Perkembangan Pandemi sampai Regulasi Tak Mendukung Pilkada Dilanjutkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menyayangkan sikap DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilihan umum (pemilu) yang tetap melanjutkan Pilkada 2020 . Padahal tren perkembangan yang terpapar Covid-19 terus meningkat hingga dialami para peserta dan penyelenggara pemilu.
Direktur Kopel Indonesia Anwar Razak mengatakan bahwa pihaknya sejak Juni lalu sudah mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan pilkada. Ada sejumlah alasan mengapa Kopel bersikeras meminta pilkada ditunda sementara waktu.
Pertama, berdasarkan sejumlah pendapat pakar epidemiologi mengungkapkan belum diketahuinya kapan puncak pandemi Covid-19 terjadi. Sementara, penyelenggaraan pilkada tinggal beberapa bulan lagi. “Saat itu belum mencapai puncaknya. Kita hitung empat bulan ke depan itu sudah masuk akhir tahun 2020. Belum bisa sebenarnya kita melakukan pilkada serentak,” kata Anwar dalam konferensi pers secara daring, Selasa (22/9/2020).
(Baca: Din Syamsuddin Sesalkan Sikap Keras Kepala Pemerintah dan DPR soal Pilkada)
Kedua, kasus paparan virus Corona yang dialami para petugas, termasuk Ketua KPU Arief Budiman, Ketua KPU Sulawesi Selatan Faisal Amir, dan lainnya. Menurut dia, kasus tersebut harusnya menjadi cerminan terhadap pelaksanaan pilkada di masa pandemi.
“Mereka adalah jantung penyelenggara pilkada. Kalau mereka ini yang bermasalah, terpapar Covid-19, aktivitas sangat terhambat. Dari sisi penyebaran virus, maka ini sangat berpotensi menjadi klaster atau penyebar virus ke daerah. Saya melihat sebenarnya ini sudah berbagi virus. Di daerah sudah semakin tidak terkontrol dan di pusat juga sama sehingga semua berpotensi menjadi carrier (pembawa),” ujarnya.
(Baca: DPR: Penundaan Pilkada 2020 Juga Butuh Persiapan dan Berisiko)
Ketika kondisi ini terjadi, maka ada hal yang perlu dipertimbangkan saat pilkada berlangsung. Dalam konteks di luar tahapan pilkada, banyak sekali mobilitas orang yang tidak terkontrol. Misalnya, Kopel mendapati salah satu kandidat di Kota Makassar membentuk ratusan tim sukses kesehatan yang diyakini akan turun ke bawah dan bersosialisasi dengan masyarakat.
Ketiga, menyangkut regulasi. Ia menilai Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tidak cukup untuk mengatur tata kelola Pilkada yang bisa memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan bagi publik. Menurutnya, rekomendasi DPR, pemerintah, dan KPU dalam rapat pembahasan kemarin (21/9/2020) hanya pengulangan dari PKPU 6/2020.
“Kalaupun ada rekomendasi itu, maka saya sangat tidak yakin hal ini kemudian bisa mengontrol mobilitas orang di lapangan. Makanya kami menyatakan sikap bersama untuk tunda Pilkada ini sampai menemukan regulasi yang betul-betul memberikan jaminan bagi publik untuk berpilkada yang sehat,” tukasnya.
Direktur Kopel Indonesia Anwar Razak mengatakan bahwa pihaknya sejak Juni lalu sudah mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan pilkada. Ada sejumlah alasan mengapa Kopel bersikeras meminta pilkada ditunda sementara waktu.
Pertama, berdasarkan sejumlah pendapat pakar epidemiologi mengungkapkan belum diketahuinya kapan puncak pandemi Covid-19 terjadi. Sementara, penyelenggaraan pilkada tinggal beberapa bulan lagi. “Saat itu belum mencapai puncaknya. Kita hitung empat bulan ke depan itu sudah masuk akhir tahun 2020. Belum bisa sebenarnya kita melakukan pilkada serentak,” kata Anwar dalam konferensi pers secara daring, Selasa (22/9/2020).
(Baca: Din Syamsuddin Sesalkan Sikap Keras Kepala Pemerintah dan DPR soal Pilkada)
Kedua, kasus paparan virus Corona yang dialami para petugas, termasuk Ketua KPU Arief Budiman, Ketua KPU Sulawesi Selatan Faisal Amir, dan lainnya. Menurut dia, kasus tersebut harusnya menjadi cerminan terhadap pelaksanaan pilkada di masa pandemi.
“Mereka adalah jantung penyelenggara pilkada. Kalau mereka ini yang bermasalah, terpapar Covid-19, aktivitas sangat terhambat. Dari sisi penyebaran virus, maka ini sangat berpotensi menjadi klaster atau penyebar virus ke daerah. Saya melihat sebenarnya ini sudah berbagi virus. Di daerah sudah semakin tidak terkontrol dan di pusat juga sama sehingga semua berpotensi menjadi carrier (pembawa),” ujarnya.
(Baca: DPR: Penundaan Pilkada 2020 Juga Butuh Persiapan dan Berisiko)
Ketika kondisi ini terjadi, maka ada hal yang perlu dipertimbangkan saat pilkada berlangsung. Dalam konteks di luar tahapan pilkada, banyak sekali mobilitas orang yang tidak terkontrol. Misalnya, Kopel mendapati salah satu kandidat di Kota Makassar membentuk ratusan tim sukses kesehatan yang diyakini akan turun ke bawah dan bersosialisasi dengan masyarakat.
Ketiga, menyangkut regulasi. Ia menilai Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tidak cukup untuk mengatur tata kelola Pilkada yang bisa memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan bagi publik. Menurutnya, rekomendasi DPR, pemerintah, dan KPU dalam rapat pembahasan kemarin (21/9/2020) hanya pengulangan dari PKPU 6/2020.
“Kalaupun ada rekomendasi itu, maka saya sangat tidak yakin hal ini kemudian bisa mengontrol mobilitas orang di lapangan. Makanya kami menyatakan sikap bersama untuk tunda Pilkada ini sampai menemukan regulasi yang betul-betul memberikan jaminan bagi publik untuk berpilkada yang sehat,” tukasnya.
(muh)