Pengacara Hedon, Rakyat Tekor Rp60 Miliar untuk Menyapu Rp17,7 Triliun
loading...
A
A
A
"Melalui suap senilai Rp 60 miliar kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta dengan peran penting panitera Wahyu Gunawan dan pengacara elite yang mengatur semuanya, putusan pengadilan menjadi ajaib: para terdakwa dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana," imbuhnya.
Dia berpendapat, ini bukan sekadar manipulasi hukum. Ini adalah sabotase terhadap keadilan publik dan institusi negara. Ketika pelaku kejahatan ekonomi berskala besar dapat “dibersihkan” dengan biaya kecil, kurang dari 1% dari total kerugian, maka yang terjadi adalah bukan penegakan hukum, melainkan diskon hukum.
Dia melanjutkan, dalam kerangka hukum dan etika profesi, pengacara memiliki kedudukan strategis: mereka adalah bagian dari penegak hukum, bukan pelindung kejahatan. Dia mengingatkan, Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa seorang advokat wajib menjunjung tinggi kejujuran, integritas, dan tidak menyalahgunakan profesinya untuk maksud jahat.
"Namun, dalam kasus ini, pengacara tidak lagi menjadi pelindung hak-hak hukum warga, tetapi operator dalam penghilangan tanggung jawab korporat. Mereka bukan sekadar mendampingi klien, tetapi menyusun jalan sunyi menuju impunitas. Sebuah rahasia yang lazimnya sudah banyak diketahui publik, meski tidak menggeneralisasi," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari perspektif teori hukum kritis (Critical Legal Theory), peran pengacara dalam kasus ini mengafirmasi argumen bahwa hukum kerap dikendalikan oleh kelas elite. "Tujuannya, tak lain demi melanggengkan kepentingan ekonomi-politik mereka sendiri. Di tangan mereka yang berkuasa, hukum menjadi komoditas, diperjualbelikan, dinegosiasikan, dan diperdagangkan seperti saham," kata dia.
Dia berpendapat, ini bukan sekadar manipulasi hukum. Ini adalah sabotase terhadap keadilan publik dan institusi negara. Ketika pelaku kejahatan ekonomi berskala besar dapat “dibersihkan” dengan biaya kecil, kurang dari 1% dari total kerugian, maka yang terjadi adalah bukan penegakan hukum, melainkan diskon hukum.
Dia melanjutkan, dalam kerangka hukum dan etika profesi, pengacara memiliki kedudukan strategis: mereka adalah bagian dari penegak hukum, bukan pelindung kejahatan. Dia mengingatkan, Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa seorang advokat wajib menjunjung tinggi kejujuran, integritas, dan tidak menyalahgunakan profesinya untuk maksud jahat.
"Namun, dalam kasus ini, pengacara tidak lagi menjadi pelindung hak-hak hukum warga, tetapi operator dalam penghilangan tanggung jawab korporat. Mereka bukan sekadar mendampingi klien, tetapi menyusun jalan sunyi menuju impunitas. Sebuah rahasia yang lazimnya sudah banyak diketahui publik, meski tidak menggeneralisasi," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari perspektif teori hukum kritis (Critical Legal Theory), peran pengacara dalam kasus ini mengafirmasi argumen bahwa hukum kerap dikendalikan oleh kelas elite. "Tujuannya, tak lain demi melanggengkan kepentingan ekonomi-politik mereka sendiri. Di tangan mereka yang berkuasa, hukum menjadi komoditas, diperjualbelikan, dinegosiasikan, dan diperdagangkan seperti saham," kata dia.
Lihat Juga :