapat dilakukan penangkapan.
"Yang sering jadi multitafsir adalah kualifikasi berita bohong. Ini yang tidak mudah pembuktiannya. Dari sisi politik, tidak akan terlalu berpengaruh meski yang bersangkutan petinggi KAMI," tutur dia.
(Baca: Amnesty International: Penangkapan Tokoh KAMI Bertujuan Sebar Ketakutan)
Lebih lanjut Suparji menilai, karena kondisi itu dipengaruhi oleh kedewasaan politik bangsa ini yang semakin matang dan elit politik eksekutif maupun legislatif relatif harmoni dan solid sehingga akan mampu mengatasi dinamika politik yang kritis, sehingga tidak muncul tindakan-tindakan yang kontraproduktif.
"Proses hukum harus berada dalam ruang sistem hukum yang independen dan akuntabel," saran Suparji menandaskan.
Seperti diketahui, polisi menangkap delapan tokoh KAMI di Jakarta dan Medan. Mereka dituduh menghasut aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang berujung rusuh, melalui pernyataan-pernyataan di media sosial.
Lihat Juga: Praperadilan, Tom Lembong Bakal Hadirkan 5 Saksi Ahli Buktikan Penetapan Tersangka Tidak Sah
(muh)