Gugatan Praperadilan, Pengamat Sebut Status DPO Nurhadi Cs Harusnya Gugur

Jum'at, 21 Februari 2020 - 18:18 WIB
Gugatan Praperadilan,...
Gugatan Praperadilan, Pengamat Sebut Status DPO Nurhadi Cs Harusnya Gugur
A A A
JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai dengan praperadilan kedua yang diajukan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurrachman dkk, maka status status daftar pencarian orang (DPO) Nurhadi dkk gugur, serta proses penyidikan harus ditunda sementara waktu.

Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dan memasukkan Nurhadi Abdurrachman bersama menantunya, Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto ke dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 11 Februari 2020.

(Baca juga: KPK Hentikan 36 Kasus, Abraham Samad: Ini di Luar Kewajaran)

Pakar hukum Universitas Khairun Ternate Margarito Kamis menyatakan, praperadilan kedua yang diajukan oleh Nurhadi Abdurrachman, Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan hak ketiganya sebagai tersangka untuk menguji kewenangan penyidik KPK dan keabsahan penyidikan.

Karenanya menurut Margarito, gugatan tersebut harus dihormati KPK. Dengan praperadilan tersebut, kata Margarito, secara otomatis semua tindakan hukum dalam proses penyidikan harus dihentikan sementara waktu.

"Praperadilan itu kan sah, haknya tersangka. Oleh karena itu praperadilan yang diajukan Pak Nurhadi dan yang lain itu menangguhkan sementara atau menunda sementara kewenangan penyidik untuk memeriksa mereka," kata Margarito di Jakarta, Jumat (21/2/2020).

"Memeriksa saksi-saksi, dan melakukan penyidikan terhadap para tersangka itu. Karena kewenangan penyidik itu lah yang sedang diajukan dalam praperadilan," tambahnya.

Dia berpandangan, langkah KPK menetapkan atau memasukkan Nurhadi, Rezky, dan Hiendra ke dalam DPO sebagai tindakan yang keliru karena lebih dulu ada gugatan praperadilan. Margarito menilai, status DPO Nurhadi dkk secara otomatis gugur karena Nurhadi dkk lebih dulu mengajukan gugatan praperadilan kedua.

"Penetapan DPO untuk Nurhadi dan lain-lain itu keliru. Praperadilan itu juga mendahului (penetapan status) DPO. Praperadilan itu menggugurkan status DPO itu," tegasnya.

Margarito mengungkapkan, memang ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status DPO.

Tapi ujar dia, SEMA tersebut harus dilihat sesuai dengan konteksnya. Maksudnya SEMA itu tidak bisa berlaku atau diberlakukan ketika Nurhadi dkk telah lebih dulu mengajukan praperadilan baru kemudian KPK menetapkan status DPO Nurhadi dkk.

"Jadi tidak bisa SEMA itu dipakai untuk Pak Nurhadi dan dua orang itu. Konteksnya kan mereka (Nurhadi, Rezky, dan Hiendra) ajukan praperadilan kedua baru KPK menerbitkan DPO. Jadi surat edaran itu tidak bisa dipakai untuk menerangkan kasus Pak Nurhadi, Rezky, dan Hiendra ini," ujarnya.

Margarito berpandangan, dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2018 jelas dinyatakan bahwa seorang tersangka yang melarikan diri atau dalam status DPO tidak dapat mengajukan praperadilan. SEMA ini bisa dipakai kalau ceritanya adalah KPK lebih dulu menetapkan status DPO terhadap Nurhadi dkk, baru kemudian Nurhadi dkk mengajukan praperadilan kedua.

Lebih dari itu Margarito mengatakan, dia tidak mau menilai lebih jauh apakah langkah KPK melanjutkan penyidikan hingga menerbitkan status DPO sebagai tindakan mengangkangi hukum.

Yang pasti dia menggariskan, tindakan KPK menerbitkan DPO terhadap Nurhadi dkk dan melanjutkan penyidikan di saat Nurhadi dkk mengajukan praperadilan kedua adalah tindakan yang sangat keliru.

"KPK taatlah pada hukum, jangan berbuat melanggar hukum. Ketika hukum dimiringkan, itulah korup. Korup itu adalah termasuk melawan hukum. Kalau anda (KPK) sungguh-sungguh memberantas korupsi, taatilah hukum," ucapnya.

Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Nurhadi Abdurrachman, Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto menyatakan, tindakan KPK melakukan penetapan status daftar pencarian orang (DPO) terhadap kliennya merupakan tindakan melawan hukum.

Pasalnya kata dia, pihaknya telah lebih dulu mengajukan gugatan praperadilan kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/3/2020). Gugatan tersebut telah resmi terdaftar dan terregister di PN Jaksel. Gugatan diajukan lebih cepat enam hari dari penetapan status DPO Nurhadi dkk yakni Selasa (11/2/2020).

Sesaat setelah gugatan praperadilan terregister di PN Jaksel dan sebelum status DPO tadi, pihak kuasa hukum telah menyurati secara resmi ke KPK melalui Direktur Penyidikan KPK RZ Panca Putra Simanjuntak.

Dalam surat tersebut, pihak kuasa hukum meminta agar segala proses hukum atas kasus dugaan suap dan gratifikasi serta terhadap Nurhadi, Rezky, dan Hiendra ditunda sementara.

"Ternyata mereka (KPK) tidak peduli dengan gugatan praperadilan itu. Mereka malah memasukkan Pak Nurhadi kemudian Mas Rezky dan Hiendra ke dalam DPO," kata Maqdir saat dihubungi KORAN SINDO, Jumat (21/2/2020) sore.

"Padahal harusnya KPK hargai upaya hukum itu. Penetapan status DPO itu sangat kita sesalkan. Kenapa mereka (KPK) buru-buru menerbitkan status DPO. Jangan suka-suka mereka (KPK) aja," sambungnya.

Dia menggariskan, gugatan praperadilan merupakan hak dari seorang tersangka untuk menguji keabsahan penyidikan dan kewenangan penyidik. Artinya dalam hal ini Nurhadi, Rezky, dan Hiendra berupa menguji sehubungan dengan proses hukum yang dijalankan oleh KPK. Menurut Maqdir, sebagai penegak hukum maka KPK seharusnya tidak memperlihatkan cara-cara atau tindakan yang cenderung melanggar hukum.

"Ada hukum acara yang harus dihormati. Hukum acara itu untuk membatasi kewenangan penyidik, bukan membatasi hak tersangka. Kan kita mau menegakkan hukum, bukan suka-suka mereka (KPK) aja. Jangan cuman minta warga negara yang harus hormati hukum," bebernya.

Maqdir menegaskan, MA memang telah menerbitkan SEMA Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status DPO.

Dia juga sudah membaca isi SEMA tersebut. Tapi yang harus menjadi perhatian yaitu praperadilan kedua lebih dulu diajukan dari pada status DPO. Karenanya praperadilan kedua tidak bisa gugur atau digugurkan secara otomatis. SEMA itu juga tidak bisa dipakai KPK untuk melakukan tindakan melawan hukum.

"Status DPO itu kan post pactum, status itu ada setelah gugatan praperadilan diajukan. SEMA itu tidak bisa dipakai terhadap praperadilan ini. Kecuali kalau sudah ditetapkan sebagai DPO baru kita ajukan praperadilan itu baru bisa dipakai SEMA itu," ujarnya.

Menurut Maqdir, gugatan praperadilan kedua dapat tetap berjalan dan disidangkan oleh hakim tunggal PN Jaksel meskipun ada SEMA tadi. KPK juga tidak bisa berargumentasi bahwa praperadilan kedua itu gugur dengan mengacu SEMA.

Sekali lagi status DPO Nurhadi dkk ditetapkan setelah gugatan praperadilan terdaftar di PN Jaksel. "Kepentingan hakim itu kan untuk menegakkan hukum, bukan membenarkan tindakan KPK," imbuhnya.

Dia memastikan, ketiga kliennya saat ini masih berada di Jakarta. Tapi lokasi keberadaan pastinya tidak diketahui oleh Maqdir. Yang pasti Nurhadi, Rezky, dan Hiendra mendatangi kantor hukum Maqdir di Menteng, Jakarta Pusat saat menandatangani surat kuasa khusus untuk permohonan gugatan praperadilan.

Di dalam surat kuasa, Nurhadi mencantumkan alamat kediamannya di Jalan Hang Lekir V, Jakarta Selatan dan Rezky dengan alamat di Jalan Raya Patal Senayan Nomor 3B, Jakarta Selatan.

Di sisi lain setelah gugatan praperadilan didaftarkan di PN Jaksel, Maqdir tidak mengetahui lagi keberadaan ketiga kliennya dan di mana mereka menginap. Maqdir membantah saat disinggung bahwa dia sempat bertemu Nurhadi dkk di rumah seseorang.

Maqdir bergeming saat disinggung rencana KPK menerapkan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor dalam delik menghalang-halangi penyidikan. "Saya kan enggak tenteng-tenteng, enggak bawa-bawa Pak Nurhadi dan lain-lain," ujarnya

"Kemudian mau diterapkan menghalangi penyidikan, siapa yang menghalangi? Kalau ada yang menghalangi, silakan aja. Kalau saya tenteng-tenteng Pak Nurhadi kemudian saya sembunyikan, boleh disebut saya menghalangi. Lokasinya aja saya enggak tahu," ucapnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1118 seconds (0.1#10.140)