Hindari Narasi Memecah Belah

Sabtu, 05 September 2020 - 09:15 WIB
loading...
Hindari Narasi Memecah Belah
Foto/dok
A A A
JAKARTA - Pejabat negara perlu berhati-hati dalam membuat pernyataan ke publik. Tanpa kehati-hatian, sebuah pernyataan sensitif rawan menyulut kontroversi. Di tengah upaya bangsa Indonesia mengatasi pandemi corona (Covid-19), dibutuhkan soliditas dan persatuan. Pejabat seyogianya tampil menjadi suluh dan memberi teladan, bukan justru memancing kegaduhan.

Dua pejabat negara mendapat sorotan dalam beberapa hari terakhir lantaran membuat pernyataan yang dinilai kontroversial. Keduanya adalah Menteri Agama Fachrul Razi dan Ketua DPR RI Puan Maharani. Fachrul menyebut anak muda yang berpenampilan menarik (good looking) dan menguasai bahasa Arab sebagai pembawa radikalisme di masjid-masjid di Indonesia. (Baca: Memanas, Rusia Bakal Gelar Latihan di Laut Mediterania)

Adapun Puan dikecam lantaran melontarkan pernyataan “semoga Sumbar memang mendukung negara Pancasila” saat ia mengumumkan calon gubernur-calon wakil gubernur Sumbar yang didukung partainya, PDIP.

Seperti biasa, pernyataan kontroversial yang berbau identitas atau bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) akan dengan mudah memecah masyarakat ke dalam dua kubu. Di media sosial, adu argumen dan saling serang terjadi antara kubu yang pro dan kontra. Klarifikasi sudah disampaikan atas pernyataan tersebut, tetapi penolakan masih saja bergulir. Bahkan dalam kasus Puan, sejumlah mahasiswa melaporkan Ketua DPP PDIP tersebut ke Bareskrim Polri kemarin.

Sejumlah kalangan menilai situasi ini sebagai hal yang ironis. Di tengah krisis multidimensi yang dialami masyarakat akibat dari pandemi corona, sebagian energi justru harus tercurah ke hal-hal yang tidak produktif. Dalam situasi sulit seperti ini para elite maupun masyarakat diharapkan bisa sama-sama menahan diri untuk tidak terlibat dalam perseteruan yang tidak perlu.

“Dalam situasi seperti sekarang kita memerlukan situasi yang tenang dan kondusif. Berbagai bentuk kegaduhan yang tidak perlu sebaiknya kita kurangi,” ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.

Menurut Mu’ti, sebaiknya para tokoh, terutama pejabat negara, berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Semua pernyataan seharusnya didasarkan data yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Di sisi lain masyarakat juga perlu tenang dan tidak mudah terprovokasi. Apalagi tak jarang dalam situasi keruh ada yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik sehingga membuat suasana kian keruh.

“Masyarakat juga tidak perlu memberikan reaksi yang berlebihan. Jika ada pernyataan yang kontroversial sebaiknya klarifikasi dan tidak dipolitisasi,” ujarnya. (Baca juga: Usai Diperika oleh Dewan pengawas KPK, Firli Bahuri Memilih Bungkam)

Komentar sensitif yang berujung kontroversi bukan sekali ini saja terlontar dari pejabat negara. Sebelumnya Menteri Agama juga menuai kecaman karena pernyataannya mengenai penggunaan cadar dan celana cingkrang di kalangan PNS. Bahkan pada April 2019 Mahfud MD saat menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) juga dikecam karena menyebut Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan sebagai wilayah garis keras. Mahfud kemudian mengklarifikasi bahwa yang dimaksudnya adalah di keempat wilayah tersebut dulunya pernah terjadi aksi pemberontakan keagamaan.

Pada Januari lalu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly didatangi warga Tanjung Priok di kantornya di kawasan Kuningan Jakarta Selatan karena komentarnya. Menurutnya Tanjung Priok banyak melahirkan tindakan kriminal karena tingkat perekonomian yang miskin, tetapi yang sebaliknya terjadi di kawasan permukiman Menteng. Situasi mereda setelah Yasonna menyampaikan permintaan maaf.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1294 seconds (0.1#10.140)