Tangkal Radikalisme, Kemenag Tingkatkan Literasi Agama Takmir Masjid
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan akan fokus pada peningkatan kapasitas takmir masjid di seluruh Indonesia. Langkah ini dilakukan karena banyak takmir masjid yang literasi agamanya rendah.
"Ada penelitian begini, tentang takmir masjid di Jakarta, ternyata literasi takmir kita itu juga rendah. Literasi agamanya. Banyak yang bagus, tapi banyak juga yang rendah," kata Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Kamaruddin Amin saat menjadi pembicara Dialog Isu-Isu Kebimasislaman dengan Praktisi Media di Olympic Bigland Hotel Sentul, Kabupaten Bogor, Senin (21/9/2020).
(Baca: Menag Positif Covid-19, Akses Masuk Kantor Kemenag Dibatasi)
Menurut dia, rendahnya tingkat pengetahuan agama para pengurus masjid membuat mereka tidak bisa menyeleksi atau memproteksi dari pikiran atau ideologi ekstrem yang masuk ke masjid. Padahal penyebaran pikiran atau ideologi ekstrem merupakan tantangan nyata saat ini.
"Jadi hasil penelitian menunjukkan takmir kita perlu diafirmasi. Jadi program untuk meningkatkan kualitas takmir saya kira itu penting," katanya.
Peningkatan kapasitas takmir masjid, kata dia, sudah berjalan dan akan ditambah kuantitasnya. Kemenag mengklaim tidak penolakan dalam program ini karena sifatnya hanya pemberian pelatihan-pelatihan bukan standardisasi.
"Bukan standarisasi, (hanya) pelatihan-pelatihan lah. Tidak kita stadarisasi, tidak juga kita sertifikasi takmir ini. Tapi mereka perlu diberi pengetahuan informasi agama, supaya setidaknya mereka bisa dalam menyeleksi atau menerima penceramah misalnya. Kalau nggak punya pemahaman sama sekali kan juga bisa berpotensi riskan," katanya.
(Baca: Romo Benny: Penguatan Ideologi Tangkal Radikalisme)
Tak hanya takmir masjid yang ditingkatkan literas agamanya, tapi juga imam masjid dan penceramah. Sebab, masjid merupakan sumber pengetahuan keagamaan yang cukup penting.
Diakuinya, saat ini sedang terjadi proses radikalisasi di sejumlah lembaga, baik itu pendidikan, majlis taklim, dan masjid. Terjadi kontestasi otoritas penyampaian nilai-nilai agama di ruang publik.
Untuk memenangkan kontestasi tersebut, maka Kemenag melakukan penguatan penyuluh agama dengan mengusung isu moderasi beragama. Penyuluh agama didorong menjadi penceramah di masjid-masjid yang jumlahnya cukup banyak, sekitar 800.000-an.
(Baca: Takmir Wajib Terapkan Protokol Kesehatan saat Penyembelihan Hewan Kurban)
"Masjid-masjid yang berafiliasi dengan NU, berafiliasi dengan Muhammadiyah, dan berafiliasi dengan ormas Islam moderat tidak masalah karena ada pembinaan. Yang tidak berafiliasi ini, yang berpotensi terpenetrasi (pikiran/ideologi radikal," katanya.
Seperti apa radikalisme yang dikhawatirkan? Menurut Kamaruddin ada dua, radikalisme ideologis, yakni tidak mengakui pemerintahan yang sah, ingin mendirikan negara di luar kesepakatan nasional, seperti khilafah islamiyah. "Yang kedua, radikal teologis yang tidak sama dengan mereka itu kafir, darahnya halal begitu. Itu yang dimaksud," katanya.
"Ada penelitian begini, tentang takmir masjid di Jakarta, ternyata literasi takmir kita itu juga rendah. Literasi agamanya. Banyak yang bagus, tapi banyak juga yang rendah," kata Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Kamaruddin Amin saat menjadi pembicara Dialog Isu-Isu Kebimasislaman dengan Praktisi Media di Olympic Bigland Hotel Sentul, Kabupaten Bogor, Senin (21/9/2020).
(Baca: Menag Positif Covid-19, Akses Masuk Kantor Kemenag Dibatasi)
Menurut dia, rendahnya tingkat pengetahuan agama para pengurus masjid membuat mereka tidak bisa menyeleksi atau memproteksi dari pikiran atau ideologi ekstrem yang masuk ke masjid. Padahal penyebaran pikiran atau ideologi ekstrem merupakan tantangan nyata saat ini.
"Jadi hasil penelitian menunjukkan takmir kita perlu diafirmasi. Jadi program untuk meningkatkan kualitas takmir saya kira itu penting," katanya.
Peningkatan kapasitas takmir masjid, kata dia, sudah berjalan dan akan ditambah kuantitasnya. Kemenag mengklaim tidak penolakan dalam program ini karena sifatnya hanya pemberian pelatihan-pelatihan bukan standardisasi.
"Bukan standarisasi, (hanya) pelatihan-pelatihan lah. Tidak kita stadarisasi, tidak juga kita sertifikasi takmir ini. Tapi mereka perlu diberi pengetahuan informasi agama, supaya setidaknya mereka bisa dalam menyeleksi atau menerima penceramah misalnya. Kalau nggak punya pemahaman sama sekali kan juga bisa berpotensi riskan," katanya.
(Baca: Romo Benny: Penguatan Ideologi Tangkal Radikalisme)
Tak hanya takmir masjid yang ditingkatkan literas agamanya, tapi juga imam masjid dan penceramah. Sebab, masjid merupakan sumber pengetahuan keagamaan yang cukup penting.
Diakuinya, saat ini sedang terjadi proses radikalisasi di sejumlah lembaga, baik itu pendidikan, majlis taklim, dan masjid. Terjadi kontestasi otoritas penyampaian nilai-nilai agama di ruang publik.
Untuk memenangkan kontestasi tersebut, maka Kemenag melakukan penguatan penyuluh agama dengan mengusung isu moderasi beragama. Penyuluh agama didorong menjadi penceramah di masjid-masjid yang jumlahnya cukup banyak, sekitar 800.000-an.
(Baca: Takmir Wajib Terapkan Protokol Kesehatan saat Penyembelihan Hewan Kurban)
"Masjid-masjid yang berafiliasi dengan NU, berafiliasi dengan Muhammadiyah, dan berafiliasi dengan ormas Islam moderat tidak masalah karena ada pembinaan. Yang tidak berafiliasi ini, yang berpotensi terpenetrasi (pikiran/ideologi radikal," katanya.
Seperti apa radikalisme yang dikhawatirkan? Menurut Kamaruddin ada dua, radikalisme ideologis, yakni tidak mengakui pemerintahan yang sah, ingin mendirikan negara di luar kesepakatan nasional, seperti khilafah islamiyah. "Yang kedua, radikal teologis yang tidak sama dengan mereka itu kafir, darahnya halal begitu. Itu yang dimaksud," katanya.
(muh)