Kenaikan Harga Ancam Daya Beli

Selasa, 11 Februari 2020 - 05:50 WIB
Kenaikan Harga Ancam Daya Beli
Kenaikan Harga Ancam Daya Beli
A A A
MENGGENJOT pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipatok pada level 5,3% tahun ini adalah sebuah tantangan tersendiri di tengah karut-marut perkembangan ekonomi global, menyusul merebaknya wabah virus korona yang bersumber dari China dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia. Pada kuartal pertama tahun ini, perekonomian Negeri Bambu itu terkoyak virus korona.

Celakanya, bila perekonomian China bermasalah, imbasnya terhadap perdagangan dunia adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Harus diakui, kondisi perekonomian China yang memburuk itu membuat kekhawatiran tersendiri mengingat hubungan dagang antara China dan Indonesia begitu erat. Tujuan ekspor terbesar Indonesia adalah ke China selain Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Sebaliknya, impor terbesar Indonesia berasal dari Negeri Panda.

Lalu, bagaimana nasib target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 5,3% yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020? Untuk merealisasikan target tersebut, memang tidak gampang. Hal itu diakui Direktur Eksekutif Riset Core Indonesia Piter Abdullah. Kuncinya, seperti ditegaskan pengamat ekonomi itu, bagaimana cara pemerintah menjaga daya beli masyarakat dengan fokus pada pasar domestik.

Pertanyaan selanjutnya, langkah apa yang ditempuh agar daya beli masyarakat tidak melorot? Caranya, pemerintah harus menghindari kebijakan menaikkan harga berbagai komoditas dan jasa. Faktanya sejak awal tahun ini pemerintah telah menaikkan iuran BPJS Kesehatan dan cukai rokok, tarif sejumlah ruas jalan tol, serta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sedang membahas rencana kenaikan tarif ojek online dan taksi online .

Sejak pekan lalu sopir atau driver taksi online yang berwadah di bawah naungan Asosiasi Driver Online (ADO) telah mengajukan penyesuaian tarif kepada Kemenhub. Usulan kenaikan tarif versi ADO adalah driver taksi online dapat menerima tarif minimum bersih Rp3.500 per kilometer atau di luar potongan-potongan oleh aplikator, lalu biaya minimal atau lebih akrab di telinga dengan sebutan tarif buka pintu sebesar Rp20.000 hingga jarak 3 kilometer.

Selama ini tarif taksi online untuk Pulau Jawa sebesar Rp 3.500 per kilometer, namun driver hanya mendapatkan sebesar Rp2.800 hingga Rp3.000 per kilometer. Untuk mendukung penyesuaian tarif taksi online tersebut, ADO mengajukan sejumlah alasan. Di antaranya, kenaikan biaya operasional kendaraan seperti spare part, dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Tarif taksi online yang berlaku saat ini ditetapkan tiga tahun yang lalu.

Selain itu, driver ojek online juga menuntut kenaikan tarif lagi, padahal belum setahun lalu tarif sudah dikoreksi. Pihak Kemenhub sedang mempertimbangkan dan kalaupun nanti disetujui, kemungkinan hanya tarif seputaran wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) yang disesuaikan. Para driver ojek online meminta tarif batas bawah dinaikkan dari sebelumnya sebesar Rp2.000 per kilometer menjadi sebesar Rp2.500 per kilometer. Saat ini Kemenhub belum menyalakan lampu hijau baik untuk kenaikan tarif taksi online maupun ojek online .

Jadi, kenaikan iuran BPJS, cukai rokok, tarif sejumlah ruas jalan tol, dan usulan kenaikan tarif ojek online dan taksi online yang kini dalam pembahasan Kemenhub, adalah sebuah contoh konkret betapa kenaikan harga bakal berpengaruh pada daya beli masyarakat. Memang, menguatkan daya beli masyarakat bukanlah pekerjaan rumah yang ringan, namun itu menjadi satu di antara kunci utama pemerintah untuk meraih pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% hingga akhir tahun ini. Tahun lalu pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,02% sekaligus menandai bahwa dalam empat tahun terakhir ini perekonomian hanya tumbuh pada kisaran 5% lebih sedikit.

Karena itu, wajar kalau sejumlah pengamat ekonomi menilai pemerintah berat untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi 5,3% tanpa terobosan yang signifikan misalnya bagaimana mengoptimalkan pasar domestik dengan tetap mengendalikan harga-harga.

Tinjauannya sederhana, kalau dalam empat tahun terakhir ini pemerintah hanya bisa meraih pertumbuhan rata-rata 5%, bagaimana dengan tahun ini di mana gejolak perekonomian global tak kunjung membaik. Lalu, disusul wabah virus korona yang juga menggerogoti perekonomian dunia yang menghajar banyak sektor ekonomi, mulai dari transportasi udara, pariwisata, investasi, hingga industri. Awal tahun yang amat berat untuk mencatat pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5%. (*)
(jon)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4514 seconds (0.1#10.140)