Polemik Mogok Nasional

Senin, 05 Oktober 2020 - 05:44 WIB
loading...
Polemik Mogok Nasional
Rio Christiawan
A A A
JAKARTA - Oleh Rio Christiawan

Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

SERIKAT pekerja/serikat buruh (SP/SB) mengancam akan mengadakan mogok nasional pada 6–8 Oktober 2020. Aksi mogok nasional tersebut dilatarbelakangi rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang memuat klaster ketenagakerjaan oleh DPR.
Klaster ketenagakerjaan yang termuat dalam RUU Cipta Kerja dipandang oleh SP/SB merugikan posisi pekerja dalam hubungan industrial. SP/SB memandang bahwa ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan tidak menguntungkan posisi pekerja, khususnya menyangkut ketentuan remunerasi, seperti kompensasi pesangon, pensiun, maupun hal lainnya yang bersifat remuneratif. Dalam konsep hubungan industrial yang melibatkan pengusaha dan pekerja, persoalan remunerasi selalu berkaitan dengan kondisi keuangan (cash flow).

Logis jika SP/SB melakukan protes, bahkan hingga mengadakan rencana mogok nasional mengingat pemerintah dan DPR bakal mengesahkan RUU Cipta Kerja dalam waktu dekat. Logikanya, tentu kebijakan turunnya remunerasi tersebut akan menimbulkan resistensi. Sebaliknya, situasi yang secara komprehensif perlu dipahami oleh semua kalangan adalah kondisi makro perekonomian yang memburuk, baik di dunia maupun di Indonesia.

Saat ini ada ancaman pertumbuhan ekonomi minus sekitar 6,5% dan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) per 1 Oktober 2020 (sesuai data Kementerian Tenaga Kerja) yang mendekati angka 4 juta pekerja. Kondisi sebaliknya profil investasi sebagaimana data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) per 1 Oktober 2020 menunjukkan tren stagnan, bahkan melandai jika dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya (year on year). Akhirnya dengan situasi tersebut perlu disadari bahwa kondisi ini akan berpengaruh pada situasi keuangan para pemberi kerja sehingga tuntutan mempertahankan remunerasi atau meningkatkan remunerasi, bukan solusi saat ini.

Stinson ett all (2008), menjelaskan bahwa remunerasi bagi pekerja adalah beban bagi pemberi kerja (fix cost). Dalam situasi perekonomian resesi yang berpotensi depresi, maka fokus utama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan investasi itu sendiri. Kegagalan investasi untuk mengantisipasi dampak resesi akan menyebabkan terus meningkatnya jumlah PHK. Jika demikian halnya, pemerintah harus menyelamatkan kondisi keuangan (cash flow) para pemberi kerja dengan memberi insentif yang dapat menciptakan “relaksasi” bagi kondisi keuangan investor dalam kondisi resesi.

Jalan Tengah
Sebaliknya, dampak penurunan remunerasi bagi kondisi para pekerja dalam situasi perekonomian yang resesi juga tidak bisa dikesampingkan. Dasar filosofis dari remunerasi adalah kebutuhan hidup layak (KHL). KHL akan sangat berkorelasi pada inflasi dan kondisi perekonomian makro lainnya. Pada situasi resesi ekonomi seperti saat ini melakukan penyesuaian (pengurangan) remunerasi untuk para pekerja juga bukan hal bijaksana. Perubahan tersebut justru dapat berpotensi menyebabkan konflik hubungan industrial antara investor dan pekerja.

Kondisi empiris yang saat ini perlu disadari pemerintah adalah protes dari para pekerja terkait penyesuaian remunerasi melalui paket RUU Cipta Kerja sehingga menimbulkan agenda mogok nasional. Sebaliknya, pemerintah juga perlu
menyadari bahwa sebagian besar investor mengalami tekanan keuangan, baik sebagai akibat dari pandemi Covid-19 yang berkepanjangan maupun sebagai dampak dari resesi dan pertumbuhan ekonomi yang minus.

Perlu dipahami bahwa mogok nasional jelas bukan solusi. Pemerintah melalui Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8/2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit, perlu mengambil inisiatif atas jalan tengah yang dapat diterima, baik oleh pekerja, SP/SB, maupun investor.

Mogok nasional justru akan membuat kondisi perekonomian semakin tertekan, arus investasi baru akan melambat, dan bahkan akan menimbulkan banyak PHK baru. Sebagaimana diketahui, beberapa organisasi pengusaha, seperti Apindo maupun Kadin menerbitkan edaran mengenai mogok kerja tidak sah. Dalam situasi tingginya angka PHK seperti saat ini, maka menghindari potensi PHK adalah jalan terbaik karena penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui jalur formal, seperti melalui dinas tenaga kerja maupun melalui pengadilan hubungan industrial akan tidak efektif.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1329 seconds (0.1#10.140)