Tak Ada yang Kebal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tidak ada orang yang kebal Covid-19 . Baik tua atau muda, kaya atau miskin, pun mereka yang rajin berolahraga atau memilih berdiam diri di rumah sama-sama berpotensi terpapar virus yang kini menimbulkan pandemi di seantero dunia.
Penegasan ini disampaikan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito merespons temuan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa masih ada 17% masyarakat yang yakin tidak akan tertular Covid-19. Wiku mengaku menyayangkan ada persepsi seperti itu. (Baca: Waspada, Jangan Remehkan Sifat Lalai)
Berdasar Hasil Survei Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19 yang dirilis di Media Center Satgas Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta (28/9), BPS menyebut 17 dari 100 orang responden sangat yakini mereka tidak mungkin atau tidak mungkin tertular Covid-19.
Jumlah ini bukan kecil. Jika jumlah penduduk Indonesia secara nasional sebesar 270 juta orang, berarti ini hampir 50 juta orang yang memiliki keyakinan tersebut. “Jangan sekali-sekali kita berpikir bahwa karena rajin olahraga atau berdiam diri di rumah kita bisa kebal. Karena, tertular itu bisa mudah terjadi dari siapa pun yang kita temui,” ucapnya.
Wiku mengimbau agar masyarakat menjalankan protokol kesehatan 3M yakni menjaga jarak, gunakan masker, mencuci tangan, dan tidak berkerumun. Selain itu, Satgas juga tidak pernah berhenti mengedukasi masyarakat terkait hal ini. “Untuk masyarakat yang sudah paham, mohon agar saudara-saudara sekalian ingatkan orang lain yang belum sadar agar betul-betul kita menjadi satu kekuatan besar secara nasional untuk melawan virus ini,” ucapnya.
Dia kemudian mengingatkan, dalam menangani Covid-19 , pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kampanye protokol kesehatan juga terus dilakukan oleh para relawan di berbagai tempat. “Kami selalu bekerja keras agar relawan ini bisa efektif dengan menggunakan pendekatan sosial budaya sesuai dengan keadaan di masing-masing wilayah,” pungkasnya. (Baca juga: Bantu Guru PJJ, Kemendikbud Luncurkan Program Guru Belajar)
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono menduga orang-orang yang menyatakan yakin tidak tertular karena tidak mengetahui betapa cepatnya virus Sars Cov-II ini menular. Padahal, virus ini tidak pandang bulu, balita, anak-anak, remaja, dan orang tua bisa ditembus.
Terlebih, virus ini juga sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian. “Itu karena mereka tidak tahu. Bukan karena sakti. Belum ada vaksin, (kok) yakin tidak tertular. Orang hebat apa. Saya yakin jika 17% dan jumlah yang disurvei besar sampai 10.000 (orang) kalau dites, ada yang positif. Jadi jangan ngomong sembarangan. Mungkin dia OTG, sakit ringan, mungkin saja. 80% yang terinfeksi akan menjadi OTG,” tuturnya.
Dalam pandangannya, sejak pandemi Covid-19 merebak di Tanah Air memang banyak rintangan yang dihadapi dalam penangannya seperti ketidakpatuhan masyarakat, banyak informasi bohong, hingga ketersediaan alat pelindung diri. Ketidakpercayaan terhadap ada Covid-19 ini sempat menyeruak ke permukaan. Bahkan, hal itu diungkapkan oleh selebritas I Gede Ari Astina alias Jerinx.
Merespons kondisi tersebut, dia melihat di sinilah tugas pemerintah untuk terus melakukan kampanye tentang bagaimana penyebaran virus Sars Cov-II dan bahaya Covid-19. Selain itu, pemerintah juga harus agresif dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Semua itu untuk mencegah penularan virus Sars Cov-II. (Baca juga: RUU Kejaksaan Dinilai Ingin Jadikan Jaksa Superbody)
“Makanya, harus ada upaya edukasi yang baik oleh pemerintah. Enggak ada yang kebal terhadap penyakit ini kecuali sudah divaksin. Kalau dia pengetahuan baik dan vaksin, boleh jawab begitu. Masalahnya dia enggak tahu (bahaya Covid-19),” pungkasnya.
Sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto mengungkapkan fakta bahwa hingga saat ini 17% responden masih ada yang memahami tidak akan tertular Covid-19 . Mereka yang memiliki keyakinan demikian tanpa membedakan laki-laki maupun perempuan, dewasa atau muda.
Menurut BPS, kondisi demikian terjadi terkait tingkat pendidikan. Jika pendidikannya rendah, mereka yakin bahwa dirinya pasti enggak tertular. Sebaliknya, mereka yang berpendidikan tinggi memiliki kesadaran yang lebih baik.
Mendapatkan fakta demikian, BPS meminta pemerintah perlu lebih keras lagi untuk meningkatkan atau menggencarkan mengenai pemahaman masyarakat tentang bahaya Covid-19. Kalau perlu, ada sentuhan khusus agar supaya pemahaman masyarakat menjadi lebih komplit sehingga mereka mau berjaga-jaga agar tidak terpapar Covid-19.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo juga telah menegaskan bahwa di masa pandemi Covid-19 saat ini tidak ada yang betul-betul aman dari Covid-19. Apalagi, perantara penularan virus bukan hewan,tapi manusia. Termasuk mereka yang terkenal Covid-19, tapi tanpa gejala.
Dia pun mengajak semua pihak secara bersama-sama menggerakkan seluruh instrumen baik yang ada di pusat maupun di daerah dengan kolaborasi pentaheliks berbasis komunitas. (Baca juga: Pneumonia Butuh Penanganan Serius)
Kewaspadaan terhadap virus corona memang harus terus dijaga sebab kasus positif Covid-19 tidak berhenti bertambah. Kemarin jumlah positifnya bertambah 4.284 kasus hingga akumulasi sebanyak 287.008 orang. Jumlah ini merupakan hasil tracing melalui pemeriksaan sebanyak 45.496 spesimen yang dilakukan dengan metode real time polymerase chain reaction (PCR) dan tes cepat molekuler (TCM).
Laporan juga menyebut kasus sembuh dari Covid-19 tercatat bertambah 4.510 orang sehingga total sebanyak 214.947 orang sembuh. Sedangkan jumlah yang meninggal kembali bertambah 139 orang sehingga meninggal menjadi 10.740 orang. Sementara sebanyak 132.693 orang menjadi suspect Covid-19.
Secara global jumlah kematian akibat wabah virus corona Covid-19 telah melampaui 1 juta orang atau 1 kematian per 16 detik. Kematian tertinggi terjadi di Amerika Serikat (AS), Brasil, dan India.
Jumlah korban tewas akibat Covid-19 kini dua kali lipat lebih banyak daripada korban tewas tahunan akibat malaria. Angka kematian meningkat dalam beberapa pekan terakhir menyusul tingginya angka penularan di berbagai negara. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres meminta agar dunia waspada. (Baca juga: 83 Juta Warga India Kemungkinan Telah Terinfeksi Virus Covid-19)
“Dunia kita telah mencatat sejarah dan capaian yang kelam,” ujar Guterres dalam keterangan pers, dikutip Reuters. “Ini merupakan data yang memprihatinkan dan menyedihkan. Kita tidak boleh lengah dan harus menghargai nyawa setiap orang. Mereka adalah ayah dan ibu, suami dan istri, adik dan kakak, teman, dan kolega,” sambungnya.
Hanya berselang tiga bulan, jumlah kematian akibat Covid-19 meningkat tajam dari 500.000 menjadi 1 juta orang. Lebih dari 5.400 orang tewas di seluruh dunia setiap 24 jam atau 226 orang per jam atau satu orang per 16 detik hingga terjadi krisis lahan pemakaman. Para ahli juga masih ragu data resmi yang dikeluarkan pemerintah tidak akurat.
Respons terhadap Covid-19 di berbagai negara berbeda-beda karena ditentukan berbagai faktor, mulai dari tingkat keterbukaan dengan dunia, luas negara, topografi wilayah, jumlah penduduk, sumber ekonomi, kualitas kesehatan, budaya, dan situasi politik. AS, Brasil, dan India juga dinilai kurang cepat memberlakukan lockdown. Kooperasi dari masyarakat juga rendah.
“Warga AS harus mengantisipasi peningkatan kasus pada hari-hari yang akan datang,” ujar Wakil Presiden AS Mike Pence setelah AS memperlonggar protokol kesehatan. Sementara itu, India yang mencatat angka penularan harian tertinggi di dunia (87.500 kasus) juga telah membuka lockdown dan mulai mengizinkan akses menuju tempat wisata. (Lihat videonya: Tempat Karaoke di Depok Ditutup Paksa Petugas)
Dengan tren saat ini, India kemungkinan besar dapat menyalip AS sebagai negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia pada akhir 2020. Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi juga tidak memiliki pilihan lain selain membuka lockdown menyusul pelambatan ekonomi nasional. Warga India juga mengalami banyak krisis keuangan.
Meski jumlah pasien meningkat, jumlah kematian akibat Covid-19 di India sekitar 95.500, jauh lebih rendah daripada di AS, Brasil, bahkan Inggris. Di Eropa yang terhitung menyumbangkan 25% dari total kematian di dunia juga diimbau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk waspada. Pasalnya, Eropa Barat sebentar lagi dilanda flu musim dingin. (Dita Angga/Binti Mufarida/Muh Shamil/F.W. Bahtiar)
Penegasan ini disampaikan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito merespons temuan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa masih ada 17% masyarakat yang yakin tidak akan tertular Covid-19. Wiku mengaku menyayangkan ada persepsi seperti itu. (Baca: Waspada, Jangan Remehkan Sifat Lalai)
Berdasar Hasil Survei Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19 yang dirilis di Media Center Satgas Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta (28/9), BPS menyebut 17 dari 100 orang responden sangat yakini mereka tidak mungkin atau tidak mungkin tertular Covid-19.
Jumlah ini bukan kecil. Jika jumlah penduduk Indonesia secara nasional sebesar 270 juta orang, berarti ini hampir 50 juta orang yang memiliki keyakinan tersebut. “Jangan sekali-sekali kita berpikir bahwa karena rajin olahraga atau berdiam diri di rumah kita bisa kebal. Karena, tertular itu bisa mudah terjadi dari siapa pun yang kita temui,” ucapnya.
Wiku mengimbau agar masyarakat menjalankan protokol kesehatan 3M yakni menjaga jarak, gunakan masker, mencuci tangan, dan tidak berkerumun. Selain itu, Satgas juga tidak pernah berhenti mengedukasi masyarakat terkait hal ini. “Untuk masyarakat yang sudah paham, mohon agar saudara-saudara sekalian ingatkan orang lain yang belum sadar agar betul-betul kita menjadi satu kekuatan besar secara nasional untuk melawan virus ini,” ucapnya.
Dia kemudian mengingatkan, dalam menangani Covid-19 , pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kampanye protokol kesehatan juga terus dilakukan oleh para relawan di berbagai tempat. “Kami selalu bekerja keras agar relawan ini bisa efektif dengan menggunakan pendekatan sosial budaya sesuai dengan keadaan di masing-masing wilayah,” pungkasnya. (Baca juga: Bantu Guru PJJ, Kemendikbud Luncurkan Program Guru Belajar)
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono menduga orang-orang yang menyatakan yakin tidak tertular karena tidak mengetahui betapa cepatnya virus Sars Cov-II ini menular. Padahal, virus ini tidak pandang bulu, balita, anak-anak, remaja, dan orang tua bisa ditembus.
Terlebih, virus ini juga sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian. “Itu karena mereka tidak tahu. Bukan karena sakti. Belum ada vaksin, (kok) yakin tidak tertular. Orang hebat apa. Saya yakin jika 17% dan jumlah yang disurvei besar sampai 10.000 (orang) kalau dites, ada yang positif. Jadi jangan ngomong sembarangan. Mungkin dia OTG, sakit ringan, mungkin saja. 80% yang terinfeksi akan menjadi OTG,” tuturnya.
Dalam pandangannya, sejak pandemi Covid-19 merebak di Tanah Air memang banyak rintangan yang dihadapi dalam penangannya seperti ketidakpatuhan masyarakat, banyak informasi bohong, hingga ketersediaan alat pelindung diri. Ketidakpercayaan terhadap ada Covid-19 ini sempat menyeruak ke permukaan. Bahkan, hal itu diungkapkan oleh selebritas I Gede Ari Astina alias Jerinx.
Merespons kondisi tersebut, dia melihat di sinilah tugas pemerintah untuk terus melakukan kampanye tentang bagaimana penyebaran virus Sars Cov-II dan bahaya Covid-19. Selain itu, pemerintah juga harus agresif dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Semua itu untuk mencegah penularan virus Sars Cov-II. (Baca juga: RUU Kejaksaan Dinilai Ingin Jadikan Jaksa Superbody)
“Makanya, harus ada upaya edukasi yang baik oleh pemerintah. Enggak ada yang kebal terhadap penyakit ini kecuali sudah divaksin. Kalau dia pengetahuan baik dan vaksin, boleh jawab begitu. Masalahnya dia enggak tahu (bahaya Covid-19),” pungkasnya.
Sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto mengungkapkan fakta bahwa hingga saat ini 17% responden masih ada yang memahami tidak akan tertular Covid-19 . Mereka yang memiliki keyakinan demikian tanpa membedakan laki-laki maupun perempuan, dewasa atau muda.
Menurut BPS, kondisi demikian terjadi terkait tingkat pendidikan. Jika pendidikannya rendah, mereka yakin bahwa dirinya pasti enggak tertular. Sebaliknya, mereka yang berpendidikan tinggi memiliki kesadaran yang lebih baik.
Mendapatkan fakta demikian, BPS meminta pemerintah perlu lebih keras lagi untuk meningkatkan atau menggencarkan mengenai pemahaman masyarakat tentang bahaya Covid-19. Kalau perlu, ada sentuhan khusus agar supaya pemahaman masyarakat menjadi lebih komplit sehingga mereka mau berjaga-jaga agar tidak terpapar Covid-19.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo juga telah menegaskan bahwa di masa pandemi Covid-19 saat ini tidak ada yang betul-betul aman dari Covid-19. Apalagi, perantara penularan virus bukan hewan,tapi manusia. Termasuk mereka yang terkenal Covid-19, tapi tanpa gejala.
Dia pun mengajak semua pihak secara bersama-sama menggerakkan seluruh instrumen baik yang ada di pusat maupun di daerah dengan kolaborasi pentaheliks berbasis komunitas. (Baca juga: Pneumonia Butuh Penanganan Serius)
Kewaspadaan terhadap virus corona memang harus terus dijaga sebab kasus positif Covid-19 tidak berhenti bertambah. Kemarin jumlah positifnya bertambah 4.284 kasus hingga akumulasi sebanyak 287.008 orang. Jumlah ini merupakan hasil tracing melalui pemeriksaan sebanyak 45.496 spesimen yang dilakukan dengan metode real time polymerase chain reaction (PCR) dan tes cepat molekuler (TCM).
Laporan juga menyebut kasus sembuh dari Covid-19 tercatat bertambah 4.510 orang sehingga total sebanyak 214.947 orang sembuh. Sedangkan jumlah yang meninggal kembali bertambah 139 orang sehingga meninggal menjadi 10.740 orang. Sementara sebanyak 132.693 orang menjadi suspect Covid-19.
Secara global jumlah kematian akibat wabah virus corona Covid-19 telah melampaui 1 juta orang atau 1 kematian per 16 detik. Kematian tertinggi terjadi di Amerika Serikat (AS), Brasil, dan India.
Jumlah korban tewas akibat Covid-19 kini dua kali lipat lebih banyak daripada korban tewas tahunan akibat malaria. Angka kematian meningkat dalam beberapa pekan terakhir menyusul tingginya angka penularan di berbagai negara. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres meminta agar dunia waspada. (Baca juga: 83 Juta Warga India Kemungkinan Telah Terinfeksi Virus Covid-19)
“Dunia kita telah mencatat sejarah dan capaian yang kelam,” ujar Guterres dalam keterangan pers, dikutip Reuters. “Ini merupakan data yang memprihatinkan dan menyedihkan. Kita tidak boleh lengah dan harus menghargai nyawa setiap orang. Mereka adalah ayah dan ibu, suami dan istri, adik dan kakak, teman, dan kolega,” sambungnya.
Hanya berselang tiga bulan, jumlah kematian akibat Covid-19 meningkat tajam dari 500.000 menjadi 1 juta orang. Lebih dari 5.400 orang tewas di seluruh dunia setiap 24 jam atau 226 orang per jam atau satu orang per 16 detik hingga terjadi krisis lahan pemakaman. Para ahli juga masih ragu data resmi yang dikeluarkan pemerintah tidak akurat.
Respons terhadap Covid-19 di berbagai negara berbeda-beda karena ditentukan berbagai faktor, mulai dari tingkat keterbukaan dengan dunia, luas negara, topografi wilayah, jumlah penduduk, sumber ekonomi, kualitas kesehatan, budaya, dan situasi politik. AS, Brasil, dan India juga dinilai kurang cepat memberlakukan lockdown. Kooperasi dari masyarakat juga rendah.
“Warga AS harus mengantisipasi peningkatan kasus pada hari-hari yang akan datang,” ujar Wakil Presiden AS Mike Pence setelah AS memperlonggar protokol kesehatan. Sementara itu, India yang mencatat angka penularan harian tertinggi di dunia (87.500 kasus) juga telah membuka lockdown dan mulai mengizinkan akses menuju tempat wisata. (Lihat videonya: Tempat Karaoke di Depok Ditutup Paksa Petugas)
Dengan tren saat ini, India kemungkinan besar dapat menyalip AS sebagai negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia pada akhir 2020. Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi juga tidak memiliki pilihan lain selain membuka lockdown menyusul pelambatan ekonomi nasional. Warga India juga mengalami banyak krisis keuangan.
Meski jumlah pasien meningkat, jumlah kematian akibat Covid-19 di India sekitar 95.500, jauh lebih rendah daripada di AS, Brasil, bahkan Inggris. Di Eropa yang terhitung menyumbangkan 25% dari total kematian di dunia juga diimbau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk waspada. Pasalnya, Eropa Barat sebentar lagi dilanda flu musim dingin. (Dita Angga/Binti Mufarida/Muh Shamil/F.W. Bahtiar)
(ysw)