Hindari Narasi Memecah Belah
loading...
A
A
A
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Oktober 2017 lalu juga memantik kontroversi. Anies dikecam atas ucapan "pribumi" pada pidatonya seusai dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta. Anies saat itu menyatakan, "Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri." Kehatian-hatian pejabat semakin dibutuhkan dalam situasi seperti saat ini karena masyarakat sedang dalam kesulitan.
Katib Suriyah PBNU KH Mujib Qulyubi meminta agar di tengah pandemi corona, para tokoh bangsa tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan polemik dan berpotensi memunculkan perpecahan di tengah umat. "Saya kira bagaimana mengatasi Covid-19 dan dampaknya, yakni dampak ekonomi yang ditimbulkan, itu yang terpenting. Saya kira soal-soal yang berbau politik itu dikesampingkan dulu. Pernyataan-pernyataan kontroversial itu tolong ditahan dulu, apalagi kalau pernyataan itu subjektif," tuturnya. (Baca juga: Jeli, Cara Selebriti Manfaatkan TikTok untuk Publikasi)
Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini mengatakan, pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang menyebutkan bahwa penyebaran radikalisme dilakukan oleh mereka yang memiliki tampang menarik atau good looking, menguasai bahasa Arab, dan hafal Alquran atau hafiz adalah penilaian yang subjektif.
"Misalkan Menag menyebut good looking, ya definisi good looking itu saya kira terlalu subjektif. Ya, kalau di masjid itu kan saya rasa semua good looking. Saya dengar good looking itu kan mereka yang hafal Alquran, itu aduh saya kira jangan dikecilkan begitulah,” ujarnya.
Dia berulang kali mengingatkan Menag untuk menghindari membuat kegaduhan dengan membuat definisi-definisi yang sangat umum dan subjektif. “Karena kan di pondok-pondok pesantren yang hafal Alquran itu kan sangat banyak. Andai ada yang kasuistis, itu jangan digeneralisasi, itu pun kalau ada," tuturnya.
Kritik yang sama juga disampaikan Kiai Mujib kepada Puan Maharani. "Termasuk pernyataan Mbak Puan, beliau kan ketua DPR. Walaupun dia seorang politisi, tapi indikator Pancasilais itu kan tidak boleh semudah itu,” ujarnya.
“Marilah kita menghadapi Covid-19 yang nyata-nyata ada dan belum terkendali ini. Jadi saya kira jangan dipecah belah," lanjutnya.
Komunikasi Publik Pemerintah Bermasalah
Dalam pandangan pengamat komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo, seringnya pejabat “salah ngomong”, khusunya pejabat pemerintahan, itu dipicu oleh manajemen komunikasi publik yang tidak berjalan baik. Komunikasi pemerintah menurut dia memerlukan pengelolaan yang rapi.
Berhubung ucapan dan pendapat para pejabat publik adalah representasi dari kepemerintahan, maka mesti hati-hati. “Jangan sampai ada ucapan menuduh atau menilai sesuatu yang bisa melukai perasaan masyarakat. Justru sebaliknya harus mengakomodasi dan merespons positif,” ujarnya. (Baca juga: 5 Camilan Malam yang Enak, juga Menyehatkan)
Katib Suriyah PBNU KH Mujib Qulyubi meminta agar di tengah pandemi corona, para tokoh bangsa tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan polemik dan berpotensi memunculkan perpecahan di tengah umat. "Saya kira bagaimana mengatasi Covid-19 dan dampaknya, yakni dampak ekonomi yang ditimbulkan, itu yang terpenting. Saya kira soal-soal yang berbau politik itu dikesampingkan dulu. Pernyataan-pernyataan kontroversial itu tolong ditahan dulu, apalagi kalau pernyataan itu subjektif," tuturnya. (Baca juga: Jeli, Cara Selebriti Manfaatkan TikTok untuk Publikasi)
Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta ini mengatakan, pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang menyebutkan bahwa penyebaran radikalisme dilakukan oleh mereka yang memiliki tampang menarik atau good looking, menguasai bahasa Arab, dan hafal Alquran atau hafiz adalah penilaian yang subjektif.
"Misalkan Menag menyebut good looking, ya definisi good looking itu saya kira terlalu subjektif. Ya, kalau di masjid itu kan saya rasa semua good looking. Saya dengar good looking itu kan mereka yang hafal Alquran, itu aduh saya kira jangan dikecilkan begitulah,” ujarnya.
Dia berulang kali mengingatkan Menag untuk menghindari membuat kegaduhan dengan membuat definisi-definisi yang sangat umum dan subjektif. “Karena kan di pondok-pondok pesantren yang hafal Alquran itu kan sangat banyak. Andai ada yang kasuistis, itu jangan digeneralisasi, itu pun kalau ada," tuturnya.
Kritik yang sama juga disampaikan Kiai Mujib kepada Puan Maharani. "Termasuk pernyataan Mbak Puan, beliau kan ketua DPR. Walaupun dia seorang politisi, tapi indikator Pancasilais itu kan tidak boleh semudah itu,” ujarnya.
“Marilah kita menghadapi Covid-19 yang nyata-nyata ada dan belum terkendali ini. Jadi saya kira jangan dipecah belah," lanjutnya.
Komunikasi Publik Pemerintah Bermasalah
Dalam pandangan pengamat komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo, seringnya pejabat “salah ngomong”, khusunya pejabat pemerintahan, itu dipicu oleh manajemen komunikasi publik yang tidak berjalan baik. Komunikasi pemerintah menurut dia memerlukan pengelolaan yang rapi.
Berhubung ucapan dan pendapat para pejabat publik adalah representasi dari kepemerintahan, maka mesti hati-hati. “Jangan sampai ada ucapan menuduh atau menilai sesuatu yang bisa melukai perasaan masyarakat. Justru sebaliknya harus mengakomodasi dan merespons positif,” ujarnya. (Baca juga: 5 Camilan Malam yang Enak, juga Menyehatkan)