Saatnya Makna Baru Kata Sosial dalam Media Sosial

Sabtu, 03 Oktober 2020 - 06:30 WIB
loading...
Saatnya Makna Baru Kata Sosial dalam Media Sosial
Dr Firman Kurniawan S, pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org. Foto/Istimewa
A A A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org

DALAM bukunya yang telah cukup lama terbit dan dijadikan sebagai acuan global tentang media digital, The Social Media Bible: Tactics, Tools, and Strategies for Business Success, Lon Safko, 2012 meletakkan pengertian sosial, sebagai kebutuhan manusia untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan manusia lain.

Sedangkan media, mengacu pada sarana yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. Tak ada yang istimewa dari definisi sosial Safko, sampai ada yang melihat lompatan evolusi penerapannnya.

Dalam penerapannya, cakupan berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain, terdiri atas gelombang-gelombang aktivitas sosial yang bergeser, mencapai posisi “sulit dimengerti”, jika itu terjadi di era pradigital.

Pada gelombang awal, saat teknologi media sosial masih ditopang teknologi berbasis web 1.0, yang dapat dilakukan pengguna, perusahaan maupun pribadi, sebatas aktivitas sosial satu arah: memuat profil perusahaan di website, mencatatkan aktivitas beserta citra visualnya di weblog, atau mengubah kebiasaan-kebiasaan analog seperti berkiriman surat, jadi berkiriman surat secara elektronik, e-mail.

Demokratisasi komunikasi di tahap ini mulai tampak lamat-lamat dan jadi kelaziman. Semua orang yang punya akses terhadap interconnecting networking, kepanjangan dari internet, dapat memuat informasi apapun pada medium yang tersedia saat itu. Sebelumnya, kemewahan publikasi hanya dapat dinikmati perusahaan-perusahaan besar, atau pesohor dengan aneka prestasinya.

Di awal evolusi yang masih sederhana ini pun, banyak kalangan yang menyelami hidup di masa pra digital, tak paham terhadap adanya aktivitas menampilkan aktivitas pribadi beserta citra visualnya di hadapan publik.

Mereka yang lahir di era Gen X, yang merupakan generasi yang mengalami peralihan ke era digital, merasa tabu memamerkan buku hariannya di hadapan publik. Padahal itu identik dengan yang dilakukan, saat seseorang menampilkan aktivitas pribadinya di weblog.

Lalu dengan hadirnya teknologi Web 2.0 yang memberi kesempatan bagi tiap pengguna teknologi, untuk berinteraksi langsung secara real time, makna sosial dari media sosial makin riuh. Interaktivitas, di dunia tak digital yang terdiri dari daya tarik personal dan kandungan konten, jadi penentu. Manakala personal, sebagai produser dan distributor informasi punya nilai unggul di hadapan khalayaknya, interaktivitasnya bakal tinggi. Lebih-lebih jika itu diikuti dengan kandungan konten yang dipertukarkannya.

Secara rumus kemudian berlaku, interaktivitas adalah fungsi dari nilai personal ditambah kandungan kontennya. Dalam Realitas digital, itu tak beda. Medium digital justru melipatgandakan berlakunya rumus. Karena tiap personal produsen dan distributor kandungan konten, dapat melakukannnya lebih leluasa, kapan saja.

Manakala dalam realitasnya, interaktivitas di dunia digital identik dengan nilai ekonomi dapat diakumulasikan, tiap pelaku berkompetisi. Mereka memoles elemen interaktivitas : nilai personal dan kandungan konten. Ini sesuai dengan uraian Charlene Li dan Josh Bernoff, 2008 tentang Groundswell.

Keduanya mengemukakan, manusia dapat meraih derajat ekonomi yang lebih tinggi, dengan melibatkan pemanfaatan teknologi. Kehidupan manusia yang semula biasa-biasa saja, jadi naik derajat ekonominya, dengan kuasa teknologi. Terdapat segitiga siklikal dalam groundswell: manusia, teknologi dan ekonomi. Ketiganya bisa dibaca dari arah mana saja, untuk menghasilkan perubahan.

Fenomenanya hari ini, sebagai bentuk aplikasi groundswell, di dunia digital banyak berseliweran tip dan trik yang membahas personal branding. Demikian pula dengan maraknya riset yang menghasilkan formula membangun kesuksesan kandungan konten. Logikanya, manakala teknologi berupa media sosial telah tersedia dan dapat diakses dengan cuma-cuma, wajar jika dimanfaatkan untuk meraih nilai ekonomi.

Dalam keadaan ini, persaingan adalah keniscayaan. Tiap pemilik akun media sosial membangun nilai personalnya lewat kandungan konten. Bentuknya, berupa ungkapan yang berangkat dari hal sederhana yang dituliskan berkala, hingga berkembang jadi komentar sarkas yang tak mengindahkan sopan santun.

Dapat pula berbagi pengalaman unik, yang kemudian berkembang jadi memamerkan keberanian menantang hal-hal yang berbahaya dan konyol. Dan dalam hal penyajian keindahan yang ditangkap lewat kamera, atau saran melakukan sesuatu yang disajikan secara audiovisual, bergeser jadi penyajian prank yang tak mengindahkan kewarasan akal budi, maupun soal baik-buruk.

Tujuan akhirnya satu dimensi: membangun interaktivitas yang bernilai ekonomi. Jika keadaan ini diteruskan, tentu situasinya jadi tak nyaman dan mengkhawatirkan. Akumulasi membangun interaktivitas, tak ada lagi batasnya. Makna sosial, yang mengasumsikan aktivitas yang dilakukan secara sehat, tak jelas lagi letak sehatnya. Gejala ini kemudian memunculkan gerakan senyap dan masif, mulai dari membatalkan penggunaan media sosial, diet media sosial, hingga membatasi interaktivitas sosial hanya dengan orang-orang yang jelas motif dan status kesehatan mentalnya.

Sara Wilson, 2020 dalam artikelnya The Era of Antisocial Social Media, yang dimuat di Harvard Business Review, melaporkan adanya gelombang besar memberi makna baru frasa sosial, dalam media sosial. Dan itu diikuti tindakan nyata yang relevan. Gelombang besar itu terindikasi dari maraknya pengunduhan aplikasi-aplikasi yang membatasi kesertaan sosial pihak-pihak yang tak dikehendaki, dalam bermedia sosial.

Ilustrasinya, ada Text Rex suatu layanan rekomendasi restoran yang dipersonalisasi khusus untuk anggota. Aplikasi ini berbasis pesan teks dari situs ulasan makanan The Infatuation. Fasilitas teknologi ini dapat digunakan untuk mengajukan pertanyaan dan memperoleh jawaban. Dan jawaban hanya diperoleh dari orang-orang yang telah jadi anggota.

Demikian pula ada aplikasi untuk membantu perusahaan, bintang, maupun personal terkenal, yang memfasilitasi percakapan langsung dengan penggemarnya, lewat pesan teks. Ini dapat berlansung tanpa resiko terkubur oleh umpan sosial dan algoritma. Maka, alih-alih berharap pengembang platform menyempurnakan teknologi media sosialnya agar layak digunakan, memberi makna baru kata sosial yang lebih menyehatkan, bisa jadi piihan cerdas. Lalu, apa makna sosial dalam bermedia sosial Anda, hari ini?
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1105 seconds (0.1#10.140)