Kapolri Perintahkan Tunda Proses Hukum Cakada, Pakar Pidana: Bubarkan Saja Gakkumdu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perintah Kapolri Jenderal Idham Azis untuk penundaan proses hukum calon kepala daerah (cakada) dalam Pilkada 2020 dinilai tidak memiliki landasan yuridis. Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyatakan, secara yuridis tidak ada alasan apa pun, termasuk sosiologis atau politis untuk menunda pelaksanaan penegakan hukum.
”Hukum pidana tidak mengenal itu. Bahkan dalam konteks pemilu, ada yang harus ditegakkan yakni tindak pidana pemilu, termasuk money politics,” ujar dia dihubungi SINDOnews, Kamis (3/9/2020).
Sebagai informasi, perintah Kapolri tersebut dituangkan melalui Surat Telegram Rahasia bernomor ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 pada tanggal 31 Agustus 2020. Fickar menilai, bila perintah penundaan proses hukum tersebut dilaksanakan, tidak ada gunanya dibentuk Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). ”Jika proses hukum akan ditunda juga, buat apa ada Gakkumdu? Lebih baik dibubarkan saja,” kata Fickar.
(Baca: Penundaan Proses Hukum saat Pilkada, Pengamat: Jangan Tebang Pilih)
Menurut dia, penuntutan pidana pemilu tetap harus tetap berjalan karena hampir tidak pernah ada pemilu tanpa jual beli suara alias money politics. Hal itu pun telah ditulis Burhan Muhtadi dalam buku berjudul Kuasa Uang.
”Jika penundaan yang dikehendaki, yang harus dilakukan adalah mengubah UU Pemilu, dengan memasukkan ketentuan penangguhan penegakan hukum pidana selama pemilu, tidak bisa hanya dengan sebuah kebijakan kapolri," tuturnya.
Fickar menjelaskan, penundaan dalam hukum acara pidana hanya dikenal dalam konteks penahanan yang dinamakan pembantaran. Itu pun bisa dilakukan dengan alasan tersangka sakit berat.
(Baca: Kabareskrim Instruksikan Jajaran Patuhi Penundaan Proses Hukum Pilkada)
Hukum pidana materiil atau KUHP, lanjut Fickar, malah sama sekali tidak mengenal penundaan. Yang diatur adalah alasan pemaaf dan penghapus pidana, misalnya tindak pidana oleh anak di bawah umur dan orang yang sakit kesadarannya. Pasal 44 dan 45 KUHP mengatur keduanya bisa dilepaskan dari hukuman karena kejiwaannya tidak stabil.
Demikian juga mereka yang di bawah tekanan dan yang membela diri, sesuai pasal 48 dan 49 KUHP. Tetapi, terhadap mereka tetap harus dilakukan proses penuntutan dan pembuktian di pengadilan. "Jadi tidak ada dasar yuridis menunda proses hukum dengan kebijakan, tetapi harus dengan UU atau putusan pengadilan," kata dia.
Lihat Juga: Bongkar Kasus Narkotika, Irjen Pol Winarto: Tindak Lanjut Program Presiden dan Perintah Kapolri
”Hukum pidana tidak mengenal itu. Bahkan dalam konteks pemilu, ada yang harus ditegakkan yakni tindak pidana pemilu, termasuk money politics,” ujar dia dihubungi SINDOnews, Kamis (3/9/2020).
Sebagai informasi, perintah Kapolri tersebut dituangkan melalui Surat Telegram Rahasia bernomor ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 pada tanggal 31 Agustus 2020. Fickar menilai, bila perintah penundaan proses hukum tersebut dilaksanakan, tidak ada gunanya dibentuk Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). ”Jika proses hukum akan ditunda juga, buat apa ada Gakkumdu? Lebih baik dibubarkan saja,” kata Fickar.
(Baca: Penundaan Proses Hukum saat Pilkada, Pengamat: Jangan Tebang Pilih)
Menurut dia, penuntutan pidana pemilu tetap harus tetap berjalan karena hampir tidak pernah ada pemilu tanpa jual beli suara alias money politics. Hal itu pun telah ditulis Burhan Muhtadi dalam buku berjudul Kuasa Uang.
”Jika penundaan yang dikehendaki, yang harus dilakukan adalah mengubah UU Pemilu, dengan memasukkan ketentuan penangguhan penegakan hukum pidana selama pemilu, tidak bisa hanya dengan sebuah kebijakan kapolri," tuturnya.
Fickar menjelaskan, penundaan dalam hukum acara pidana hanya dikenal dalam konteks penahanan yang dinamakan pembantaran. Itu pun bisa dilakukan dengan alasan tersangka sakit berat.
(Baca: Kabareskrim Instruksikan Jajaran Patuhi Penundaan Proses Hukum Pilkada)
Hukum pidana materiil atau KUHP, lanjut Fickar, malah sama sekali tidak mengenal penundaan. Yang diatur adalah alasan pemaaf dan penghapus pidana, misalnya tindak pidana oleh anak di bawah umur dan orang yang sakit kesadarannya. Pasal 44 dan 45 KUHP mengatur keduanya bisa dilepaskan dari hukuman karena kejiwaannya tidak stabil.
Demikian juga mereka yang di bawah tekanan dan yang membela diri, sesuai pasal 48 dan 49 KUHP. Tetapi, terhadap mereka tetap harus dilakukan proses penuntutan dan pembuktian di pengadilan. "Jadi tidak ada dasar yuridis menunda proses hukum dengan kebijakan, tetapi harus dengan UU atau putusan pengadilan," kata dia.
Lihat Juga: Bongkar Kasus Narkotika, Irjen Pol Winarto: Tindak Lanjut Program Presiden dan Perintah Kapolri
(muh)