Soal HAM dan Intoleransi, Hendardi: Jokowi Harus Jawab Harapan Publik

Minggu, 16 Februari 2020 - 23:08 WIB
Soal HAM dan Intoleransi, Hendardi: Jokowi Harus Jawab Harapan Publik
Soal HAM dan Intoleransi, Hendardi: Jokowi Harus Jawab Harapan Publik
A A A
JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang prioritas agenda pemerintahannya, menunjukkan bahwa nyaris tidak ada harapan bagi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Ini menggambarkan pemerintah tidak memiliki pengetahuan holistik soal HAM.

Menurut Ketua SETARA Institute Hendardi, hak asasi manusia (HAM) adalah paradigma bernegara, bukan semata kasus atau pelanggaran HAM. Jokowi semestinya meletakkan HAM sebagai paradigma dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan investasi, penguatan SDM dan agenda pembangunan lainnya. Dengan pemahaman yang demikian, agenda HAM bisa diintegrasikan dalam seluruh kinerja pemerintahan.

"Perlu diingat bahwa tugas konstitusional memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia, yang di dalamnya juga memuat jaminan atas keadilan, penanganan pelanggaran HAM dan jaminan kesetaraan dalam beragama/berkeyakinan bukanlah tugas yang harus dipilih-pilih oleh seorang presiden," kata Hendardi kepada wartawan, Minggu (16/2/2020).

Semua tugas konstitusional melekat pada seorang presiden dalam suatu periode pemerintahan. Oleh karena itu, kata dia, presiden dibekali kewenangan mengangkat menteri dan kepala badan dalam berbagai bidang agar bisa menjalankan tugasnya secara bersamaan. Sepanjang para pembantu presiden memiliki kepekaan dan kecakapan dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, maka tidak ada alasan bagi pemerintah menunda tugas-tugas konstitusional tersebut.

"Apalagi, khusus agenda penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi, merupakan agenda yang tertunda pada periode pertama, dimana secara eksplisit termaktub dalam Nawacita Jokowi 2014 silam," katanya.

Presiden memiliki banyak perangkat dan instrumen untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Kata dia, gagasan membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran yang tercantum dalam Nawacita 2014, adalah model yang paling moderat untuk merintis penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Fokus komisi ini adalah mengungkap kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau non yudisial. Jika Komisi ini selesai menjalankan tugas pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya.

"Sayangnya, Jokowi justru mengurungkan niatnya pada periode II ini, dengan alasan prioritas kepemimpinanya adalah pemajuan ekonomi-kesejahteraan dan penguatan SDM. Lalu kapan janji penuntasan bidang HAM akan dipenuhi? Sedangkan Jokowi sudah memasuki periode II," tuturnya.

Di bidang penanganan intoleransi, kata Hendardi, komitmen Jokowi tampak hanya ditujukan untuk menjustifikasi tindakan politiknya menunjuk sejumlah menteri yang oleh presiden dianggap memiliki kecakapan penangan intoleransi. Nyatanya, sambungnya, sejumlah menteri dan kepala badan atau lembaga tidak memiliki agenda terpadu dan mendasar dalam menangani intoleransi.
"Peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terus terjadi dan pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara," pungkansya.

Kepemimpinan Jokowi-Maruf belum genap 1 tahun. Jokowi, menurut dia, masih punya waktu dan mesti menjawab harapan publik yang setia memberikan dukungan pada periode II dan percaya bahwa janji penuntasan pelanggaran HAM dan intoleransi akan ditunaikan pada periode II ini. (Baca juga: Setara: Kasus HAM Melalui Rekonsiliasi itu Keliru )
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6717 seconds (0.1#10.140)