Sidang MK, Ahli Pastikan Layanan OTT Masuk Kategori Penyiaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Iswandi Syahputra menilai layanan over the top (OTT) jenis online video distributor (OVD) merupakan kategori siaran yang mestinya tunduk pada Undang-undang Penyiaran .
Hal itu diungkapkan Iswandi saat menjadi ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK). Iswandi menyampaikan pandangannya secara daring atau virtual,
Iswandi yang juga mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon uji materi. Adapun uji materi diajukan oleh PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) sebagai pemohon dengan kuasa pemohon berasal dari kantor hukum TKNP Law Firm.
Secara spesifik, pemohon menguji Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Pasal a quo berbunyi, "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
Iswandi berpendapat layanan over-the-top (OTT) setidaknya ada empat entitas. Masing-masing, yakni penyedia konten, konten, operator, dan publik. Empat entitas ini, kata Iswandi, sebenarnya merupakan refleksi prinsip dasar dari model komunikasi yang sudah sangat lama digagas dan diperkenalkan oleh ahli komunikasi asal Amerika Serikat, Harold Dwight Lasswell.( )
Lasswell, tutur Iswandi, mengungkapkan bahwa komunikasi adalah siapa, mengatakan apa, melalui apa, kepada siapa, sehingga menimbulkan dampak apa.
Dalam konteks uji materilperkara ini, Iswandi mengatakan, fokus pada siapa, mengatakan apa dalam hal ini konten, dan kepada siapa dalam hal ini publik. Dia mengungkapkan, alasan kenapa fokusnya pada tiga hal tersebut.
"Karena alasan, konten negatif yang ada dalam OTT dapat berdampak merusak publik dan mengancam kedaulatan negara. Publik dalam hal ini adalah elemen terpenting dari Indonesia, negara kita. Oleh karena itu negara harus hadir melindungi warga negara, melindungi publiknya, ketika publik membutuhkan perlindungan. Sehubungan dengan OTT yang kita kenal sekarang, merupakan salah satu bentuk siaran," tegas Iswandi di hadapan para hakim konstitusi.( )
Media berbasis OTT sebagai bentuk siaran, ungkap Iswandi, karena Iswandi mengacu definisi yang ada pada International Telecommunication Union (ITU) atau Persatuan Telekomunikasi Internasional. ITU menjelaskan bahwa OTT adalah layanan atau aplikasi yang disediakan bagi penggunanya melalui internet.
Selain itu, Iswandi juga mengutip pernyataan dari Parlemen Eropa yang menjelaskan, OTT adalah layanan audio-visual non media atau on demand atau cukup disebut sebagai video on demand.
Berikutnya Iswandi juga mengutip satu pernyataan ahli media dari luar negeri bahwa OTT adalah layanan konten audio-visual yang disediakan di atas penerima eksisting penerima hari ini seperti TV kabel, parabola, atau safe to box.
"Dari pemahaman tentang OTT itu, saya menyimpulkan OTT berbasis internet, OTT konten audio-visual, dan OTT bersifat VOD (online video distributor). Dengan pemahaman itu, maka saya berpendapat bahwa OTT dengan VOD adalah bentuk siaran dari beberapa platform OTT lainnya," ujarnya.
Iswandi melanjutkan, oleh karena itu tidak semua OTT adalah siaran. Musababnya ada banyak jenis OTT melalui aplikasi contohnya SMS, WhatsApp, Facebook Messenger, dan lain-lain. Ada juga OTT dalam bentuk layanan video calling atau video chatting seperti Skype, Googlemeet, Zoom, dan lain-lain.
"Yang kita lakukan sekarang ini bagian dari layanan video calling dan ini adalah salah satu jenis OTT. Ada juga OTT video game streaming. Tetapi OTT yang dimaksud dalam konteks ini adalah OTT VOD. Dia masuk dalam kategori keempat layanan video streaming seperti Blix, Netflix, Amazon Prime, Vivo, dan Hulu," paparnya.
Oleh karena itu Iswandi mengungkapkan, OTT dalam bentuk video VOD adalah konten siaran atau bagian dari bentuk siaran maka perlu ada pihak yang mengaturnya.
Bahkan dia menyebutkan, negara mutlak melakukan pengaturan atau memberikan perlindungan terhadap warga negaranya dalam hal ini publik Indonesia dari siaran-siaran negatif layanan OTT dengan bentuk VOD.
"Karena itu harus ada aturan yang mengatur itu dan ada pihak yang merepresentasikan negara untuk mengatur konten OTT. Pengaturan tersebut dimaksudkan bukan untuk membatasi kebebasan warga. Bagi saya, pihak yang mewakili negara itu adalah Komisi Penyiaran Indonesia karena konten OTT dalam bentuk VOD masuk dalam siaran sebagaimana dimaksud dalam UU Penyiaran," ucap Iswandi.
Hal itu diungkapkan Iswandi saat menjadi ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK). Iswandi menyampaikan pandangannya secara daring atau virtual,
Iswandi yang juga mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon uji materi. Adapun uji materi diajukan oleh PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) sebagai pemohon dengan kuasa pemohon berasal dari kantor hukum TKNP Law Firm.
Secara spesifik, pemohon menguji Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Pasal a quo berbunyi, "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
Iswandi berpendapat layanan over-the-top (OTT) setidaknya ada empat entitas. Masing-masing, yakni penyedia konten, konten, operator, dan publik. Empat entitas ini, kata Iswandi, sebenarnya merupakan refleksi prinsip dasar dari model komunikasi yang sudah sangat lama digagas dan diperkenalkan oleh ahli komunikasi asal Amerika Serikat, Harold Dwight Lasswell.( )
Lasswell, tutur Iswandi, mengungkapkan bahwa komunikasi adalah siapa, mengatakan apa, melalui apa, kepada siapa, sehingga menimbulkan dampak apa.
Dalam konteks uji materilperkara ini, Iswandi mengatakan, fokus pada siapa, mengatakan apa dalam hal ini konten, dan kepada siapa dalam hal ini publik. Dia mengungkapkan, alasan kenapa fokusnya pada tiga hal tersebut.
"Karena alasan, konten negatif yang ada dalam OTT dapat berdampak merusak publik dan mengancam kedaulatan negara. Publik dalam hal ini adalah elemen terpenting dari Indonesia, negara kita. Oleh karena itu negara harus hadir melindungi warga negara, melindungi publiknya, ketika publik membutuhkan perlindungan. Sehubungan dengan OTT yang kita kenal sekarang, merupakan salah satu bentuk siaran," tegas Iswandi di hadapan para hakim konstitusi.( )
Media berbasis OTT sebagai bentuk siaran, ungkap Iswandi, karena Iswandi mengacu definisi yang ada pada International Telecommunication Union (ITU) atau Persatuan Telekomunikasi Internasional. ITU menjelaskan bahwa OTT adalah layanan atau aplikasi yang disediakan bagi penggunanya melalui internet.
Selain itu, Iswandi juga mengutip pernyataan dari Parlemen Eropa yang menjelaskan, OTT adalah layanan audio-visual non media atau on demand atau cukup disebut sebagai video on demand.
Berikutnya Iswandi juga mengutip satu pernyataan ahli media dari luar negeri bahwa OTT adalah layanan konten audio-visual yang disediakan di atas penerima eksisting penerima hari ini seperti TV kabel, parabola, atau safe to box.
"Dari pemahaman tentang OTT itu, saya menyimpulkan OTT berbasis internet, OTT konten audio-visual, dan OTT bersifat VOD (online video distributor). Dengan pemahaman itu, maka saya berpendapat bahwa OTT dengan VOD adalah bentuk siaran dari beberapa platform OTT lainnya," ujarnya.
Iswandi melanjutkan, oleh karena itu tidak semua OTT adalah siaran. Musababnya ada banyak jenis OTT melalui aplikasi contohnya SMS, WhatsApp, Facebook Messenger, dan lain-lain. Ada juga OTT dalam bentuk layanan video calling atau video chatting seperti Skype, Googlemeet, Zoom, dan lain-lain.
"Yang kita lakukan sekarang ini bagian dari layanan video calling dan ini adalah salah satu jenis OTT. Ada juga OTT video game streaming. Tetapi OTT yang dimaksud dalam konteks ini adalah OTT VOD. Dia masuk dalam kategori keempat layanan video streaming seperti Blix, Netflix, Amazon Prime, Vivo, dan Hulu," paparnya.
Oleh karena itu Iswandi mengungkapkan, OTT dalam bentuk video VOD adalah konten siaran atau bagian dari bentuk siaran maka perlu ada pihak yang mengaturnya.
Bahkan dia menyebutkan, negara mutlak melakukan pengaturan atau memberikan perlindungan terhadap warga negaranya dalam hal ini publik Indonesia dari siaran-siaran negatif layanan OTT dengan bentuk VOD.
"Karena itu harus ada aturan yang mengatur itu dan ada pihak yang merepresentasikan negara untuk mengatur konten OTT. Pengaturan tersebut dimaksudkan bukan untuk membatasi kebebasan warga. Bagi saya, pihak yang mewakili negara itu adalah Komisi Penyiaran Indonesia karena konten OTT dalam bentuk VOD masuk dalam siaran sebagaimana dimaksud dalam UU Penyiaran," ucap Iswandi.
(dam)