Gugatan Ninmedia Ditolak MK, MNC Group: Hak Siar Dilindungi Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan PT Nadira Intermedia Nusantara (Ninmedia). Dengan penolakan tersebut, lembaga penyiaran berlangganan harus meminta izin kepada free to air (FTA) jika ingin menyiarkan ulang. Hak siar milik lembaga penyiaran dilindungi keberadaannya oleh negara.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar Usman, Ketua Hakim Konstitusi saat membacakan Amar Putusan, Selasa (29/9/2020).
Putusan itu diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan hakim konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P Foekh.
MK menjelaskan, dalil pemohon yang menyatakan Pasal 32 Ayat 1 UU 11/2008 sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik, kecuali LPB yang menyediakan dan menyalurkan siaran LPPdan LPS sesuai izin dari Negara” bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum," tegas Hakim Ketua Anwar Usman saat membacakan putusan sidang MK yang digelar secara virtual dari Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (29/9/2020).
Pada kesempatan tersebut, hakim juga berpendapat informasi yang hendak ditransmisikan kepada masyarakat luas wajib menghargai hak milik atau hak cipta orang lain itu. Sebab, esensi pengaturan hak tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap produk lembaga penyiaran, khususnya yang berkaitan dengan hak ekonomi.
"Oleh karenanya, setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten lembaga penyiaran," tutur Hakim Anggota Wahiduddin Adams.
MK juga menilai hak ekonomi melekat pada hak cipta. Artinya, hak ekonomi lembaga penyiaran terhadap siaran yang dimiliki tidak akan terlindungi jika lembaga penyiaran lainnya, dengan alasan telah memiliki izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) secara tanpa izin dapat menyiarkan kembali siaran yang dimilikinya.
Melalui putusan tersebut, MK menegaskan hak siar milik lembaga penyiaran dilindungi keberadaannya oleh Negara. Karena itu, pihak-pihak lain yang ingin melakukan siaran ulang baik dalam bentuk melakukan proses komputerisasi denganmenggandakan siaran, maupun dalam bentuk meneruskan siaran (rebroadcasting) harus atas seizin pemilik hak siaran.
"Konsep jaminan hak yang diatur dalam UU Nomor 28/2014 harus dipahami dalam kerangka bahwa negara memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak ekonomi lembaga penyiaran sebagai bagian dari hak yang terkait dengan hak cipta," kata Wahiduddin Adams. ( Baca juga: 4G vs 5G, Benarkah Jaringan Internet Generasi Kelima Lebih Baik? )
Hakim Anggota Saldi Isra mengatakan, apabila negara tidak memberikan perlindungan terhadap hak ekonomi, dalam batas penalaran yang wajar, hal demikian justru akan menimbulkan implikasi berupa ketidakpastian hukum dalam kerangka perlindungan hak cipta dan hak yang terkait hak cipta yang dimiliki lembaga penyiaran.
"Sebab hak ekonomi melekat pada hak cipta. Artinya, hak ekonomi lembaga penyiaran terhadap siaran yang dimiliki tidak akan terlindungi jika lembaga penyiaran lainnya dengan alasan telah memiliki IPP secara tanpa izin dapat menyiarkan kembali siaran yang dimilikinya," tuturnya.( Baca juga: Perang Armenia-Azerbaijan Meluas, Hampir 100 Orang Tewas di Nagorno-Karabakh )
Dalam konteks itu, meskipun setiap orang berhak, antara lain, menyampaikan informasi yang dalam konteks norma Pasal 32 Ayat 1 UU 11/2008 adalah mentransmisikan, orang tersebut harus memahami bahwa informasi yang hendak ditransmisikan kepada masyarakat luas adalah hak milik atau hak cipta orang lain, maka orang tersebut wajib menghargai hak milik atau hak cipta orang lain itu.
UU 32/2002, lanjut dia, mengatur tentang penyediaan paling sedikit sepuluh per seratus program dari LPP dan LPS, akan tetapi aturan tersebut tidak secara serta merta diartikan bahwa LPB secara bebas menyiarkan program dari LPP dan LPS, karena dalam UU 32/2002 juga ditentukan mengenai hak siar (vide Pasal 3143 UU 32/2002), yaitu hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya (vide Penjelasan Pasal 43 Ayat 2 UU 32/2002).
Bahkan, ketentuan terkait dengan keharusan hak siar tersebut dinyatakan dengan tegas dalam IPP masing-masing LPB.
Sehubungan dengan penyediaan paling sedikit sepuluh per seratus program dari LPP dan LPS, UU 32/2002 sudah memberikan solusi, sebagaimana dimaktubkan ketentuan Pasal 41 UU 32/2002 yang menyatakan antar-lembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama.
Menanggapi putusan MK tersebut, MNC Media sebagai pihak terkait menyatakan putusan tersebut sangat bagus dan mencerahkan.
Corporate Legal Director MNC Media Christophorus Taufik menjelaskan permohonan tersebut pada intinya mempertanyakan eksistensi hak siar. Dengan keputusan MK tersebut, maka keberadaan hak siar menjadi jelas dan harus dihargai. "Jadi, di sini ditegaskan oleh MK bahwa perlindungan kepada lembaga penyiaran untuk hak siarnya itu memang diberikan oleh Negara," katanya.
Selain itu, lanjut Christophorus, LPS dapat memberikan izin kalau ada pihak yang ingin menyiarkan. "Lalu poin yang tidak kalah penting, siaran yang dimiliki oleh lembaga penyiaran, tidak boleh disiarkan tanpa izin pemilik hak siar," tuturnya.
Andi Simangunsong dari AFS Partnership selaku Kuasa Hukum dari PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) selaku Pihak Terkait mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. '
Andi mengimbau kepada semua pihak agar menghormati dan memedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUUXVIII/2020, dengan menghormati Hak Cipta atas semua konten karya siaran dari semua dan setiap LPS dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar Hak Cipta dari LPS.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar Usman, Ketua Hakim Konstitusi saat membacakan Amar Putusan, Selasa (29/9/2020).
Putusan itu diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan hakim konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P Foekh.
MK menjelaskan, dalil pemohon yang menyatakan Pasal 32 Ayat 1 UU 11/2008 sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik, kecuali LPB yang menyediakan dan menyalurkan siaran LPPdan LPS sesuai izin dari Negara” bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum," tegas Hakim Ketua Anwar Usman saat membacakan putusan sidang MK yang digelar secara virtual dari Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (29/9/2020).
Pada kesempatan tersebut, hakim juga berpendapat informasi yang hendak ditransmisikan kepada masyarakat luas wajib menghargai hak milik atau hak cipta orang lain itu. Sebab, esensi pengaturan hak tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap produk lembaga penyiaran, khususnya yang berkaitan dengan hak ekonomi.
"Oleh karenanya, setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten lembaga penyiaran," tutur Hakim Anggota Wahiduddin Adams.
MK juga menilai hak ekonomi melekat pada hak cipta. Artinya, hak ekonomi lembaga penyiaran terhadap siaran yang dimiliki tidak akan terlindungi jika lembaga penyiaran lainnya, dengan alasan telah memiliki izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) secara tanpa izin dapat menyiarkan kembali siaran yang dimilikinya.
Melalui putusan tersebut, MK menegaskan hak siar milik lembaga penyiaran dilindungi keberadaannya oleh Negara. Karena itu, pihak-pihak lain yang ingin melakukan siaran ulang baik dalam bentuk melakukan proses komputerisasi denganmenggandakan siaran, maupun dalam bentuk meneruskan siaran (rebroadcasting) harus atas seizin pemilik hak siaran.
"Konsep jaminan hak yang diatur dalam UU Nomor 28/2014 harus dipahami dalam kerangka bahwa negara memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak ekonomi lembaga penyiaran sebagai bagian dari hak yang terkait dengan hak cipta," kata Wahiduddin Adams. ( Baca juga: 4G vs 5G, Benarkah Jaringan Internet Generasi Kelima Lebih Baik? )
Hakim Anggota Saldi Isra mengatakan, apabila negara tidak memberikan perlindungan terhadap hak ekonomi, dalam batas penalaran yang wajar, hal demikian justru akan menimbulkan implikasi berupa ketidakpastian hukum dalam kerangka perlindungan hak cipta dan hak yang terkait hak cipta yang dimiliki lembaga penyiaran.
"Sebab hak ekonomi melekat pada hak cipta. Artinya, hak ekonomi lembaga penyiaran terhadap siaran yang dimiliki tidak akan terlindungi jika lembaga penyiaran lainnya dengan alasan telah memiliki IPP secara tanpa izin dapat menyiarkan kembali siaran yang dimilikinya," tuturnya.( Baca juga: Perang Armenia-Azerbaijan Meluas, Hampir 100 Orang Tewas di Nagorno-Karabakh )
Dalam konteks itu, meskipun setiap orang berhak, antara lain, menyampaikan informasi yang dalam konteks norma Pasal 32 Ayat 1 UU 11/2008 adalah mentransmisikan, orang tersebut harus memahami bahwa informasi yang hendak ditransmisikan kepada masyarakat luas adalah hak milik atau hak cipta orang lain, maka orang tersebut wajib menghargai hak milik atau hak cipta orang lain itu.
UU 32/2002, lanjut dia, mengatur tentang penyediaan paling sedikit sepuluh per seratus program dari LPP dan LPS, akan tetapi aturan tersebut tidak secara serta merta diartikan bahwa LPB secara bebas menyiarkan program dari LPP dan LPS, karena dalam UU 32/2002 juga ditentukan mengenai hak siar (vide Pasal 3143 UU 32/2002), yaitu hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya (vide Penjelasan Pasal 43 Ayat 2 UU 32/2002).
Bahkan, ketentuan terkait dengan keharusan hak siar tersebut dinyatakan dengan tegas dalam IPP masing-masing LPB.
Sehubungan dengan penyediaan paling sedikit sepuluh per seratus program dari LPP dan LPS, UU 32/2002 sudah memberikan solusi, sebagaimana dimaktubkan ketentuan Pasal 41 UU 32/2002 yang menyatakan antar-lembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama.
Menanggapi putusan MK tersebut, MNC Media sebagai pihak terkait menyatakan putusan tersebut sangat bagus dan mencerahkan.
Corporate Legal Director MNC Media Christophorus Taufik menjelaskan permohonan tersebut pada intinya mempertanyakan eksistensi hak siar. Dengan keputusan MK tersebut, maka keberadaan hak siar menjadi jelas dan harus dihargai. "Jadi, di sini ditegaskan oleh MK bahwa perlindungan kepada lembaga penyiaran untuk hak siarnya itu memang diberikan oleh Negara," katanya.
Selain itu, lanjut Christophorus, LPS dapat memberikan izin kalau ada pihak yang ingin menyiarkan. "Lalu poin yang tidak kalah penting, siaran yang dimiliki oleh lembaga penyiaran, tidak boleh disiarkan tanpa izin pemilik hak siar," tuturnya.
Andi Simangunsong dari AFS Partnership selaku Kuasa Hukum dari PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) selaku Pihak Terkait mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. '
Andi mengimbau kepada semua pihak agar menghormati dan memedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUUXVIII/2020, dengan menghormati Hak Cipta atas semua konten karya siaran dari semua dan setiap LPS dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar Hak Cipta dari LPS.
(dam)