Komnas HAM Desak Usut Tuntas Kekerasan Politik di Tahun 2019
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan laporan tahunannya, Selasa (6/10/2020). Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik meminta maaf laporan tahun 2019 baru disampaikan karena mengalami masalah teknis dan pandemi Covid-19.
Ahmad Taufan mengatakan, Komnas HAM menyoroti politik kekerasan yang mewarnai sepanjang tahun 2019 dan menjadi ancaman nyata demokrasi dan HAM.
Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada 2019 adalah kerusuhan 21-23 Mei di depan Kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kerusuhan itu menjalar ke beberapa wilayah DKI Jakarta.
“Pada peristiwa pergantian presiden dan wakil presiden tentu membawa bangsa ini jauh mundur ke belakang. Proses dan hasil pemilihan umum (pemilu) pada 2019 yang telah menghasilkan presiden dan wakil presiden, ternyata disikapi secara tidak bijaksana,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).(Baca Juga: RUU Cipta Kerja Disahkan, Sekjen MUI: Anggota DPR seperti Bukan Wakil Rakyat)
Ahmad Taufan menerangkan sejak pemilu disepakati sebagai medium demokratis untuk memilih pemimpin, maka setiap orang memiliki hak politik yang sama dan setara. Hak politik itu untuk dipilih dan memilih.
“Pemilu adalah media untuk memilih pemimpin dan mengganti kepemimpinan secara damai. Pemilu lantas menjadi ciri khas negara yang demokratis dan modern,” tuturnya.
Pada peristiwa di sekitar Kantor Bawaslu, Komnas HAM mencatat ada 10 orang meninggal dunia. Sembilan di antaranya terkena peluru tajam.
“Di samping itu, ratusan orang luka-luka dan terjadi kerusakan yang parah atas infrastruktur publik. Komnas Ham terus mendesak supaya aktor atas peristiwa tersebut ditemukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,” tutur Ahmad Taufan.( )
Peristiwa lain yang menyita perhatian adalah demonstrasi mahasiswa menolak sejumlah undang-undang (UU). Salah satunya, menolak UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini berujung rusuh di sekitar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kerusuhan juga terjadi di beberapa daerah. Berdasarkan data Komnas HAM, ada lima orang mahasiswa meninggal, seperti di Jakarta dan Kendari, Sulawesi Tenggara.
“Komnas HAM mendesak agar peristiwa itu diusut tuntas untuk tegaknya HAM. Hal ini penting untuk selalu kita ingat dan refleksikan, agar tidak kembali terulang di Bumi Pertiwi,” tuturnya.
Ahmad Taufan mengatakan, Komnas HAM menyoroti politik kekerasan yang mewarnai sepanjang tahun 2019 dan menjadi ancaman nyata demokrasi dan HAM.
Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada 2019 adalah kerusuhan 21-23 Mei di depan Kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kerusuhan itu menjalar ke beberapa wilayah DKI Jakarta.
“Pada peristiwa pergantian presiden dan wakil presiden tentu membawa bangsa ini jauh mundur ke belakang. Proses dan hasil pemilihan umum (pemilu) pada 2019 yang telah menghasilkan presiden dan wakil presiden, ternyata disikapi secara tidak bijaksana,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).(Baca Juga: RUU Cipta Kerja Disahkan, Sekjen MUI: Anggota DPR seperti Bukan Wakil Rakyat)
Ahmad Taufan menerangkan sejak pemilu disepakati sebagai medium demokratis untuk memilih pemimpin, maka setiap orang memiliki hak politik yang sama dan setara. Hak politik itu untuk dipilih dan memilih.
“Pemilu adalah media untuk memilih pemimpin dan mengganti kepemimpinan secara damai. Pemilu lantas menjadi ciri khas negara yang demokratis dan modern,” tuturnya.
Pada peristiwa di sekitar Kantor Bawaslu, Komnas HAM mencatat ada 10 orang meninggal dunia. Sembilan di antaranya terkena peluru tajam.
“Di samping itu, ratusan orang luka-luka dan terjadi kerusakan yang parah atas infrastruktur publik. Komnas Ham terus mendesak supaya aktor atas peristiwa tersebut ditemukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,” tutur Ahmad Taufan.( )
Peristiwa lain yang menyita perhatian adalah demonstrasi mahasiswa menolak sejumlah undang-undang (UU). Salah satunya, menolak UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini berujung rusuh di sekitar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kerusuhan juga terjadi di beberapa daerah. Berdasarkan data Komnas HAM, ada lima orang mahasiswa meninggal, seperti di Jakarta dan Kendari, Sulawesi Tenggara.
“Komnas HAM mendesak agar peristiwa itu diusut tuntas untuk tegaknya HAM. Hal ini penting untuk selalu kita ingat dan refleksikan, agar tidak kembali terulang di Bumi Pertiwi,” tuturnya.
(dam)