Presidential Threshold Rentan dengan 'Cukongisme'
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aktivis Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Polhukham) Nicholay Aprilindo mengaku setuju ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dihapus. Sebab, menurut dia, di alam demokrasi yang betul-betul menerapkan prinsip demokrasi tidak diperlukan presidential threshold.
Dia juga menilai presidential threshold hanya suatu upaya dari partai politik (parpol) tertentu, serta orang atau kelompok atau golongan tertentu untuk melanggengkan kekuasaan atau mendapatkan kekuasaan dengan menggunakan oligarki politik dan dinasti politik, serta melanggengkan kekuasaan parpol-parpol tertentu saja. "Presidential threshold rentan dengan praktik KKN, cukongisme yang mampu membeli suara parpol sebagai kendaraan politik," ujar Nicholay kepada SINDOnews, Rabu (7/10/2020).
Alumni Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XVII Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI 2011 ini juga menilai presidential threshold adalah suatu tindakan mengebiri dan mengerdilkan demokrasi serta melanggar hak asasi manusia (HAM) .
Dia berpendapat bahwa presidential threshold merupakan produk negara primitif yang mengaku modern. "Saya bahkan lebih setuju bila pemilu capres, diberikan ruang untuk capres independen, sehingga kualitas seorang pemimpin dapat dilihat dan diuji," tutur Nicholay.
( ).
"Perihal bagaimana nantinya di parlemen bila tidak ada dukungan parpol, harus kita ingat bahwa walaupun independen namun dipilih secara langsung oleh rakyat dan mendapat mandat dari rakyat bukan dari parlemen," tambahnya.
Dia mengatakan anggota-anggota dewan juga dipilih oleh rakyat, akan tetapi melalui parpol tidak secara langsung. Sehingga para anggota dewan seperti sekarang ini, lanjut dia, bertanggung jawab pada parpolnya dan konstituen parpolnya.
( ).
"Sehingga kalau anggota dewan bersikap kritis untuk rakyat dan berseberangan dengan kepentingan parpol maka parpol dapat me-recall bahkan memecatnya, ini sangat tidak fair, karena anggota dewan maupun presiden bukanlah petugas parpol," pungkasnya.
Diketahui, ketentuan presidential threshold yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) . Uji materi tersebut diajukan oleh Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno sebagai Pemohon. Para Pemohon mendalilkan Pasal 222 yang menyebut, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya" melanggar hak konstitusional keduanya.
Rizal Ramli selaku Pemohon Prinsipal menjelaskan bahwa dirinya dan Pemohon II hendak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu 2024. Namun, keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu dinilai telah menghambat proses pencalonan para Pemohon.
Rizal mengungkapkan Pasal 222 UU Pemilu telah memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying). Pada penyelenggaraan pemilihan presiden tahun 2009, ekonom senior ini mengakui pernah mendapat tawaran dari sejumlah parpol untuk maju sebagai calon presiden, namun dengan syarat diharuskan membayar Rp1,5 triliun.
( ).
Menurut Rizal, keberadaan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% merupakan buah dari demokrasi kriminal yang hanya menguntungkan pihak bermodal. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Para Pemohon meminta kepada MK untuk dapat mengubah pandangannya sebagaimana dalam putusan-putusannya terdahulu dan menyatakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dia juga menilai presidential threshold hanya suatu upaya dari partai politik (parpol) tertentu, serta orang atau kelompok atau golongan tertentu untuk melanggengkan kekuasaan atau mendapatkan kekuasaan dengan menggunakan oligarki politik dan dinasti politik, serta melanggengkan kekuasaan parpol-parpol tertentu saja. "Presidential threshold rentan dengan praktik KKN, cukongisme yang mampu membeli suara parpol sebagai kendaraan politik," ujar Nicholay kepada SINDOnews, Rabu (7/10/2020).
Alumni Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XVII Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI 2011 ini juga menilai presidential threshold adalah suatu tindakan mengebiri dan mengerdilkan demokrasi serta melanggar hak asasi manusia (HAM) .
Dia berpendapat bahwa presidential threshold merupakan produk negara primitif yang mengaku modern. "Saya bahkan lebih setuju bila pemilu capres, diberikan ruang untuk capres independen, sehingga kualitas seorang pemimpin dapat dilihat dan diuji," tutur Nicholay.
( ).
"Perihal bagaimana nantinya di parlemen bila tidak ada dukungan parpol, harus kita ingat bahwa walaupun independen namun dipilih secara langsung oleh rakyat dan mendapat mandat dari rakyat bukan dari parlemen," tambahnya.
Dia mengatakan anggota-anggota dewan juga dipilih oleh rakyat, akan tetapi melalui parpol tidak secara langsung. Sehingga para anggota dewan seperti sekarang ini, lanjut dia, bertanggung jawab pada parpolnya dan konstituen parpolnya.
( ).
"Sehingga kalau anggota dewan bersikap kritis untuk rakyat dan berseberangan dengan kepentingan parpol maka parpol dapat me-recall bahkan memecatnya, ini sangat tidak fair, karena anggota dewan maupun presiden bukanlah petugas parpol," pungkasnya.
Diketahui, ketentuan presidential threshold yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) . Uji materi tersebut diajukan oleh Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno sebagai Pemohon. Para Pemohon mendalilkan Pasal 222 yang menyebut, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya" melanggar hak konstitusional keduanya.
Rizal Ramli selaku Pemohon Prinsipal menjelaskan bahwa dirinya dan Pemohon II hendak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu 2024. Namun, keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu dinilai telah menghambat proses pencalonan para Pemohon.
Rizal mengungkapkan Pasal 222 UU Pemilu telah memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying). Pada penyelenggaraan pemilihan presiden tahun 2009, ekonom senior ini mengakui pernah mendapat tawaran dari sejumlah parpol untuk maju sebagai calon presiden, namun dengan syarat diharuskan membayar Rp1,5 triliun.
( ).
Menurut Rizal, keberadaan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% merupakan buah dari demokrasi kriminal yang hanya menguntungkan pihak bermodal. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Para Pemohon meminta kepada MK untuk dapat mengubah pandangannya sebagaimana dalam putusan-putusannya terdahulu dan menyatakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
(zik)