Saatnya Makna Baru Kata Sosial dalam Media Sosial

Sabtu, 03 Oktober 2020 - 06:30 WIB
loading...
A A A
Manakala dalam realitasnya, interaktivitas di dunia digital identik dengan nilai ekonomi dapat diakumulasikan, tiap pelaku berkompetisi. Mereka memoles elemen interaktivitas : nilai personal dan kandungan konten. Ini sesuai dengan uraian Charlene Li dan Josh Bernoff, 2008 tentang Groundswell.

Keduanya mengemukakan, manusia dapat meraih derajat ekonomi yang lebih tinggi, dengan melibatkan pemanfaatan teknologi. Kehidupan manusia yang semula biasa-biasa saja, jadi naik derajat ekonominya, dengan kuasa teknologi. Terdapat segitiga siklikal dalam groundswell: manusia, teknologi dan ekonomi. Ketiganya bisa dibaca dari arah mana saja, untuk menghasilkan perubahan.

Fenomenanya hari ini, sebagai bentuk aplikasi groundswell, di dunia digital banyak berseliweran tip dan trik yang membahas personal branding. Demikian pula dengan maraknya riset yang menghasilkan formula membangun kesuksesan kandungan konten. Logikanya, manakala teknologi berupa media sosial telah tersedia dan dapat diakses dengan cuma-cuma, wajar jika dimanfaatkan untuk meraih nilai ekonomi.

Dalam keadaan ini, persaingan adalah keniscayaan. Tiap pemilik akun media sosial membangun nilai personalnya lewat kandungan konten. Bentuknya, berupa ungkapan yang berangkat dari hal sederhana yang dituliskan berkala, hingga berkembang jadi komentar sarkas yang tak mengindahkan sopan santun.

Dapat pula berbagi pengalaman unik, yang kemudian berkembang jadi memamerkan keberanian menantang hal-hal yang berbahaya dan konyol. Dan dalam hal penyajian keindahan yang ditangkap lewat kamera, atau saran melakukan sesuatu yang disajikan secara audiovisual, bergeser jadi penyajian prank yang tak mengindahkan kewarasan akal budi, maupun soal baik-buruk.

Tujuan akhirnya satu dimensi: membangun interaktivitas yang bernilai ekonomi. Jika keadaan ini diteruskan, tentu situasinya jadi tak nyaman dan mengkhawatirkan. Akumulasi membangun interaktivitas, tak ada lagi batasnya. Makna sosial, yang mengasumsikan aktivitas yang dilakukan secara sehat, tak jelas lagi letak sehatnya. Gejala ini kemudian memunculkan gerakan senyap dan masif, mulai dari membatalkan penggunaan media sosial, diet media sosial, hingga membatasi interaktivitas sosial hanya dengan orang-orang yang jelas motif dan status kesehatan mentalnya.

Sara Wilson, 2020 dalam artikelnya The Era of Antisocial Social Media, yang dimuat di Harvard Business Review, melaporkan adanya gelombang besar memberi makna baru frasa sosial, dalam media sosial. Dan itu diikuti tindakan nyata yang relevan. Gelombang besar itu terindikasi dari maraknya pengunduhan aplikasi-aplikasi yang membatasi kesertaan sosial pihak-pihak yang tak dikehendaki, dalam bermedia sosial.

Ilustrasinya, ada Text Rex suatu layanan rekomendasi restoran yang dipersonalisasi khusus untuk anggota. Aplikasi ini berbasis pesan teks dari situs ulasan makanan The Infatuation. Fasilitas teknologi ini dapat digunakan untuk mengajukan pertanyaan dan memperoleh jawaban. Dan jawaban hanya diperoleh dari orang-orang yang telah jadi anggota.

Demikian pula ada aplikasi untuk membantu perusahaan, bintang, maupun personal terkenal, yang memfasilitasi percakapan langsung dengan penggemarnya, lewat pesan teks. Ini dapat berlansung tanpa resiko terkubur oleh umpan sosial dan algoritma. Maka, alih-alih berharap pengembang platform menyempurnakan teknologi media sosialnya agar layak digunakan, memberi makna baru kata sosial yang lebih menyehatkan, bisa jadi piihan cerdas. Lalu, apa makna sosial dalam bermedia sosial Anda, hari ini?
(dam)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2165 seconds (0.1#10.140)