Kini Polisi Dimanja, Dulu Angkatan Darat jadi Anak Emas Soeharto
loading...
A
A
A
NKRI. Akronim Negara Kesatuan Republik Indonesia itu kini kerap dipelesetkan menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia. Memang rada memaksa. Tapi jika melihat fakta saat ini, banyak petinggi dari Korps Bhayangkara menduduki posisi strategis, akronim “tandingan” itu rasanya tak mengada-ada.
Tengok saja, polisi berbintang kini bertaburan di sejumlah instansi, Lembaga Negara, BUMN, bahkan induk organisasi olah raga. Mereka, antara lain, Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Heru Winarko, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Boy Rafli Amar, Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal (Purn) Budi Gunawan.
Lalu di Kementerian ada Menteri Dalam Negeri Jenderal (Purn) Tito Karnavian, Inspektur Jenderal Kementerian Perindustrian Komjen Setyo Wasisto, Komjen Antam Novambar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Irjen Andap Budhi Revianto menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya, Komjen Firli Bahuri yang menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023, Irjen Arman Depari Komisaris Pelindo I, Komjen (Purn) Budi Waseso Direktur Utama Bulog.
Ada pula eks pejabat polisi yang menjabat sebagai kepala daerah, di antaranya adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, dan Komjen (Purn) Mochamad Iriawan yang menjadi komandan PSSI. Tak berlebihan jika Indonesia Police Watch (IPW) mengecam begitu banyaknya perwira tinggi (Pati) Polri yang bertugas di kementerian atau Lembaga. IPW menyebut ini tidak lepas dari sejarah kedekatan Polri dengan partai berkuasa.
Kendati begitu, Ketua Presidium IPW, Neta S Pane mengakui penugasan polisi di luar Korps Bhayangkara memang diperbolehkan. Trunojoyo telah mengeluarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi.
Dalam hitungan Neta, ada 20 jenderal yang mengisi pos strategis di kementerian atau lembaga. “Hal ini menimbulkan tanda tanya bagi publik. Seakan Jokowi hendak membuat negara ini menjadi negara polisi,” kata mantan jurnalis itu (SINDOnews, 4 Mei 2020).
Neta menuturkan semua itu kemungkinan ada hubungannya dengan sejarah panjang Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada masa Orde Baru (Orba), Kongres PDI di Bali dapat berjalan karena ada jaminan keamanan dari elite kepolisian saat itu.
Kala Megawati menjabat Wakil Presiden memberikan perhatian yang cukup besar terhadap Korps Bhayangkara. Polri mendapatkan kenaikan anggaran hingga 500% dibandingkan Orba. Neta mengungkapkan pemisahan Polri dari TNI dan menempatkannya di bawah kendali presiden langsung juga berkat Megawati. Saat pencalonan sebagai presiden, menurutnya, Jokowi lebih dekat dengan militer. IPW menyebut kemenangan Jokowi di pilpres tidak lepas dari kerja keras sejumlah perwira kepolisian. “Sehingga tak heran jika Jokowi terlihat memanjakan Polri. Juga memberi peluang yang sangat luas bagi jenderal-jenderal polisi untuk menjabat di kementerian maupun lembaga sipil lainnya,” pungkasnya.
Sesuai Pasal 4 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, memang disebutkan Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dan Pasal 8 merupakan penegasan penyapihan Polri dari ABRI (sekarang TNI). Pasal itu menyebutkan Polri berada di bawah Presiden.
Begitulah, konstelasi pertahanan keamanan nasional memang tak lepas dari dinamika politik yang berkembang. Kondisi saat ini berbanding terbalik dengan di era Orde Baru. Di zaman kepemimpinan Soeharto, Polri menjadi Angkatan keempat, setelah Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Yang menjadi anak emas kala itu tentu saja Angkatan Darat. Para perwira menengahnya menguasai posisi wali kota dan bupati nyaris di seluruh nusantara.
Tengok saja, polisi berbintang kini bertaburan di sejumlah instansi, Lembaga Negara, BUMN, bahkan induk organisasi olah raga. Mereka, antara lain, Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Heru Winarko, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Boy Rafli Amar, Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal (Purn) Budi Gunawan.
Lalu di Kementerian ada Menteri Dalam Negeri Jenderal (Purn) Tito Karnavian, Inspektur Jenderal Kementerian Perindustrian Komjen Setyo Wasisto, Komjen Antam Novambar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Irjen Andap Budhi Revianto menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya, Komjen Firli Bahuri yang menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023, Irjen Arman Depari Komisaris Pelindo I, Komjen (Purn) Budi Waseso Direktur Utama Bulog.
Ada pula eks pejabat polisi yang menjabat sebagai kepala daerah, di antaranya adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, dan Komjen (Purn) Mochamad Iriawan yang menjadi komandan PSSI. Tak berlebihan jika Indonesia Police Watch (IPW) mengecam begitu banyaknya perwira tinggi (Pati) Polri yang bertugas di kementerian atau Lembaga. IPW menyebut ini tidak lepas dari sejarah kedekatan Polri dengan partai berkuasa.
Kendati begitu, Ketua Presidium IPW, Neta S Pane mengakui penugasan polisi di luar Korps Bhayangkara memang diperbolehkan. Trunojoyo telah mengeluarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi.
Dalam hitungan Neta, ada 20 jenderal yang mengisi pos strategis di kementerian atau lembaga. “Hal ini menimbulkan tanda tanya bagi publik. Seakan Jokowi hendak membuat negara ini menjadi negara polisi,” kata mantan jurnalis itu (SINDOnews, 4 Mei 2020).
Neta menuturkan semua itu kemungkinan ada hubungannya dengan sejarah panjang Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada masa Orde Baru (Orba), Kongres PDI di Bali dapat berjalan karena ada jaminan keamanan dari elite kepolisian saat itu.
Kala Megawati menjabat Wakil Presiden memberikan perhatian yang cukup besar terhadap Korps Bhayangkara. Polri mendapatkan kenaikan anggaran hingga 500% dibandingkan Orba. Neta mengungkapkan pemisahan Polri dari TNI dan menempatkannya di bawah kendali presiden langsung juga berkat Megawati. Saat pencalonan sebagai presiden, menurutnya, Jokowi lebih dekat dengan militer. IPW menyebut kemenangan Jokowi di pilpres tidak lepas dari kerja keras sejumlah perwira kepolisian. “Sehingga tak heran jika Jokowi terlihat memanjakan Polri. Juga memberi peluang yang sangat luas bagi jenderal-jenderal polisi untuk menjabat di kementerian maupun lembaga sipil lainnya,” pungkasnya.
Sesuai Pasal 4 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, memang disebutkan Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dan Pasal 8 merupakan penegasan penyapihan Polri dari ABRI (sekarang TNI). Pasal itu menyebutkan Polri berada di bawah Presiden.
Begitulah, konstelasi pertahanan keamanan nasional memang tak lepas dari dinamika politik yang berkembang. Kondisi saat ini berbanding terbalik dengan di era Orde Baru. Di zaman kepemimpinan Soeharto, Polri menjadi Angkatan keempat, setelah Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Yang menjadi anak emas kala itu tentu saja Angkatan Darat. Para perwira menengahnya menguasai posisi wali kota dan bupati nyaris di seluruh nusantara.