Memformat Ulang Ekonomi Digital

Kamis, 08 Oktober 2020 - 05:28 WIB
loading...
A A A
Kedua, dominasi barang impor yang diperjualbelikan di situs e-commerce. Sejumlah pihak mengungkap mayoritas barang yang diperdagangkan secara daring adalah barang impor dengan porsi mencapai 93%. Artinya, sebagian besar kue dari ekonomi digital tidak dinikmati oleh pemain lokal. Laju pesat ekonomi digital belum memberikan efek pengganda (multiplier) secara optimal terhadap sektor riil domestik.

Seleksi Alam
Ketiga, peta persaingan industri e-commerce yang cenderung kurang sehat. Secara mengejutkan Telkom resmi menutup platform belanja daring miliknya, Blanja.com per 1 September 2020. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah pelaku e-commerce tercatat telah mengibarkan bendera putih lebih dulu. Misalnya, Qlapa (2019), Matahari Mall (2018), dan Cipika (2017).

Berkaca dari pengalaman negara lain, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, proses seleksi alam semacam ini tidaklah mengejutkan. Harus diakui struktur pasar di ranah ekonomi digital mengarah ke bentuk oligopoli. Imbasnya, pemain kecil akan cenderung tereliminasi. Tak heran jika jargon “the winner takes all” sangat relevan di industri ini.

Dari perspektif makro, idealnya semakin banyak pemain e-commerce akan semakin bagus. Pasalnya, peluang pasar domestik memiliki banyak potensi yang belum tergarap optimal. Apabila diibaratkan siklus hidup produk (product life cycle), industri ekonomi digital masih dalam tahap pertumbuhan. Mengacu pada hasil riset Google, argumen ini valid setidaknya hingga 2025.

Di samping itu, percepatan realisasi visi digitalisasi UMKM menjadi alasan fundamental berikutnya. Logikanya, jumlah pemain e-commerce berkorelasi positif dengan jumlah pelaku UMKM yang terjaring dalam ekosistem digital. Dengan demikian, tanggung jawab untuk mengedukasi dan meningkatkan literasi digital menjadi kepentingan banyak pihak, bukan bertumpu pada segelintir kelompok saja.

Untuk itu, ada dua langkah krusial untuk menciptakan ekosistem digital Tanah Air yang sehat dan inklusif. Pertama, penguatan regulasi. Pemerintah telah meminta pelaku e-commerce untuk mendorong daya saing produk dalam negeri melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Ke depan, beleid tersebut perlu diperkuat dengan pencantuman porsi produk lokal yang wajib diperdagangkan secara elektronik sebagaimana berlaku pada toko peritel luring.

Kedua, sudah saatnya praktik "bakar uang" yang menjadi senjata ampuh mengakuisisi konsumen direformulasi. Sepintas strategi ini memang menguntungkan konsumen. Namun, dalam jangka panjang, hal itu justru melahirkan predatory pricing sehingga membuat pemain lainnya tersingkir.

Pemain e-commerce sebaiknya bersikap lebih rasional dan selektif dalam membelanjakan anggaran subsidi. Aspek nontarif, seperti kualitas dan keterjangkauan layanan harus dikedepankan demi menumbuhkan ekosistem kompetisi yang sehat.

*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja
(bmm)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1841 seconds (0.1#10.140)