Lindungi Korban, LBH Apik Dorong RUU PKS Dimasukkan Prolegnas Prioritas 2021
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tak hanya penolakan terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja , DPR juga tengah menghadapi desakan publik untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Salah satunya disuarakan Asosiasi LBH Apik Indonesia.
“Mendesak DPR tidak hanya memasukkan dalam prioritas Prolegnas 2021, tetapi juga tetap memantau pembahasannya dan mendesak untuk segera disahkan,” cetus pengurus LBH Apik Indonesia Asnifriyanti Damanik dalam Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU PKS yang digelar secara virtual, Senin (5/10/2020).
Lebih lanjut, Asni mengatakan banyak fakta terungkap bahwa kekerasan seksual kerap terjadi di mana saja dan kapan saja. Ironisnya lagi, kejahatan itu dilakukan di lingkup terdekat seperti di keluarga, lingkungan pendidikan, tempat kerja, dan lainnya.
(Baca: Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus)
Hal itu didukung kuat dari keberanian para penyintas atau korban tindak kekerasan seksual yang berani bersuara. “Saya mengucapkan penghargaan setinggi-tingginya bagi penyintas yang telah berani bersuara. Ini enggak mudah bagi korban, pasti proses yang sangat sulit. Makanya kita menghargai sekali teman-teman penyintas yang berani menyuarakan apa yang mereka alami ketika terjadi kekerasan, setelah terjadi kekerasan, dan ketika mencoba menggapai keadilan melalui sistem hukum yang ada,” sanjungnya.
Hanya saja, baik korban maupun para pendamping masih kerap menemui berbagai hambatan selama penanganan kasus, terutama sistem hukum yang dinilai masih belum berpihak pada korban. Kesulitan lain yang dirasakan saat membangun dan mengakses pemulihan bagi para korban serta masih minimnya jumlah pendamping korban.
Payung hukum yang ada juga, terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai belum mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual seluruhnya. Misalnya, ada pemaksaan aborsi, perbudakan seksual, penyiksaan seksual dan lainnya.
“Itu semua belum yang belum di-cover dalam KUHP kita. Itu fakta. Belum lagi, para penyintas dan pendamping mengatakan proses pembuktian juga sangat sulit. Yang selama ini dipakai untuk pembuktian itu KUHAP, salah satunya mengatur keterangan saksi minimal dua orang,” keluhnya.
(Baca: Rentan Stigmatisasi, Korban Kekerasan Seksual Berhak Dapat Penanganan Khusus)
Asni memandang beban pembuktian terjadinya tindakan kekerasan seksual lebih banyak dibebankan pada korban. Bukan hanya mengalami, tapi juga bisa membuktikan bahwa dirinya adalah korban.
“Semua kesalahan ditimpakan kepadanya bahwa itu terjadi karena korbannya sendiri. Ini sesuatu yang tidak bisa kita diamkan begitu saja. Apa kita harus masih menunggu korban bertambah banyak lagi,” tandas dia.
Ia menambahkan, dampak kejahatan itu tidak hanya dialami korban saja. Menurutnya, kekerasan seksual juga dirasakan oleh keluarga terdekat dan generasi penerus atau keturunan berikutnya.
Sebagai informasi, DPR diketahui berencana mengesahkan Prolegnas Prioritas 2021 pada Oktober ini. Lantaran itu, LBH Apik berharap parlemen bisa menepati janji meloloskan kembali RUU PKS dalam agenda pengesahan tersebut.
“Mendesak DPR tidak hanya memasukkan dalam prioritas Prolegnas 2021, tetapi juga tetap memantau pembahasannya dan mendesak untuk segera disahkan,” cetus pengurus LBH Apik Indonesia Asnifriyanti Damanik dalam Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU PKS yang digelar secara virtual, Senin (5/10/2020).
Lebih lanjut, Asni mengatakan banyak fakta terungkap bahwa kekerasan seksual kerap terjadi di mana saja dan kapan saja. Ironisnya lagi, kejahatan itu dilakukan di lingkup terdekat seperti di keluarga, lingkungan pendidikan, tempat kerja, dan lainnya.
(Baca: Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus)
Hal itu didukung kuat dari keberanian para penyintas atau korban tindak kekerasan seksual yang berani bersuara. “Saya mengucapkan penghargaan setinggi-tingginya bagi penyintas yang telah berani bersuara. Ini enggak mudah bagi korban, pasti proses yang sangat sulit. Makanya kita menghargai sekali teman-teman penyintas yang berani menyuarakan apa yang mereka alami ketika terjadi kekerasan, setelah terjadi kekerasan, dan ketika mencoba menggapai keadilan melalui sistem hukum yang ada,” sanjungnya.
Hanya saja, baik korban maupun para pendamping masih kerap menemui berbagai hambatan selama penanganan kasus, terutama sistem hukum yang dinilai masih belum berpihak pada korban. Kesulitan lain yang dirasakan saat membangun dan mengakses pemulihan bagi para korban serta masih minimnya jumlah pendamping korban.
Payung hukum yang ada juga, terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai belum mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual seluruhnya. Misalnya, ada pemaksaan aborsi, perbudakan seksual, penyiksaan seksual dan lainnya.
“Itu semua belum yang belum di-cover dalam KUHP kita. Itu fakta. Belum lagi, para penyintas dan pendamping mengatakan proses pembuktian juga sangat sulit. Yang selama ini dipakai untuk pembuktian itu KUHAP, salah satunya mengatur keterangan saksi minimal dua orang,” keluhnya.
(Baca: Rentan Stigmatisasi, Korban Kekerasan Seksual Berhak Dapat Penanganan Khusus)
Asni memandang beban pembuktian terjadinya tindakan kekerasan seksual lebih banyak dibebankan pada korban. Bukan hanya mengalami, tapi juga bisa membuktikan bahwa dirinya adalah korban.
“Semua kesalahan ditimpakan kepadanya bahwa itu terjadi karena korbannya sendiri. Ini sesuatu yang tidak bisa kita diamkan begitu saja. Apa kita harus masih menunggu korban bertambah banyak lagi,” tandas dia.
Ia menambahkan, dampak kejahatan itu tidak hanya dialami korban saja. Menurutnya, kekerasan seksual juga dirasakan oleh keluarga terdekat dan generasi penerus atau keturunan berikutnya.
Sebagai informasi, DPR diketahui berencana mengesahkan Prolegnas Prioritas 2021 pada Oktober ini. Lantaran itu, LBH Apik berharap parlemen bisa menepati janji meloloskan kembali RUU PKS dalam agenda pengesahan tersebut.
(muh)