Konten, Kesadaran Hukum dan Penegakkan Hukum
loading...
A
A
A
Anton Hariyadi, S.H.
Advokat & Konsultan Hukum
GEJALA sosial belakangan ini, kaum milenial mendapati celah jalan menuju ketenaran dalam waktu singkat, keuntungan materil yang menggiurkan tanpa aturan kerja yang ketat dan tanpa seperangkat kontrak yang mengikat. Celah tersebut berupa industri “konten” dalam media sosial.
Kemudahan mendapatkan koneksi internet dan kemudahan membuat akun media sosial, terlebih lagi cuma-cuma, menjadikan media sosial sebagai industri dan masa depan kehidupan generasi milenial untuk mencari keuntungan materil. Sayangnya, antusiasme generasi milenial tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran hukum yang mencukupi. Kasus yang terbaru berkaitan bagaimana motiv seorang anak muda berinisial KW yang membuat konten (video) dengan tujuan untuk menambah follower (pengikut) di akun tiktoknya, yang terjadi di Bandung pada tanggal 4 Oktober 2020, dengan cara membuat video berisi narasi fitnah terhadap masjid -rumah ibadah ummat muslim- yang disebutnya menyalakan musik disko, yang sebenarnya musik disko tersebut diedit sendiri oleh dirinya, merupakan cerminan ukuran kesadaran hukum di kalangan generasi milenial.
Konten berisi narasi fitnah terhadap simbol agama, bagi dirinya adalah suatu komoditi. Dengan cara berfikir; konten yang menarik berdampak pada peningkatan jumlah follower, meningkatnya follower akan mendapatkan keuntungan materil dari media sosial tersebut. Keuntungan dapat dihasilkan dari endorsement iklan, maupun ketenaran yang berdampak pada datangnya tawaran menjadi bintang iklan, bintang film atau bintang tamu pada siaran program televisi.
Cara berpikir demikian memang benar, tetapi bagaimana konten menarik itu dapat berjalan harmonis dengan kaedah hukum dan batasan norma kesusilaan, norma agama dan adat yang dipegang oleh masyarakat sebagai suatu nilai. Hal inilah yang menjadi urgensi edukasi bagi generasi milenial memahami standar kebenaran untuk pembuatan konten positif dalam kerangka bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, bukan dengan standar kebenaran menurut subjektivitas. Pengabaian akan standar kebenaran menurut hukum, telah mengakibatkan dirinya ditahan oleh Kepolisian, dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Permasalahan sosial yang banyak terjadi di media sosial, berawal dari pemikiran bias tentang nilai konten. Menurut Soerjono Soekanto (1979: 17), paradigma sosiologi hukum yang ruang lingkupnya adalah pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Gejala sosial yang muncul dewasa ini adalah banyaknya narasi fitnah berbasis suku, agama, ras dan atau antar golongan (SARA) melalui media elektronik. Dalam analisis ini, yang marak terjadi di masyarakat, perlu memperhatikan aspek hukum dan gejala sosial lain yang ditimbulkan dari konten media sosial. Apa yang telah diperbuatnya melanggar ketentuan Pasal 45A ayat (2) UU ITE:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Norma yang terkandung dalam Pasal 28 ayat (2) berisi norma larangan untuk menyebarkan informasi yang bertujuan menimbulkan kebencian berdasar SARA: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Lemahnya kesadaran hukum masyarakat, akan menimbulkan dampak sosial yang sangat luas, terlebih lagi motivnya untuk memperoleh keuntungan pribadi semata.
Menurut Soerjono Soekanto (1982) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran dan kepatuhan hukum adalah terdiri dari; 1) faktor Undang-Undang, 2) faktor masyarakat, 3) faktor budaya, 4) faktor fasilitas, dan 5) faktor aparat. Bahwa kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Lebih lanjut Soekanto (1982: 140) mengatakan bahwa untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolak ukur yaitu, pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku hukum.
Media sosial memang piranti yang cukup menyenangkan, kesenangan sementara bisa didapat hanya dengan mengaktifkan koneksi internet dan menggerakkan jari jemari, lalu terbuatlah suatu konten berupa vidio, audio, dan teks. Penulis berpandangan bahwa permasalah ini bukan mengenai krisis kesadaran hukum secara menyeluruh, karena generasi milineal yang memahami konten media sosial pada umumnya adalah kelompok terdidik. Penulis berpendapat bahwa permasalahan dengan gejala sosial seperti kasus pelecehan atau fitnah terhadap masjid baru-baru ini merupakan krisis sikap hukum dan pola perilaku hukum masyarakat.
Sekalipun memiliki pengetahuan hukum yang baik, tetapi kembali lagi kepada jati diri individu tersebut. Di sinilah peranan keluarga, tenaga pendidik, teman sebaya, aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum, menjadi sentral dalam mengendalikan sikap hukum dan pola perilaku hukum masyarakat, khususnya generasi milenial.
Dengan ditegakkannya hukum, maka momentum pembentukan pola perilaku KW dapat diluruskan melalui jalur hukum. Untuk itu Polrestabes Bandung di bawah kepemimpinan Kombes Pol Ulung Sampurna Jaya wajib dengan sepenuh hati dan upaya menegakkan hukum bagi KW hingga masyarakat, khususnya masyarakat muslim mendapatkan rasa keadilan.
Dengan peristiwa kasus di atas, semoga menjadi pelajaran bagi masyarakat pada umumnya, konten media sosial tidak untuk dijadikan sarana menyebarkan kebencian dalam bentuk apapun. Media sosial merupakan sarana yang efektif untuk mempromosikan nilai-nilai luhur Pancasila, kewibawaan sosial,sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Advokat & Konsultan Hukum
GEJALA sosial belakangan ini, kaum milenial mendapati celah jalan menuju ketenaran dalam waktu singkat, keuntungan materil yang menggiurkan tanpa aturan kerja yang ketat dan tanpa seperangkat kontrak yang mengikat. Celah tersebut berupa industri “konten” dalam media sosial.
Kemudahan mendapatkan koneksi internet dan kemudahan membuat akun media sosial, terlebih lagi cuma-cuma, menjadikan media sosial sebagai industri dan masa depan kehidupan generasi milenial untuk mencari keuntungan materil. Sayangnya, antusiasme generasi milenial tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran hukum yang mencukupi. Kasus yang terbaru berkaitan bagaimana motiv seorang anak muda berinisial KW yang membuat konten (video) dengan tujuan untuk menambah follower (pengikut) di akun tiktoknya, yang terjadi di Bandung pada tanggal 4 Oktober 2020, dengan cara membuat video berisi narasi fitnah terhadap masjid -rumah ibadah ummat muslim- yang disebutnya menyalakan musik disko, yang sebenarnya musik disko tersebut diedit sendiri oleh dirinya, merupakan cerminan ukuran kesadaran hukum di kalangan generasi milenial.
Konten berisi narasi fitnah terhadap simbol agama, bagi dirinya adalah suatu komoditi. Dengan cara berfikir; konten yang menarik berdampak pada peningkatan jumlah follower, meningkatnya follower akan mendapatkan keuntungan materil dari media sosial tersebut. Keuntungan dapat dihasilkan dari endorsement iklan, maupun ketenaran yang berdampak pada datangnya tawaran menjadi bintang iklan, bintang film atau bintang tamu pada siaran program televisi.
Cara berpikir demikian memang benar, tetapi bagaimana konten menarik itu dapat berjalan harmonis dengan kaedah hukum dan batasan norma kesusilaan, norma agama dan adat yang dipegang oleh masyarakat sebagai suatu nilai. Hal inilah yang menjadi urgensi edukasi bagi generasi milenial memahami standar kebenaran untuk pembuatan konten positif dalam kerangka bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, bukan dengan standar kebenaran menurut subjektivitas. Pengabaian akan standar kebenaran menurut hukum, telah mengakibatkan dirinya ditahan oleh Kepolisian, dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Permasalahan sosial yang banyak terjadi di media sosial, berawal dari pemikiran bias tentang nilai konten. Menurut Soerjono Soekanto (1979: 17), paradigma sosiologi hukum yang ruang lingkupnya adalah pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Gejala sosial yang muncul dewasa ini adalah banyaknya narasi fitnah berbasis suku, agama, ras dan atau antar golongan (SARA) melalui media elektronik. Dalam analisis ini, yang marak terjadi di masyarakat, perlu memperhatikan aspek hukum dan gejala sosial lain yang ditimbulkan dari konten media sosial. Apa yang telah diperbuatnya melanggar ketentuan Pasal 45A ayat (2) UU ITE:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Norma yang terkandung dalam Pasal 28 ayat (2) berisi norma larangan untuk menyebarkan informasi yang bertujuan menimbulkan kebencian berdasar SARA: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Lemahnya kesadaran hukum masyarakat, akan menimbulkan dampak sosial yang sangat luas, terlebih lagi motivnya untuk memperoleh keuntungan pribadi semata.
Menurut Soerjono Soekanto (1982) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran dan kepatuhan hukum adalah terdiri dari; 1) faktor Undang-Undang, 2) faktor masyarakat, 3) faktor budaya, 4) faktor fasilitas, dan 5) faktor aparat. Bahwa kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Lebih lanjut Soekanto (1982: 140) mengatakan bahwa untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolak ukur yaitu, pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku hukum.
Media sosial memang piranti yang cukup menyenangkan, kesenangan sementara bisa didapat hanya dengan mengaktifkan koneksi internet dan menggerakkan jari jemari, lalu terbuatlah suatu konten berupa vidio, audio, dan teks. Penulis berpandangan bahwa permasalah ini bukan mengenai krisis kesadaran hukum secara menyeluruh, karena generasi milineal yang memahami konten media sosial pada umumnya adalah kelompok terdidik. Penulis berpendapat bahwa permasalahan dengan gejala sosial seperti kasus pelecehan atau fitnah terhadap masjid baru-baru ini merupakan krisis sikap hukum dan pola perilaku hukum masyarakat.
Sekalipun memiliki pengetahuan hukum yang baik, tetapi kembali lagi kepada jati diri individu tersebut. Di sinilah peranan keluarga, tenaga pendidik, teman sebaya, aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum, menjadi sentral dalam mengendalikan sikap hukum dan pola perilaku hukum masyarakat, khususnya generasi milenial.
Dengan ditegakkannya hukum, maka momentum pembentukan pola perilaku KW dapat diluruskan melalui jalur hukum. Untuk itu Polrestabes Bandung di bawah kepemimpinan Kombes Pol Ulung Sampurna Jaya wajib dengan sepenuh hati dan upaya menegakkan hukum bagi KW hingga masyarakat, khususnya masyarakat muslim mendapatkan rasa keadilan.
Dengan peristiwa kasus di atas, semoga menjadi pelajaran bagi masyarakat pada umumnya, konten media sosial tidak untuk dijadikan sarana menyebarkan kebencian dalam bentuk apapun. Media sosial merupakan sarana yang efektif untuk mempromosikan nilai-nilai luhur Pancasila, kewibawaan sosial,sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
(cip)