Omnibus Law Cipta Kerja Ditolak Buruh, Pemerintah-DPR Tak Usah Kejar Tayang
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada DPR dinilai banyak kelemahan dan perlu dikritisi. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno meminta DPR dan pemerintah tidak perlu buru-buru merampungkan RUU itu karena masih banyak penolakan dari buruh.
"Untuk urusan buruh baiknya keputusan yang dibuat harus komprehensif, tak usah kejar tayang. Buruh perlu didengar aspirasinya," kata Adi saat dihubungi SINDOnews, Senin (17/2/2020).
Adi meminta pemerintah dan DPR tak terburu-buru mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja. Sebelumnya, Presiden Jokowi mendesak bisa diselesaikan dalam waktu 100 hari. (Baca Juga: 9 Poin Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja Versi KSPI).
Menurut dia, seharusnya pemerintah dan DPR mengajak para buruh dan karyawan dialog dan berdiskusi. Ia menganggap, zaman sekarang era keterbukaan infomasi, segala hal bisa didialogkan dengan baik antara pemerintah, DPR, dan buruh sebagai rakyat.
"Ada sejumlah klausul krusial yang merugikan buruh. Misalnya penghapusan poin upah yang harus diterima buruh jika berhalangan hadir. Atau penghapusan poin cuti panjang bagi yang sudah kerja enam tahun," ungkap analis politik asal UIN Jakarta itu. (Baca Juga: Omnibus Law dan Kekerasan Struktural).
"Untuk urusan buruh baiknya keputusan yang dibuat harus komprehensif, tak usah kejar tayang. Buruh perlu didengar aspirasinya," kata Adi saat dihubungi SINDOnews, Senin (17/2/2020).
Adi meminta pemerintah dan DPR tak terburu-buru mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja. Sebelumnya, Presiden Jokowi mendesak bisa diselesaikan dalam waktu 100 hari. (Baca Juga: 9 Poin Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja Versi KSPI).
Menurut dia, seharusnya pemerintah dan DPR mengajak para buruh dan karyawan dialog dan berdiskusi. Ia menganggap, zaman sekarang era keterbukaan infomasi, segala hal bisa didialogkan dengan baik antara pemerintah, DPR, dan buruh sebagai rakyat.
"Ada sejumlah klausul krusial yang merugikan buruh. Misalnya penghapusan poin upah yang harus diterima buruh jika berhalangan hadir. Atau penghapusan poin cuti panjang bagi yang sudah kerja enam tahun," ungkap analis politik asal UIN Jakarta itu. (Baca Juga: Omnibus Law dan Kekerasan Struktural).
(zik)