Antara Covid-19, BPJS Kesehatan, dan Omnibus Law
A
A
A
Dinna Prapto Raharja
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR
TELAH banyak ulasan seputar sifat dan dampak dari virus Covid-19, terutama untuk perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Kita semua menyadari, bahkan sebenarnya paham, bahwa kita tidak akan dapat mengelak dari dampak terjadi krisis yang melanda negara-negara dunia, termasuk krisis kesehatan.
Perang di Timur Tengah, kegiatan terorisme, atau perang dagang Amerika Serikat (AS)-China adalah beberapa contoh krisis yang lebih dulu menerpa perekonomian global, termasuk Indonesia, sebelum wabah Covid-19 merebak.
Peristiwa-peristiwa tersebut harusnya membantu kita merefleksikan kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang sudah diambil. Kita harus menguji melalui krisis-krisis tersebut sejauh mana kebijakan yang diambil sudah sesuai dengan karakter sosial-ekonomi masyarakat kita.
Tidak semua yang baik di negara lain juga berlaku di negara kita. Singapura, sebuah negara kecil yang berpenduduk kurang dari warga Jakarta, memiliki tingkat pajak yang rendah untuk menarik investasi. Mereka memang tidak memiliki sumber daya lain selain sumber daya manusia (SDM) sehingga yang dijual sederhananya memang fasilitas infrastruktur SDM, keuangan, administrasi, dan teknologi.
Beda dengan Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Artinya, penerapan tingkat pajak yang lebih tinggi dari Singapura untuk bisa membiayai kesejahteraan penduduk lebih dari 250 juta adalah hal yang wajar.
Pada saat krisis 1998 yang kemudian berlanjut dengan reformasi ekonomi-politik, negara pada saat itu sudah berpikir bagaimana agar masyarakat tidak jatuh miskin total apabila krisis datang kembali. Seperti kita ketahui, semakin terintegrasi pasar kita dengan kapitalisme dunia, maka frekuensi krisis juga akan semakin sering terjadi seiring dengan makin banyak variabel yang memudahkan krisis untuk memengaruhi perekonomian kita; mulai dari bencana alam, perang, permainan pasar modal, dan kejadian lain seperti wabah penyakit yang kita alami sekarang.
Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, telah merancang dasar sebuah sistem jaminan sosial yang kita kenal dengan nama UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU Nomor 40/2004). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pewaris kemudian melanjutkan dengan membuat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di UU Nomor 24/2011 sehingga lahirlah BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) yang kita kenal saat ini.
Ide dari undang-undang ini adalah bahwa negara tetap menjamin kesehatan penduduk walaupun ekonomi hancur lebur. Ide ini berangkat dari pengalaman krisis lalu bahwa satu keluarga yang hari ini masih bisa memiliki rumah dan kendaraan bisa jatuh miskin bulan depan dan kehabisan harta demi membiayai kepala keluarganya jatuh sakit, kehilangan pekerjaan, atau celaka saat bertugas di tempat kerja.
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang tertuang bentuknya dalam UU SJSN dan UU BPJS sebetulnya berlandaskan pada pemikiran sosial-demokrat yang tetap menerima sistem pasar sebagai driving force ekonomi sebuah distribusi manfaat dari kegiatan ekonomi pasarnya dilakukan oleh negara. Ini bukan gagasan asing buat Indonesia karena sudah jelas dinyatakan dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Satu di antara ciri utama dari sistem ekonomi sosial-demokrat adalah pajak penghasilan pribadi progresif yang tinggi. Swedia 57,19%, Denmark 55,89%, Finlandia 53,75%, bahkan Belanda 51%, atau Belgia 50%. Pajak yang tinggi membawa kualitas pelayan publik juga semakin baik.
Pajak tinggi juga mengurangi ketimpangan pendapatan dan semakin mempersempit perbedaan kelas antara yang kaya dan yang miskin. Seorang supir bus di Jenewa (Swiss) bisa meluangkan waktu berlibur dengan waktu yang panjang di luar negeri sama dengan seorang profesor di perguruan tinggi.
Perubahan itu yang semestinya terjadi ketika UU SJSN dan UU BPJS. Mungkin tidak secara revolusioner terjadi seketika, tetapi minimal kecenderungan menuju ke arah tersebut semestinya terlihat.
Sayangnya, arah yang kita saksikan sekarang belum menunjukkan kejelasan menuju ke sana. Paradigma yang berkembang justru keyakinan bahwa perekonomian Indonesia akan diuntungkan oleh arus investasi yang deras masuk supaya lapangan pekerjaan terbuka dan akhirnya jumlah orang miskin terkurangi.
Logika ini mengingatkan saya pada trickle down economy yang memercayai bahwa pajak untuk orang kaya perlu dibikin rendah supaya uang dari kalangan berekonomi mampu ini menggunakan kekayaannya sebagai stimulus ekonomi. Teori tersebut sudah lama dikritik para aktivis politik karena kenyataannya tidaklah seindah teorinya.
Sepanjang struktur sosial-ekonomi masyarakatnya masih eksploitatif, maka investasi hanya akan menebalkan kantong kelompok atas. Apalagi, bila kondisi ekonomi global cenderung kerap didera krisis, maka kelompok yang mampu akan cenderung ekstrahati-hati dalam membuka lapangan kerja dan memberikan upah layak.
Apakah Omnibus Law yang ramai dibicarakan saat ini antara lain dilatarbelakangi oleh paradigma yang trickle down economy masih harus diuji? Sejauh ini pemerintah menekankan bahwa undang-undang itu demi mempermudah investasi agar terjadi pertumbuhan ekonomi di atas 5%.
Pemerintah juga menjamin bahwa masyarakat tidak dirugikan ketika investasi yang datang ternyata membutuhkan fleksibilitas dalam merekrut dan melepas pekerja, termasuk rekrutmen pekerja asing. Misalnya, jumlah uang pesangon yang hilang akan diganti dengan jaminan kehilangan pekerjaan yang akan disisipkan di dalam BPJS Ketenagakerjaan dan kemudian ada juga jaminan mendapatkan pekerjaan melalui kartu prakerja, uang pelatihan Rp5 juta, uang tunai Rp500.000 untuk waktu tunggu selama belum bekerja. Dengan kata lain, Omnibus Law mencoba untuk mentransfer beban risiko investasi dari pemodal kepada negara.
Strategi ini baik sebagai satu di antara upaya bersaing dengan negara kompetitor lain, namun dari mana risiko itu akan dibiayai? Apakah dari APBN lagi?
Kita bisa belajar dari pembentukan SJSN dan BPJS Kesehatan bahwa ternyata paradigma negara perlu menjamin kesehatan sebagai jaringan pengaman sosial ketika terjadi krisis tidak lagi menjadi mainstream dalam pemerintahan selanjutnya.
Akibatnya, defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan bukan dianggap sebagai investasi bagi rakyat miskin agar tidak bertambah miskin, tetapi lebih dianggap sebagai kerugian. Investasi kesehatan bagi masyarakat miskin semestinya dapat dipenuhi dan tidak menjadi beban apabila ketimpangan dapat dikurangi.
Omnibus Law juga harus berimplikasi terjadinya perubahan sistem politik dan sosial apabila ingin manfaatnya sesuai dengan harapan ketika undang-undang ini mulai ditulis. Perubahan yang harus terjadi adalah keputusan politik di mana negara harus mengenakan pajak yang tinggi kepada orang kaya karena tanpa pajak, maka risiko yang diambil oleh Omnibus Law tidak sebanding dengan keuntungan yang diambil oleh investor.Kita harus ingat bahwa krisis dalam pasar yang sudah terintegrasi dapat mudah terjadi sehingga jaring pengaman sosial yang kuat juga harus disiapkan. Saat ini masih ada 1% orang Indonesia yang menguasai 50% aset nasional atau bila dinaikkan, masih ada 10% orang Indonesia yang menguasai 70% kekayaan nasional sehingga aset yang tersisa 30% menjadi rebutan 90% masyarakat Indonesia.
Oleh sebab itu, penting untuk membangun paradigma bahwa sistem politik yang menjamin pendistribusian kesejahteraan harus tegas dilakukan oleh negara dan tidak semata-mata hanya mengandalkan spekulasi dari investasi ataupun dari mekanisme pasar.
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR
TELAH banyak ulasan seputar sifat dan dampak dari virus Covid-19, terutama untuk perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Kita semua menyadari, bahkan sebenarnya paham, bahwa kita tidak akan dapat mengelak dari dampak terjadi krisis yang melanda negara-negara dunia, termasuk krisis kesehatan.
Perang di Timur Tengah, kegiatan terorisme, atau perang dagang Amerika Serikat (AS)-China adalah beberapa contoh krisis yang lebih dulu menerpa perekonomian global, termasuk Indonesia, sebelum wabah Covid-19 merebak.
Peristiwa-peristiwa tersebut harusnya membantu kita merefleksikan kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang sudah diambil. Kita harus menguji melalui krisis-krisis tersebut sejauh mana kebijakan yang diambil sudah sesuai dengan karakter sosial-ekonomi masyarakat kita.
Tidak semua yang baik di negara lain juga berlaku di negara kita. Singapura, sebuah negara kecil yang berpenduduk kurang dari warga Jakarta, memiliki tingkat pajak yang rendah untuk menarik investasi. Mereka memang tidak memiliki sumber daya lain selain sumber daya manusia (SDM) sehingga yang dijual sederhananya memang fasilitas infrastruktur SDM, keuangan, administrasi, dan teknologi.
Beda dengan Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Artinya, penerapan tingkat pajak yang lebih tinggi dari Singapura untuk bisa membiayai kesejahteraan penduduk lebih dari 250 juta adalah hal yang wajar.
Pada saat krisis 1998 yang kemudian berlanjut dengan reformasi ekonomi-politik, negara pada saat itu sudah berpikir bagaimana agar masyarakat tidak jatuh miskin total apabila krisis datang kembali. Seperti kita ketahui, semakin terintegrasi pasar kita dengan kapitalisme dunia, maka frekuensi krisis juga akan semakin sering terjadi seiring dengan makin banyak variabel yang memudahkan krisis untuk memengaruhi perekonomian kita; mulai dari bencana alam, perang, permainan pasar modal, dan kejadian lain seperti wabah penyakit yang kita alami sekarang.
Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, telah merancang dasar sebuah sistem jaminan sosial yang kita kenal dengan nama UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU Nomor 40/2004). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pewaris kemudian melanjutkan dengan membuat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di UU Nomor 24/2011 sehingga lahirlah BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) yang kita kenal saat ini.
Ide dari undang-undang ini adalah bahwa negara tetap menjamin kesehatan penduduk walaupun ekonomi hancur lebur. Ide ini berangkat dari pengalaman krisis lalu bahwa satu keluarga yang hari ini masih bisa memiliki rumah dan kendaraan bisa jatuh miskin bulan depan dan kehabisan harta demi membiayai kepala keluarganya jatuh sakit, kehilangan pekerjaan, atau celaka saat bertugas di tempat kerja.
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang tertuang bentuknya dalam UU SJSN dan UU BPJS sebetulnya berlandaskan pada pemikiran sosial-demokrat yang tetap menerima sistem pasar sebagai driving force ekonomi sebuah distribusi manfaat dari kegiatan ekonomi pasarnya dilakukan oleh negara. Ini bukan gagasan asing buat Indonesia karena sudah jelas dinyatakan dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Satu di antara ciri utama dari sistem ekonomi sosial-demokrat adalah pajak penghasilan pribadi progresif yang tinggi. Swedia 57,19%, Denmark 55,89%, Finlandia 53,75%, bahkan Belanda 51%, atau Belgia 50%. Pajak yang tinggi membawa kualitas pelayan publik juga semakin baik.
Pajak tinggi juga mengurangi ketimpangan pendapatan dan semakin mempersempit perbedaan kelas antara yang kaya dan yang miskin. Seorang supir bus di Jenewa (Swiss) bisa meluangkan waktu berlibur dengan waktu yang panjang di luar negeri sama dengan seorang profesor di perguruan tinggi.
Perubahan itu yang semestinya terjadi ketika UU SJSN dan UU BPJS. Mungkin tidak secara revolusioner terjadi seketika, tetapi minimal kecenderungan menuju ke arah tersebut semestinya terlihat.
Sayangnya, arah yang kita saksikan sekarang belum menunjukkan kejelasan menuju ke sana. Paradigma yang berkembang justru keyakinan bahwa perekonomian Indonesia akan diuntungkan oleh arus investasi yang deras masuk supaya lapangan pekerjaan terbuka dan akhirnya jumlah orang miskin terkurangi.
Logika ini mengingatkan saya pada trickle down economy yang memercayai bahwa pajak untuk orang kaya perlu dibikin rendah supaya uang dari kalangan berekonomi mampu ini menggunakan kekayaannya sebagai stimulus ekonomi. Teori tersebut sudah lama dikritik para aktivis politik karena kenyataannya tidaklah seindah teorinya.
Sepanjang struktur sosial-ekonomi masyarakatnya masih eksploitatif, maka investasi hanya akan menebalkan kantong kelompok atas. Apalagi, bila kondisi ekonomi global cenderung kerap didera krisis, maka kelompok yang mampu akan cenderung ekstrahati-hati dalam membuka lapangan kerja dan memberikan upah layak.
Apakah Omnibus Law yang ramai dibicarakan saat ini antara lain dilatarbelakangi oleh paradigma yang trickle down economy masih harus diuji? Sejauh ini pemerintah menekankan bahwa undang-undang itu demi mempermudah investasi agar terjadi pertumbuhan ekonomi di atas 5%.
Pemerintah juga menjamin bahwa masyarakat tidak dirugikan ketika investasi yang datang ternyata membutuhkan fleksibilitas dalam merekrut dan melepas pekerja, termasuk rekrutmen pekerja asing. Misalnya, jumlah uang pesangon yang hilang akan diganti dengan jaminan kehilangan pekerjaan yang akan disisipkan di dalam BPJS Ketenagakerjaan dan kemudian ada juga jaminan mendapatkan pekerjaan melalui kartu prakerja, uang pelatihan Rp5 juta, uang tunai Rp500.000 untuk waktu tunggu selama belum bekerja. Dengan kata lain, Omnibus Law mencoba untuk mentransfer beban risiko investasi dari pemodal kepada negara.
Strategi ini baik sebagai satu di antara upaya bersaing dengan negara kompetitor lain, namun dari mana risiko itu akan dibiayai? Apakah dari APBN lagi?
Kita bisa belajar dari pembentukan SJSN dan BPJS Kesehatan bahwa ternyata paradigma negara perlu menjamin kesehatan sebagai jaringan pengaman sosial ketika terjadi krisis tidak lagi menjadi mainstream dalam pemerintahan selanjutnya.
Akibatnya, defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan bukan dianggap sebagai investasi bagi rakyat miskin agar tidak bertambah miskin, tetapi lebih dianggap sebagai kerugian. Investasi kesehatan bagi masyarakat miskin semestinya dapat dipenuhi dan tidak menjadi beban apabila ketimpangan dapat dikurangi.
Omnibus Law juga harus berimplikasi terjadinya perubahan sistem politik dan sosial apabila ingin manfaatnya sesuai dengan harapan ketika undang-undang ini mulai ditulis. Perubahan yang harus terjadi adalah keputusan politik di mana negara harus mengenakan pajak yang tinggi kepada orang kaya karena tanpa pajak, maka risiko yang diambil oleh Omnibus Law tidak sebanding dengan keuntungan yang diambil oleh investor.Kita harus ingat bahwa krisis dalam pasar yang sudah terintegrasi dapat mudah terjadi sehingga jaring pengaman sosial yang kuat juga harus disiapkan. Saat ini masih ada 1% orang Indonesia yang menguasai 50% aset nasional atau bila dinaikkan, masih ada 10% orang Indonesia yang menguasai 70% kekayaan nasional sehingga aset yang tersisa 30% menjadi rebutan 90% masyarakat Indonesia.
Oleh sebab itu, penting untuk membangun paradigma bahwa sistem politik yang menjamin pendistribusian kesejahteraan harus tegas dilakukan oleh negara dan tidak semata-mata hanya mengandalkan spekulasi dari investasi ataupun dari mekanisme pasar.
(poe)