Indonesia - China Mulai Manjauhi Dolar AS
loading...
A
A
A
PELAN tapi pasti, Indonesia telah mengurangi penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung (Local Currency Settlement/LCS). Indonesia telah menjalin kerja sama dengan sejumlah negara yang sepakat menggunakan mata uang lokal dalam berdagang dan urusan investasi. Belum lama ini, tepatnya September lalu, Bank Indonesia (BI) dan People Bank of China (PBoC) telah menandatangani pembentukan kerangka kerja sama dalam penggunaan mata uang lokal atau kesepakatan LCS.
Kalangan pengusaha dan sejumlah ekonom memandang positif lahirnya kesepakatan kedua bank sentral tersebut dalam urusan LCS. Pasalnya, volume transaksi perdagangan antara Indonesia dan Negeri Panda itu yang sangat besar sudah pasti akan mengurangi kebutuhan mata uang Paman Sam. Dengan demikian bakal berpengaruh terhadap permintaan dolar AS yang dikenal sebagai mata uang yang sangat perkasa selama ini. Sayangnya, kerja sama penggunaan uang lokal atau LCS diperkirakan tidak banyak pengaruhnya pada volatilitas rupiah terhadap dolar AS. Pasalnya, pergerakan kurs rupiah terhadap mata uang AS dipengaruhi banyak faktor, mulai dari arus keluar masuk modal asing hingga kebijakan The Fed atau bank sentral AS.
Ke depan, kerja sama tersebut akan diperkuat sejumlah kegiatan mulai dari sharing informasi hingga diskusi secara berkala bank sentral kedua negara. Diharapkan kerjasama antara BI dan PBoC bukan hanya sebatas penyelesaian transaksi perdagangan bilaterlan dan investasi langsung, tetapi lebih jauh dari itu, misalnya kerja sama dalam bidang keuangan semakin meningkat yang bisa memberi keuntungan kedua negara itu. Sebelum menjalin kerja sama dengan bank sentral China, pihak BI telah menggandeng Bank of Thailand (BoT), Bank Negara Malaysia (BNM), dan Kementerian Keuangan Jepang, bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK), bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA), dan Singapura terkait dengan penggunaan uang lokal dalam hubungan perdagangan dan investasi guna meminimalisir ketergantungan terhadap dolar AS.
Pada Maret lalu, BI dan BoK melakukan perpanjangan perjanjian penyediaan likuiditas perdagangan dengan mata uang lokal (Bilateral Currency Swap Agreement/BCSA) yang bernilai KRW 10,7 triliun atau setara dengan Rp 115 triliun yang berlaku efektif mulai dari 6 Maret 2020 hingga 5 Maret 2023, dan akan diperpanjan lagi apabila memberi keuntungan pada kedua negara. Melalui kesepakatan tersebut memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral. Semangat dari perjanjian tersebut bukan sekadar mengurangi penggunaan dolar AS tetapi lebih dari itu, yakni mendorong perdagangan bilateral dan meningkatkan kerja sama keuangang yang lebih erat dalam kerangka pengembangan ekonomi kedua negara.
Sebelum petinggi BI duduk bersama pejabat BpoC dalam urusan LCS, pihak BI terlebih dahulu meneken kesepakatan dengan Kementerian Keuangan Jepang terkait penyelesaian transaksi perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal, rupiah atau yen. Adapun nota kesepahaman tersebut ditandatangani pada 5 Desember 2019. Bahkan jauh sebelum bersepakat dengan pemerintah Negeri Matahari Terbit, bank sentral sudah bekerja sama dengan BoT dan BNM dalam urusan LCS, tepatnya pada 11 Desember 2017.
Terlepas dari kesepakatan antara bank sentral China dan BI yang mendorong penggunaan uang lokal dalam bertransaksi perdagangan dan investasi, menarik dicermati adalah perkembangan mata uang yuan yang semakin berotot. Buktinya, mata uang yuan kini menjadi cadangan mata uang terbesar ketiga di dunia, setelah dolar AS dan euro. Predikat tersebut disematkan oleh Morgan Stanley berdasarkan hasil analisis yang dipublikasikan awal September lalu. Posisi yuan saat ini telah berkontribusi sekitar 2% dari aset cadangan devisa dunia. Angka tersebut diproyeksi melesat menjadi 10% pada 2030. Apabila prediksi itu terbukti maka yuan akan mengungguli level yen, Jepang dan pound, Inggris.
Memang, pemerintah China tidak pernah lelah mempromosikan penggunaan yuan atau yang dikenal sebagai renmimbi (RMB). Dan berbagai upaya dilakukan agar lembaga keuangan asing masuk ke pasar domestik. Bahkan investor asing memilih China untuk menanam modalnya karena potensi keuntungannya lebih tinggi dibanding negara lainnya. Pada tahun ini, laju pertumbuhan ekonomi China memang tersandung pandemi Covid-19, namun sejumlah lembaga riset internasional memprediksi perekonomian Negeri Bambu itu bisa bangkit lagi bahkan lebih cepat dari negara lainnya.
Bagaimana dengan dolar AS? Akibat kebijakan konfrontaif dari Presiden AS, Donald Trump, ternyata telah memicu gelombang ketidakpuasan dari berbagai negara. Salah satu bentuk protes adalah lahirnya kesepakatan LCS dari berbagai negara, termasuk kesepakatan BI dan bank sentral China yang meninggalkan dolar AS sebagai alat transaksi. Dolar AS mulai dijauhi. (*)
Kalangan pengusaha dan sejumlah ekonom memandang positif lahirnya kesepakatan kedua bank sentral tersebut dalam urusan LCS. Pasalnya, volume transaksi perdagangan antara Indonesia dan Negeri Panda itu yang sangat besar sudah pasti akan mengurangi kebutuhan mata uang Paman Sam. Dengan demikian bakal berpengaruh terhadap permintaan dolar AS yang dikenal sebagai mata uang yang sangat perkasa selama ini. Sayangnya, kerja sama penggunaan uang lokal atau LCS diperkirakan tidak banyak pengaruhnya pada volatilitas rupiah terhadap dolar AS. Pasalnya, pergerakan kurs rupiah terhadap mata uang AS dipengaruhi banyak faktor, mulai dari arus keluar masuk modal asing hingga kebijakan The Fed atau bank sentral AS.
Ke depan, kerja sama tersebut akan diperkuat sejumlah kegiatan mulai dari sharing informasi hingga diskusi secara berkala bank sentral kedua negara. Diharapkan kerjasama antara BI dan PBoC bukan hanya sebatas penyelesaian transaksi perdagangan bilaterlan dan investasi langsung, tetapi lebih jauh dari itu, misalnya kerja sama dalam bidang keuangan semakin meningkat yang bisa memberi keuntungan kedua negara itu. Sebelum menjalin kerja sama dengan bank sentral China, pihak BI telah menggandeng Bank of Thailand (BoT), Bank Negara Malaysia (BNM), dan Kementerian Keuangan Jepang, bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK), bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA), dan Singapura terkait dengan penggunaan uang lokal dalam hubungan perdagangan dan investasi guna meminimalisir ketergantungan terhadap dolar AS.
Pada Maret lalu, BI dan BoK melakukan perpanjangan perjanjian penyediaan likuiditas perdagangan dengan mata uang lokal (Bilateral Currency Swap Agreement/BCSA) yang bernilai KRW 10,7 triliun atau setara dengan Rp 115 triliun yang berlaku efektif mulai dari 6 Maret 2020 hingga 5 Maret 2023, dan akan diperpanjan lagi apabila memberi keuntungan pada kedua negara. Melalui kesepakatan tersebut memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral. Semangat dari perjanjian tersebut bukan sekadar mengurangi penggunaan dolar AS tetapi lebih dari itu, yakni mendorong perdagangan bilateral dan meningkatkan kerja sama keuangang yang lebih erat dalam kerangka pengembangan ekonomi kedua negara.
Sebelum petinggi BI duduk bersama pejabat BpoC dalam urusan LCS, pihak BI terlebih dahulu meneken kesepakatan dengan Kementerian Keuangan Jepang terkait penyelesaian transaksi perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal, rupiah atau yen. Adapun nota kesepahaman tersebut ditandatangani pada 5 Desember 2019. Bahkan jauh sebelum bersepakat dengan pemerintah Negeri Matahari Terbit, bank sentral sudah bekerja sama dengan BoT dan BNM dalam urusan LCS, tepatnya pada 11 Desember 2017.
Terlepas dari kesepakatan antara bank sentral China dan BI yang mendorong penggunaan uang lokal dalam bertransaksi perdagangan dan investasi, menarik dicermati adalah perkembangan mata uang yuan yang semakin berotot. Buktinya, mata uang yuan kini menjadi cadangan mata uang terbesar ketiga di dunia, setelah dolar AS dan euro. Predikat tersebut disematkan oleh Morgan Stanley berdasarkan hasil analisis yang dipublikasikan awal September lalu. Posisi yuan saat ini telah berkontribusi sekitar 2% dari aset cadangan devisa dunia. Angka tersebut diproyeksi melesat menjadi 10% pada 2030. Apabila prediksi itu terbukti maka yuan akan mengungguli level yen, Jepang dan pound, Inggris.
Memang, pemerintah China tidak pernah lelah mempromosikan penggunaan yuan atau yang dikenal sebagai renmimbi (RMB). Dan berbagai upaya dilakukan agar lembaga keuangan asing masuk ke pasar domestik. Bahkan investor asing memilih China untuk menanam modalnya karena potensi keuntungannya lebih tinggi dibanding negara lainnya. Pada tahun ini, laju pertumbuhan ekonomi China memang tersandung pandemi Covid-19, namun sejumlah lembaga riset internasional memprediksi perekonomian Negeri Bambu itu bisa bangkit lagi bahkan lebih cepat dari negara lainnya.
Bagaimana dengan dolar AS? Akibat kebijakan konfrontaif dari Presiden AS, Donald Trump, ternyata telah memicu gelombang ketidakpuasan dari berbagai negara. Salah satu bentuk protes adalah lahirnya kesepakatan LCS dari berbagai negara, termasuk kesepakatan BI dan bank sentral China yang meninggalkan dolar AS sebagai alat transaksi. Dolar AS mulai dijauhi. (*)
(bmm)