Dilema AI dan Regulasi Berbasis Risiko
loading...
A
A
A
Regulasi Komprehensif, Adaptif, Berbasis Risiko
Pemerintah Indonesia telah menyusun berbagai regulasi untuk mengelola pengembangan dan penggunaan AI. Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) 2020-2045 berfokus pada sektor pendidikan, kesehatan, keamanan, dan reformasi birokrasi. Selain itu, ada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tahun 2008 dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) tahun2022.
Ada pula Peraturan Bank Indonesia No 19/1/PBI/2017 tentang Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Penyelenggaraan Kegiatan Perbankan, PP No 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Keputusan Menkominfo No 20/2016 tentang Pengamanan Informasi dan Elektronik. Namun, semua regulasi itu masih lemah. Menurut Oxford Insights (2021), kebijakan AI di Indonesia masih berada pada tahap awal, belum memiliki kerangka hukum yang spesifik.
Kelemahan utama dalam regulasiAI di Indonesia adalah tidak komprehensif. Tidak khusus mengatur etika dan akuntabilitas. Antisipasi risiko keamanan siber, risiko kehilangan pekerjaan, dan semakin dalamnya ketimpangan sosial akibat AI juga belum ditangani serius. Bahkan pelaksanaan UU PDP terkendala lemahnya pengawasan, membuka peluang penyalahgunaan data oleh teknologi berbasis AI.
Faktor infrastruktur digital yang belum memadai, minimnya sumber daya manusia, serta kurangnya pengawasan dan penegakan hukum membuat regulasi tadi kian tak efektif. Justru banyak keputusan berbasis AI berpotensi diskriminatif karena bias algoritma. Virginia Dignum (2019) menyatakan, kebijakan yang tidak memprioritaskan transparansi dan akuntabilitas dalam AI akan memperbesar risiko ketidaksetaraan sosial-ekonomi.
Indonesia memerlukan regulasi AI yang lebih komprehensif, memperhitungkan aspek keamanan siber dan dampak sosial-ekonomi dari pengembangan AI. Ingat, AI akan mengubah pola hidup, bekerja, dan berinteraksi. Regulasi harus bisa mengantisipasinya. Perlindungan data pribadi menjadi elemen kunci mengingat data adalah materiutama AI beroperasi.
Peningkatan investasi dalam keamanan siber tak bisa ditawar lagi. APBN, swasta, dan peran internasional harus mampu mengonsolidasikan dana untuk program keamanan siberini
Regulasi AI juga harus mampu mengikuti perkembangan AI itu sendiri. Harus ada fleksibilitas dan responsivitas yang bisa memberikan kepastian hukum sekaligus lentur mengakomodasi inovasi. Menurut Brynjolfsson dan McAfee (2017), kebijakan harus mampu menyeimbangkan dorongan inovasi teknologi dengan perlindungan masyarakat melalui pendekatan yang responsif dan inklusif.
Uni Eropa memberikan contoh sukses melalui General Data Protection Regulation (GDPR), sejak 2018. GDPR merancang AI Act yang berbasis risiko, memberikan ruang bagi inovasi sambil tetap menjamin keamanan publik. Aturan ini menyesuaikan tingkat pengawasan dengan dampak potensial risikodari teknologi tersebut.
Regulasi ini membagi aplikasi AI ke dalam tingkat risiko, mulai dari yang rendah hingga tertinggi, berdasarkan dampaknya terhadap keselamatan, hak asasi manusia, dan kehidupan masyarakat. Dengan memastikan akuntabilitas pengembang dan penyedia AI, serta adaptasi terhadap perkembangan teknologi, regulasi berbasis risiko bisa diterapkan Indonesia. Andrea Renda (2021) menyatakan, kerangka AI berbasis risiko adalah pendekatan paling relevan.
Jadi, tanggung jawab pengembang dan pengguna AI perlu diatur ketat. Risk Appetite Framework (RAF) disusun meliputi risk appetite (risiko ideal yang diterima), risk tolerance (maksimal toleransi risiko), dan risk capacity (kemampuan maksimal menanggung risiko). RAF ini yang menjadi criteria utama pengendalian risiko AI.
Pemerintah Indonesia telah menyusun berbagai regulasi untuk mengelola pengembangan dan penggunaan AI. Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) 2020-2045 berfokus pada sektor pendidikan, kesehatan, keamanan, dan reformasi birokrasi. Selain itu, ada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tahun 2008 dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) tahun2022.
Ada pula Peraturan Bank Indonesia No 19/1/PBI/2017 tentang Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Penyelenggaraan Kegiatan Perbankan, PP No 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Keputusan Menkominfo No 20/2016 tentang Pengamanan Informasi dan Elektronik. Namun, semua regulasi itu masih lemah. Menurut Oxford Insights (2021), kebijakan AI di Indonesia masih berada pada tahap awal, belum memiliki kerangka hukum yang spesifik.
Kelemahan utama dalam regulasiAI di Indonesia adalah tidak komprehensif. Tidak khusus mengatur etika dan akuntabilitas. Antisipasi risiko keamanan siber, risiko kehilangan pekerjaan, dan semakin dalamnya ketimpangan sosial akibat AI juga belum ditangani serius. Bahkan pelaksanaan UU PDP terkendala lemahnya pengawasan, membuka peluang penyalahgunaan data oleh teknologi berbasis AI.
Faktor infrastruktur digital yang belum memadai, minimnya sumber daya manusia, serta kurangnya pengawasan dan penegakan hukum membuat regulasi tadi kian tak efektif. Justru banyak keputusan berbasis AI berpotensi diskriminatif karena bias algoritma. Virginia Dignum (2019) menyatakan, kebijakan yang tidak memprioritaskan transparansi dan akuntabilitas dalam AI akan memperbesar risiko ketidaksetaraan sosial-ekonomi.
Indonesia memerlukan regulasi AI yang lebih komprehensif, memperhitungkan aspek keamanan siber dan dampak sosial-ekonomi dari pengembangan AI. Ingat, AI akan mengubah pola hidup, bekerja, dan berinteraksi. Regulasi harus bisa mengantisipasinya. Perlindungan data pribadi menjadi elemen kunci mengingat data adalah materiutama AI beroperasi.
Peningkatan investasi dalam keamanan siber tak bisa ditawar lagi. APBN, swasta, dan peran internasional harus mampu mengonsolidasikan dana untuk program keamanan siberini
Regulasi AI juga harus mampu mengikuti perkembangan AI itu sendiri. Harus ada fleksibilitas dan responsivitas yang bisa memberikan kepastian hukum sekaligus lentur mengakomodasi inovasi. Menurut Brynjolfsson dan McAfee (2017), kebijakan harus mampu menyeimbangkan dorongan inovasi teknologi dengan perlindungan masyarakat melalui pendekatan yang responsif dan inklusif.
Uni Eropa memberikan contoh sukses melalui General Data Protection Regulation (GDPR), sejak 2018. GDPR merancang AI Act yang berbasis risiko, memberikan ruang bagi inovasi sambil tetap menjamin keamanan publik. Aturan ini menyesuaikan tingkat pengawasan dengan dampak potensial risikodari teknologi tersebut.
Regulasi ini membagi aplikasi AI ke dalam tingkat risiko, mulai dari yang rendah hingga tertinggi, berdasarkan dampaknya terhadap keselamatan, hak asasi manusia, dan kehidupan masyarakat. Dengan memastikan akuntabilitas pengembang dan penyedia AI, serta adaptasi terhadap perkembangan teknologi, regulasi berbasis risiko bisa diterapkan Indonesia. Andrea Renda (2021) menyatakan, kerangka AI berbasis risiko adalah pendekatan paling relevan.
Jadi, tanggung jawab pengembang dan pengguna AI perlu diatur ketat. Risk Appetite Framework (RAF) disusun meliputi risk appetite (risiko ideal yang diterima), risk tolerance (maksimal toleransi risiko), dan risk capacity (kemampuan maksimal menanggung risiko). RAF ini yang menjadi criteria utama pengendalian risiko AI.