Roller Coaster Covid-19 dan Perubahan Wajah Peradaban
loading...
A
A
A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital pendiri LITEROS.org
MENGALAMI langsung dinamika harian pandemi Covid-19 di Indonesia maupun global, persis pengalaman naik roller coaster. Ada kenikmatan saat meniti jalur tanjakan: wahana merangkak perlahan-lahan, dan wajah penumpang dibuat nyaman ditiup angin lamat-lamat.
Tak jarang ada penumpang yang tertidur sesaat, perasaannya terbuai. Namun ada kalanya perasaan terhunjam. Ini saat melewati jalur yang turun curam berkelok. Wahana seakan ditarik gravitasi bumi tanpa rem. Terhempas, tak ada kendali yang menguasai.
Covid-19 yang telah berlangsung menginjak bulan ke-6 ini pun demikian. Adakalanya memunculkan perasaan baik, seraya menimbulkan harapan besar. Itu adalah saat beredar kabar adanya negara yang berhasil mengendalikan penularan secara nyata.
Tindakan-tindakan tegas untuk physical distancing minimal 2 meter, rajin cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, maupun berdisiplin mengenakan masker dengan cara benar, secara statistik harian terbukti menyurutkan penularan. Atau adanya kabar dari sekelompok ilmuwan yang melaporkan kemajuan riset pencarian vaksinnya.
Dalam kesunyian publikasi media, mereka telah masuk tahap akhir uji coba. Hingga tahap dapat segera disebarluaskan, disuntikkan luas pada manusia. Harapan dapat kembali hidup normal seperti sebelum 2020, terbayang kembali.
Namun perasaan terhunjam dipaksa muncul, manakala sesama ilmuwan antar lembaga, bahkan WHO, mengedarkan kabar saling bertentangan.
Di tengah harapan munculnya vaksin yang telah masuk tahap akhir uji coba di Rusia, bahkan Presiden Vladimir Putin merelakan putri kesayangannya jadi sukarelawan uji coba vaksin, WHO merilis pernyataaan belum ada vaksin yang dapat diandalkan hingga 2021. Sebaliknya, dunia perlu mewaspadai adanya pandemik baru yang lebih ganas, setelah Covid-19 ini.
Demikian juga dengan dirilisnya prakiraan dari ilmuwan Jerman, yang menyatakan pandemi Covid-19 paling cepat berakhir di tahun 2023. Ini mengacu pada flu Spanyol se-abad lalu, ketika menimbulkan penularan dan kematian besar di dunia.
Harapan yang melambung, di tengah lelahnya hidup yang terus-menerus didera oleh realitas penularan dan kematian, terhempas oleh pesimisme kabar buruk. Sumber informasinya justru personal-personal yang punya kompetensi, dari Lembaga yang punya otoritas pula. Tak ketinggalan, saat seorang ilmuwan dari sebuah kampus di Indonesia yang mewartakan kabar: daya tular Virus Corona telah melemah. Ibarat photo copy yang di-photo copy lagi, berulang-ulang, maka hasilnya akan makin buram.
Analog dengan virus yang telah mereplikasi dirinya sendiri selama lebih dari 6 bulan, akan kehilangan daya replikasinya. Kemampuan menularnya, makin turun. Artinya, dengan atau tanpa vaksin dan obat tertentu, pandemi yang melelahkan ini akan berakhir secara alamiah.
Pemerhati budaya dan komunikasi digital pendiri LITEROS.org
MENGALAMI langsung dinamika harian pandemi Covid-19 di Indonesia maupun global, persis pengalaman naik roller coaster. Ada kenikmatan saat meniti jalur tanjakan: wahana merangkak perlahan-lahan, dan wajah penumpang dibuat nyaman ditiup angin lamat-lamat.
Tak jarang ada penumpang yang tertidur sesaat, perasaannya terbuai. Namun ada kalanya perasaan terhunjam. Ini saat melewati jalur yang turun curam berkelok. Wahana seakan ditarik gravitasi bumi tanpa rem. Terhempas, tak ada kendali yang menguasai.
Covid-19 yang telah berlangsung menginjak bulan ke-6 ini pun demikian. Adakalanya memunculkan perasaan baik, seraya menimbulkan harapan besar. Itu adalah saat beredar kabar adanya negara yang berhasil mengendalikan penularan secara nyata.
Tindakan-tindakan tegas untuk physical distancing minimal 2 meter, rajin cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, maupun berdisiplin mengenakan masker dengan cara benar, secara statistik harian terbukti menyurutkan penularan. Atau adanya kabar dari sekelompok ilmuwan yang melaporkan kemajuan riset pencarian vaksinnya.
Dalam kesunyian publikasi media, mereka telah masuk tahap akhir uji coba. Hingga tahap dapat segera disebarluaskan, disuntikkan luas pada manusia. Harapan dapat kembali hidup normal seperti sebelum 2020, terbayang kembali.
Namun perasaan terhunjam dipaksa muncul, manakala sesama ilmuwan antar lembaga, bahkan WHO, mengedarkan kabar saling bertentangan.
Di tengah harapan munculnya vaksin yang telah masuk tahap akhir uji coba di Rusia, bahkan Presiden Vladimir Putin merelakan putri kesayangannya jadi sukarelawan uji coba vaksin, WHO merilis pernyataaan belum ada vaksin yang dapat diandalkan hingga 2021. Sebaliknya, dunia perlu mewaspadai adanya pandemik baru yang lebih ganas, setelah Covid-19 ini.
Demikian juga dengan dirilisnya prakiraan dari ilmuwan Jerman, yang menyatakan pandemi Covid-19 paling cepat berakhir di tahun 2023. Ini mengacu pada flu Spanyol se-abad lalu, ketika menimbulkan penularan dan kematian besar di dunia.
Harapan yang melambung, di tengah lelahnya hidup yang terus-menerus didera oleh realitas penularan dan kematian, terhempas oleh pesimisme kabar buruk. Sumber informasinya justru personal-personal yang punya kompetensi, dari Lembaga yang punya otoritas pula. Tak ketinggalan, saat seorang ilmuwan dari sebuah kampus di Indonesia yang mewartakan kabar: daya tular Virus Corona telah melemah. Ibarat photo copy yang di-photo copy lagi, berulang-ulang, maka hasilnya akan makin buram.
Analog dengan virus yang telah mereplikasi dirinya sendiri selama lebih dari 6 bulan, akan kehilangan daya replikasinya. Kemampuan menularnya, makin turun. Artinya, dengan atau tanpa vaksin dan obat tertentu, pandemi yang melelahkan ini akan berakhir secara alamiah.