Memformat Ulang Ekonomi Digital

Kamis, 08 Oktober 2020 - 05:28 WIB
loading...
Memformat Ulang Ekonomi...
Remon Samora
A A A
Remon Samora
Analis Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua Barat


“IBARAT
komputer, perekonomian semua negara saat ini sedang macet. Semua negara harus menjalani proses mati komputer sesaat (restart/rebooting). Semua negara mempunyai kesempatan mengatur ulang sistemnya”.

Demikian petikan pidato kenegaraan oleh Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2020. Analogi tersebut sangatlah tepat. Strategi kebijakan ekonomi prapandemi Covid-19 perlu ditata ulang di era adaptasi kebiasaan baru.

Menariknya, gagasan Presiden senada dengan pemikiran Klaus Schwab, Pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF). Schwab menawarkan sebuah konsep bernama “Great Reset” yang akan menjadi tema pertemuan tahunan WEF pada Januari 2021. Adopsi teknologi yang kian intensif menjadi salah satu fondasi dasar dalam pembentukan peradaban baru atau great reset pascapandemi.

Great Reset yang diusung Schwab tentu tidak terlepas dari proses transformasi digital. Terminologi ini sudah menjadi “mantra ajaib” bagi banyak pihak. Keterhubungan proses bisnis organisasi dengan internet merupakan sebuah keharusan. Pada titik ini, pelaku usaha secara tidak langsung dipaksa untuk memilih satu dari dua opsi. Mengubah model bisnisnya atau punah dengan sendirinya.

Dalam konteks kekinian, perkembangan dunia digital sudah mulai terlihat dari pergeseran struktur perekonomian Indonesia saat ini. Di tengah pertumbuhan ekonomi nasional yang negatif pada triwulan II-2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor informasi dan komunikasi justru mengalami kenaikan dua digit. Sektor ini tumbuh 10,88% (yoy) dan merupakan angka tertinggi dibandingkan sektor yang lain.

Pencapaian tersebut sejatinya sudah terprediksi. Hasil survei We Are Social menunjukkan pemanfaatan internet untuk kebutuhan bisnis mengalami lonjakan drastis selama pandemi. Pergeseran pola aktivitas konsumen dari luar jaringan (luring/offline) ke dalam jaringan (daring/online) diperkirakan akan permanen. Faktor pendorong utamanya ialah instruksi pemerintah untuk work from home dan stay at home. Alhasil, porsi perdagangan secara elektronik (e-commerce) terhadap total penjualan ritel naik menjadi 5%, dari sebelumnya di kisaran 2% pada 2-3 tahun lalu.

Membajak Krisis
Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa negara kita harus “membajak” momentum krisis untuk melakukan transformasi dan melaksanakan strategi besar memecahkan masalah fundamental bangsa. Setali tiga uang, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebut ekonomi digital sebagai “the big winner of this crisis”. Ekonomi digital harus dimanfaatkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan (greener), cerdas (smarter), dan inklusif (fairer).

Masa depan ekonomi digital Indonesia memang terbilang sangat menjanjikan. Google, Temasek, dan Bain memperkirakan nilai ekonomi digital Asia Tenggara sebesar USD100 miliar pada 2019. Indonesia menyumbang sekitar 40% dari angka tersebut, meningkat empat kali lipat dibandingkan 2015. Pada 2025, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi mampu menembus USD130 miliar.

Meskipun perhitungan di atas kertas terlihat bagus, masih terdapat sejumlah catatan yang patut menjadi perhatian. Pertama, minimnya pelaku UMKM go digital. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan baru 13% atau 8 juta pelaku UMKM yang memanfaatkan ekosistem digital. Sebaliknya, 87% sisanya masih sangat bergantung pada interaksi fisik dalam proses bisnisnya. Faktor literasi digital dan kualitas infrastruktur pendukung yang masih harus ditingkatkan menjadi akar masalah klasik.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1597 seconds (0.1#10.140)