BKKBN: Mobilitas Penduduk Harus Dikaitkan dengan Daya Dukung Lingkungan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan pentingnya daya dukung lingkungan dalam menghadapi mobilitas penduduk di Indonesia.
Hal itu terungkap dalam webinar yang mengambil tema istilah Nowhere, Everywhee. Tema ini mengilustrasikan mobilitas penduduk di masa depan yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan teknologi (akibat transformasi digital dan pandemi Covid-19) telah memungkinkan penduduk untuk berada di mana-mana tanpa harus pergi ke mana-mana.
Webinar yang dipandu Kepala pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Herry Yogaswara MA, ini menampilkan pembicara Senior Demographer, Macquarie University, Sydney, Australia Dr. Salut Muhidin. Senior Advisor, Urban Regional Development Institut Wahyu Mulyana serta Peneliti Lembaga Demografi, FEB, UI Chotib Hasan. (Baca juga: Jokowi Tunjuk BKKBN sebagai Penanggungjawab Utama Penanggulangan Stunting)
Kegiatan webinar ini terinspirasi dari Prof. Aris Ananta, President, Asian Population Association (APA, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Visiting Professor, Center for Advanced Research, Universiti Brunei Darussalam) pada Symposium on Social Science 2020 bertema Rethinking the Social World in the 21st Century yang diadakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 24-25 Agustus 2020.
Pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap pekerja migran. Pasalnya, hak-hak dasar mereka dan keluarganya amat memprihatinkan. Pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan kurang mendapat perhatian. Padahal para pekerja migran yang berjuang menafkahi keluarganya dari negeri orang adalah pahlawan. (Baca juga: Pemenang Scroll of Honour-UN Habitat Takjub Tanaman Kelor Anak-anak)
”Ini karena mereka ikut berkontribusi meningkatkan pundi-pundi devisa negara. Pertanyaannya ada apa dengan pembangunan ekonomi regional? Utamanya pembangunan pertanian," ujar Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Dwi Listyawardani setengah bertanya ketika memberikan sambutan pembukaan pada Webinar Series Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Melalui Pembangunan Berwawasan Kependudukan, Selasa (6/10/2020).
Menurut Dwi Listyawardani, hingga saat ini sumber nafkah penduduk sebagian besar ditopang oleh sektor pertanian. Meski bergeser ke industri, tapi pembangunan tetap berbasis pertanian. Dari fakta yang ada, kata Dwi, kini sektor pertanian tidak lagi diminati oleh generasi saat ini. Untuk mendapatkan penghasilan yang layak, mereka lebih memilih menjadi pekerja migran. Padahal, kondisi ini akan menjadi masalah dari aspek kependudukan. (Baca juga: BKKBN Gelar KOREN II untuk Hasilkan Dokumen dan Anggaran Berkualitas)
"Kabupaten Lamongan, Jawa Timur contohnya. Pimpinan daerahnya tidak masalah terjadi migrasi penduduk di wilayahnya. Tapi dari aspek penduduk, itu masalah. Karena penduduk yang berpindah tetap akan menjadi masalah bagi daerah tersebut nantinya," tandas Dwi.
Dwi mengatakan, saat ini struktur penduduk belum dipertimbangkan sebagai potensi produktivitas. Sebagai potensi yang akan berpengaruh pada capaian bonus demografi. Dwi juga mengingatkan bahwa persebaran atau mobilitas penduduk harus dikaitkan dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan. "Bukan semata karena faktor ekonomi, tapi faktor alam juga harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya," ujar Dwi.
Untuk itu, saat ini BKKBN tengah membuat blue print kependudukan. Namun diingatkan bahwa tidak ada kebijakan kependudukan yang sifatnya nasional melainkan lebih kepada spesifik kedaerahan. "Kita sedang cari format umum, dan kemudian baru masuk ke daerah," jelasnya.
Diakui Dwi, hingga kini pengetahuan masyarakat, termasuk pejabat, tentang pembangunan berwawasan kependudukan masih terbatas. "Untuk itu kami akan fasilitasi pemahaman tentang pembangunan berwawasan kependudukan hingga ke tingkat daerah," tambahnya.
Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna MPR RI Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan pentingnya menempatkan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai prioritas utama. “Membangun SDM yang pekerja keras, yang dinamis. Membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Jokowi.
Pernyataan Presiden tersebut menjadi salah satu dasar pemilihan pembangunan manusia serta penguasaan ilmu dan teknologi sebagai pilar pertama Visi Indonesia 2045. Dwi mengatakan penduduk Indonesia haruslah memiliki semangat sebagai pekerja keras, terampil, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. "Informaai teknologi harus dikuasai agar SDM kita bisa berkualitas," tuturnya.
Namun bukan hanya sekedar berkualitas, menurut Dwi, kondisi itu harus juga diimbangi dengan jumlah penduduk yang seimbang dari sisi kuantitas. Kualitas dan kuantitas penduduk harus juga dilandasi oleh nilai-nilai positif dalam keluarga. "Sumber daya keluarga inilah yang menjadi salah satu penentu keberhasilan anggota keluarga," terang Dwi.
Pada bagian lain penjelasannya, Dwi mengungkapkan beberapa persoalan yang harus dituntaskan di sektor kependudukan yakni, pengendalian urbanisasi untuk pemerataan penduduk dengan tetap memperhitungkan Pulau Jawa sebagai sumber cadangan nasional seperti beras. Selain itu, "baby boomers" masih menguasai ekonomi.
Modal dan investasi masih dikuasai oleh kelompok ini. Berikutnya, perlu adanya perbandingan produktifitas antar kelompok umur dan nilai-nikai ekonomi individu. "Lainnya, berupa pemetaan kualitas SDM antar wilayah yang mempengaruhi kualitas SDM secara keseluruhan," ujar Dwi.
Sementara itu, Senior Demographer, Macquarie University, Sydney, Australia Salut Muhidin dalam paparannya mengangkat isu tren mobilitas lintas Negara. Salut mengatakan persentase migran Indonesia pada 2019 lalu 75% karena alasan bekerja. Selebihnya karena alasan konflik, "climed change" atau masalah lainnya.
Salut mengatakan pekerja migran sangat bias gender. Cenderung dikuasai oleh kaum laki-laki atau sekitar 58% dan terkonsentrasi di beberapa Negara seperti Uni Emirat Arab, Qatar, USA, Kanada, dan beberapa negara Eropa. Global migran, kata Salut, 40% nya berasal dari kawasan Asia, seperti Indonesia, India, China.
Arah perpindahannya, lanjut Salut, lebih banyak ke wilayah sekitar dari negara asalnya. Pasalnya, migrasi berbiaya mahal dan butuh banyak resources, selain diminati karena adanya peluang ekonomi atau peningkatan kesejahteraan. "Pekerja Indonesia akan memilih bekerja di Malaysia. Afrika cenderung berpindah ke sesama Afrika. Asia sesama Asia. Eropa ke Eropa. Tapi ada juga kecenderungan Asia ke Eropa," jelas Salut.
Namun, kondisi itu berubah saat pandemi Covid-19. Pertengahan Maret lalu mulai banyak negara yang melakukan retraction total. Sampai Juli mencapai 400 negara. "Covid telah turunkan tingkat mobilitas. Indonesia awal Januari-Maret kirim tenaga kerja ke Singapura, Taiwan Hongkong, hingga Jepang demikian lancar. Namun mulai turun sejak April," ujarnya.
Sementara, Senior Advisor, Urban Regional Development Institut Wahyu Mulyana mengatakan permukiman kumuh dan padat penduduk berpotensi tinggi menyebabkan penularan Covid-19 antar individu. Hingga kini, permukiman kumuh masih mewarnai wajah kota-kota metropolitan di Indonesia. Ini lantaran migrasi penduduk lebih banyak menuju kota-kota besar. "Tren ke depan, kota sedang dan kecil di sekitar kota metropolitan akan menjadi tumpuan ekonomi. Karena itu harus didorong fasilitas dan prasana ekonominya agar memadai mendukung kota metropolitan," ujar Wahyu.
Nantinya produk yang dihasilkan tidak mengandalkan kota besar lagi tapi justru dikirim ke kota besar dan ke luar negeri. ”Meski skala penduduknya sedang dan kecil tapi ketersediaan sarana dan prasarana kota itu mendukung. Seperti Jember dan Banyuwangi di Jawa Timur. Itu akan mencegah generasi muda mencari kerja di kota metropolitan," tutur Wahyu.
Wahyu berharap pertambahan penduduk perkotaan akan berkontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi nasional. "Saat ini kota masih jadi kantong-kantong kemiskinan. Ketimpangan yang ada di perkotaan lebih tinggi dari pedesaan. Setidaknya 13,5 juta rumah tangga belum memiliki tempat hunian yang layak. Atau 38.000 permukiman kumuh masih ada di perkotaan," terang Wahyu. Selain kumuh, problematika penduduk di perkotaan adalah masalah kesehatan, penghasilan, air bersih dan sanitasi layak, pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga, transportasi dan energi.
Pembicara lainnya Peneliti Lembaga Demografi, FEB, UI Chotib Hasan, menyorot soal motivasi dan dampak mobilitas penduduk dan urbanisasi dari tinjauan teoritis dan empiris. Dia mengatakan keluarga yang memiliki jumlah anggota banyak cenderung kurang mobil. Demikian halnya dengan mereka yang sudah menikah atau memiliki anak yang bersekolah. "Tetapi semakin tinggi pendidikan, akan semakin berpeluang orang untuk bermigrasi," tandas Chotib.
Hal itu terungkap dalam webinar yang mengambil tema istilah Nowhere, Everywhee. Tema ini mengilustrasikan mobilitas penduduk di masa depan yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan teknologi (akibat transformasi digital dan pandemi Covid-19) telah memungkinkan penduduk untuk berada di mana-mana tanpa harus pergi ke mana-mana.
Webinar yang dipandu Kepala pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Herry Yogaswara MA, ini menampilkan pembicara Senior Demographer, Macquarie University, Sydney, Australia Dr. Salut Muhidin. Senior Advisor, Urban Regional Development Institut Wahyu Mulyana serta Peneliti Lembaga Demografi, FEB, UI Chotib Hasan. (Baca juga: Jokowi Tunjuk BKKBN sebagai Penanggungjawab Utama Penanggulangan Stunting)
Kegiatan webinar ini terinspirasi dari Prof. Aris Ananta, President, Asian Population Association (APA, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Visiting Professor, Center for Advanced Research, Universiti Brunei Darussalam) pada Symposium on Social Science 2020 bertema Rethinking the Social World in the 21st Century yang diadakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 24-25 Agustus 2020.
Pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap pekerja migran. Pasalnya, hak-hak dasar mereka dan keluarganya amat memprihatinkan. Pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan kurang mendapat perhatian. Padahal para pekerja migran yang berjuang menafkahi keluarganya dari negeri orang adalah pahlawan. (Baca juga: Pemenang Scroll of Honour-UN Habitat Takjub Tanaman Kelor Anak-anak)
”Ini karena mereka ikut berkontribusi meningkatkan pundi-pundi devisa negara. Pertanyaannya ada apa dengan pembangunan ekonomi regional? Utamanya pembangunan pertanian," ujar Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Dwi Listyawardani setengah bertanya ketika memberikan sambutan pembukaan pada Webinar Series Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Melalui Pembangunan Berwawasan Kependudukan, Selasa (6/10/2020).
Menurut Dwi Listyawardani, hingga saat ini sumber nafkah penduduk sebagian besar ditopang oleh sektor pertanian. Meski bergeser ke industri, tapi pembangunan tetap berbasis pertanian. Dari fakta yang ada, kata Dwi, kini sektor pertanian tidak lagi diminati oleh generasi saat ini. Untuk mendapatkan penghasilan yang layak, mereka lebih memilih menjadi pekerja migran. Padahal, kondisi ini akan menjadi masalah dari aspek kependudukan. (Baca juga: BKKBN Gelar KOREN II untuk Hasilkan Dokumen dan Anggaran Berkualitas)
"Kabupaten Lamongan, Jawa Timur contohnya. Pimpinan daerahnya tidak masalah terjadi migrasi penduduk di wilayahnya. Tapi dari aspek penduduk, itu masalah. Karena penduduk yang berpindah tetap akan menjadi masalah bagi daerah tersebut nantinya," tandas Dwi.
Dwi mengatakan, saat ini struktur penduduk belum dipertimbangkan sebagai potensi produktivitas. Sebagai potensi yang akan berpengaruh pada capaian bonus demografi. Dwi juga mengingatkan bahwa persebaran atau mobilitas penduduk harus dikaitkan dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan. "Bukan semata karena faktor ekonomi, tapi faktor alam juga harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya," ujar Dwi.
Untuk itu, saat ini BKKBN tengah membuat blue print kependudukan. Namun diingatkan bahwa tidak ada kebijakan kependudukan yang sifatnya nasional melainkan lebih kepada spesifik kedaerahan. "Kita sedang cari format umum, dan kemudian baru masuk ke daerah," jelasnya.
Diakui Dwi, hingga kini pengetahuan masyarakat, termasuk pejabat, tentang pembangunan berwawasan kependudukan masih terbatas. "Untuk itu kami akan fasilitasi pemahaman tentang pembangunan berwawasan kependudukan hingga ke tingkat daerah," tambahnya.
Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna MPR RI Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan pentingnya menempatkan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai prioritas utama. “Membangun SDM yang pekerja keras, yang dinamis. Membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Jokowi.
Pernyataan Presiden tersebut menjadi salah satu dasar pemilihan pembangunan manusia serta penguasaan ilmu dan teknologi sebagai pilar pertama Visi Indonesia 2045. Dwi mengatakan penduduk Indonesia haruslah memiliki semangat sebagai pekerja keras, terampil, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. "Informaai teknologi harus dikuasai agar SDM kita bisa berkualitas," tuturnya.
Namun bukan hanya sekedar berkualitas, menurut Dwi, kondisi itu harus juga diimbangi dengan jumlah penduduk yang seimbang dari sisi kuantitas. Kualitas dan kuantitas penduduk harus juga dilandasi oleh nilai-nilai positif dalam keluarga. "Sumber daya keluarga inilah yang menjadi salah satu penentu keberhasilan anggota keluarga," terang Dwi.
Pada bagian lain penjelasannya, Dwi mengungkapkan beberapa persoalan yang harus dituntaskan di sektor kependudukan yakni, pengendalian urbanisasi untuk pemerataan penduduk dengan tetap memperhitungkan Pulau Jawa sebagai sumber cadangan nasional seperti beras. Selain itu, "baby boomers" masih menguasai ekonomi.
Modal dan investasi masih dikuasai oleh kelompok ini. Berikutnya, perlu adanya perbandingan produktifitas antar kelompok umur dan nilai-nikai ekonomi individu. "Lainnya, berupa pemetaan kualitas SDM antar wilayah yang mempengaruhi kualitas SDM secara keseluruhan," ujar Dwi.
Sementara itu, Senior Demographer, Macquarie University, Sydney, Australia Salut Muhidin dalam paparannya mengangkat isu tren mobilitas lintas Negara. Salut mengatakan persentase migran Indonesia pada 2019 lalu 75% karena alasan bekerja. Selebihnya karena alasan konflik, "climed change" atau masalah lainnya.
Salut mengatakan pekerja migran sangat bias gender. Cenderung dikuasai oleh kaum laki-laki atau sekitar 58% dan terkonsentrasi di beberapa Negara seperti Uni Emirat Arab, Qatar, USA, Kanada, dan beberapa negara Eropa. Global migran, kata Salut, 40% nya berasal dari kawasan Asia, seperti Indonesia, India, China.
Arah perpindahannya, lanjut Salut, lebih banyak ke wilayah sekitar dari negara asalnya. Pasalnya, migrasi berbiaya mahal dan butuh banyak resources, selain diminati karena adanya peluang ekonomi atau peningkatan kesejahteraan. "Pekerja Indonesia akan memilih bekerja di Malaysia. Afrika cenderung berpindah ke sesama Afrika. Asia sesama Asia. Eropa ke Eropa. Tapi ada juga kecenderungan Asia ke Eropa," jelas Salut.
Namun, kondisi itu berubah saat pandemi Covid-19. Pertengahan Maret lalu mulai banyak negara yang melakukan retraction total. Sampai Juli mencapai 400 negara. "Covid telah turunkan tingkat mobilitas. Indonesia awal Januari-Maret kirim tenaga kerja ke Singapura, Taiwan Hongkong, hingga Jepang demikian lancar. Namun mulai turun sejak April," ujarnya.
Sementara, Senior Advisor, Urban Regional Development Institut Wahyu Mulyana mengatakan permukiman kumuh dan padat penduduk berpotensi tinggi menyebabkan penularan Covid-19 antar individu. Hingga kini, permukiman kumuh masih mewarnai wajah kota-kota metropolitan di Indonesia. Ini lantaran migrasi penduduk lebih banyak menuju kota-kota besar. "Tren ke depan, kota sedang dan kecil di sekitar kota metropolitan akan menjadi tumpuan ekonomi. Karena itu harus didorong fasilitas dan prasana ekonominya agar memadai mendukung kota metropolitan," ujar Wahyu.
Nantinya produk yang dihasilkan tidak mengandalkan kota besar lagi tapi justru dikirim ke kota besar dan ke luar negeri. ”Meski skala penduduknya sedang dan kecil tapi ketersediaan sarana dan prasarana kota itu mendukung. Seperti Jember dan Banyuwangi di Jawa Timur. Itu akan mencegah generasi muda mencari kerja di kota metropolitan," tutur Wahyu.
Wahyu berharap pertambahan penduduk perkotaan akan berkontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi nasional. "Saat ini kota masih jadi kantong-kantong kemiskinan. Ketimpangan yang ada di perkotaan lebih tinggi dari pedesaan. Setidaknya 13,5 juta rumah tangga belum memiliki tempat hunian yang layak. Atau 38.000 permukiman kumuh masih ada di perkotaan," terang Wahyu. Selain kumuh, problematika penduduk di perkotaan adalah masalah kesehatan, penghasilan, air bersih dan sanitasi layak, pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga, transportasi dan energi.
Pembicara lainnya Peneliti Lembaga Demografi, FEB, UI Chotib Hasan, menyorot soal motivasi dan dampak mobilitas penduduk dan urbanisasi dari tinjauan teoritis dan empiris. Dia mengatakan keluarga yang memiliki jumlah anggota banyak cenderung kurang mobil. Demikian halnya dengan mereka yang sudah menikah atau memiliki anak yang bersekolah. "Tetapi semakin tinggi pendidikan, akan semakin berpeluang orang untuk bermigrasi," tandas Chotib.
(cip)