Menegakkan Kepastian Hukum dan Keberlakuan Non-Retroaktif dalam Status TPP Desa sebagai Caleg
loading...
A
A
A
Klausul dalam SPK Januari 2025 bertentangan dengan asas non-retroaktif yang dijamin oleh Pasal 28I Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan prinsip kepastian hukum (legal certainty). TPP Desa yang maju sebagai caleg pada 2024 telah bertindak sesuai dengan keputusan resmi KPU dan Kementerian Desa.
Pemberlakuan surut klausul tersebut menghancurkan legitimate expectation (harapan sah) TPP Desa yang telah berkonsultasi sejak awal. Jika Kementerian Desa ingin melarang TPP Desa maju sebagai caleg, aturan baru harus berlaku ke depan (prospective), bukan membatalkan hak yang sudah diberikan.
KPU sebagai penyelenggara Pemilu memiliki kewenangan mutlak untuk menafsirkan syarat caleg berdasarkan Pasal 22 UU No. 7/2017. Keputusan KPU melalui surat edaran Juli 2023 bersifat final dan mengikat seluruh pihak. Upaya Kementerian Desa untuk mengubah aturan secara sepihak pada 2025 (setelah Pemilu 2024) menunjukkan inkonsistensi regulasi dan potensi intervensi politik, bukan penegakan hukum.
Penerapan klausul retroaktif dalam SPK Januari 2025 telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi TPP Desa yang telah mencalonkan diri sebagai caleg pada Pemilu 2024. Mereka yang sebelumnya merasa aman karena telah mendapatkan izin resmi dari KPU dan Kementerian Desa, kini terancam kehilangan pekerjaan dan hak-hak mereka.
Hal ini dapat menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan di kalangan TPP Desa, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kinerja mereka dalam mendukung program-program pemberdayaan masyarakat desa.
Pemilu adalah salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi.Setiap warga negara memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai caleg, termasuk TPP Desa. Pemberlakuan aturan retroaktif yang membatasi hak TPP Desa untuk maju sebagai caleg dapat dianggap sebagai bentuk pembatasan hak politik warga negara. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu.
TPP Desa memainkan peran penting dalam membantu pemerintah desa melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat. Jika TPP Desa yang telah mencalonkan diri sebagai caleg diberhentikan secara sepihak, hal ini dapat mengganggu kelancaran program-program tersebut. Pemerintah desa mungkin akan kesulitan mencari pengganti yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang setara dengan TPP Desa yang diberhentikan.
Kepastian hukum dan prinsip non-retroaktif adalah dua pilar penting dalam negara hukum. Penerapan klausul retroaktif oleh Kementerian Desa pada Januari 2025 telah melanggar kedua prinsip tersebut dan menimbulkan ketidakadilan bagi TPP Desa yang telah mencalonkan diri sebagai caleg pada Pemilu 2024.
Untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan penegakan hukum, Kementerian Desa harus segera mencabut klausul retroaktif tersebut dan menciptakan aturan yang jelas dan konsisten untuk masa depan. TPP Desa yang telah bertindak berdasarkan izin resmi dari KPU dan Kementerian Desa harus dilindungi hak-haknya, dan segala upaya untuk membatalkan hak mereka secara surut harus dihentikan.
Pemberlakuan surut klausul tersebut menghancurkan legitimate expectation (harapan sah) TPP Desa yang telah berkonsultasi sejak awal. Jika Kementerian Desa ingin melarang TPP Desa maju sebagai caleg, aturan baru harus berlaku ke depan (prospective), bukan membatalkan hak yang sudah diberikan.
KPU sebagai penyelenggara Pemilu memiliki kewenangan mutlak untuk menafsirkan syarat caleg berdasarkan Pasal 22 UU No. 7/2017. Keputusan KPU melalui surat edaran Juli 2023 bersifat final dan mengikat seluruh pihak. Upaya Kementerian Desa untuk mengubah aturan secara sepihak pada 2025 (setelah Pemilu 2024) menunjukkan inkonsistensi regulasi dan potensi intervensi politik, bukan penegakan hukum.
Dampak Sosial dan Politik
Penerapan klausul retroaktif dalam SPK Januari 2025 telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi TPP Desa yang telah mencalonkan diri sebagai caleg pada Pemilu 2024. Mereka yang sebelumnya merasa aman karena telah mendapatkan izin resmi dari KPU dan Kementerian Desa, kini terancam kehilangan pekerjaan dan hak-hak mereka.
Hal ini dapat menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan di kalangan TPP Desa, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kinerja mereka dalam mendukung program-program pemberdayaan masyarakat desa.
Pemilu adalah salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi.Setiap warga negara memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai caleg, termasuk TPP Desa. Pemberlakuan aturan retroaktif yang membatasi hak TPP Desa untuk maju sebagai caleg dapat dianggap sebagai bentuk pembatasan hak politik warga negara. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu.
TPP Desa memainkan peran penting dalam membantu pemerintah desa melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat. Jika TPP Desa yang telah mencalonkan diri sebagai caleg diberhentikan secara sepihak, hal ini dapat mengganggu kelancaran program-program tersebut. Pemerintah desa mungkin akan kesulitan mencari pengganti yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang setara dengan TPP Desa yang diberhentikan.
Kepastian hukum dan prinsip non-retroaktif adalah dua pilar penting dalam negara hukum. Penerapan klausul retroaktif oleh Kementerian Desa pada Januari 2025 telah melanggar kedua prinsip tersebut dan menimbulkan ketidakadilan bagi TPP Desa yang telah mencalonkan diri sebagai caleg pada Pemilu 2024.
Untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan penegakan hukum, Kementerian Desa harus segera mencabut klausul retroaktif tersebut dan menciptakan aturan yang jelas dan konsisten untuk masa depan. TPP Desa yang telah bertindak berdasarkan izin resmi dari KPU dan Kementerian Desa harus dilindungi hak-haknya, dan segala upaya untuk membatalkan hak mereka secara surut harus dihentikan.
(shf)
Lihat Juga :