Populisme Ekonomi dan Realitas Moneter

Jum'at, 20 Desember 2024 - 19:47 WIB
loading...
A A A
Selanjutnya, saat pandemi, BI menerapkan kebijakan burden sharing untuk membantu pemerintah membiayai defisit fiskal. Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, burden sharing membantu menyelamatkan ekonomi dari resesi. Namun di sisi lain, banyak ekonom khawatir bahwa kebijakan ini membuka celah bagi pemerintah untuk lebih jauh mengintervensi BI di masa depan. Fenomena ini mengingatkan kita pada peringatan keras dari Goodhart dan Lastra (2018) bahwa independensi bank sentral bisa tergerus jika ada tekanan politik untuk mendanai kebijakan populis.

Realitas Moneter Bank Indonesia

Populisme ekonomi sering kali bertentangan dengan realitas moneter yang dihadapi bank sentral. Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi BI dalam menjaga stabilitas ekonomi, yaitu ancaman inflasi. Ketika harga-harga melonjak, daya beli masyarakat menurun dan perekonomian bisa terpuruk. BI harus memastikan bahwa inflasi tetap terkendali, meskipun ada tekanan dari pemerintah atau publik untuk mendorong kebijakan yang lebih akomodatif. Kenaikan harga komoditas global, seperti minyak dan pangan, sering kali memicu inflasi di Indonesia.



Di sisi lain, kebijakan populis seperti subsidi energi atau pencetakan uang justru bisa menghadirkan situasi yang lebih buruk. Dalam kondisi ini, BI harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer, seperti menaikkan suku bunga, demi menjaga stabilitas inflasi. Juga masalah stabilitas nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap guncangan eksternal, seperti kebijakan suku bunga di Amerika Serikat atau ketidakpastian global. Ketika tekanan terhadap rupiah meningkat, BI sering kali dihadapkan pada dilema: mempertahankan stabilitas nilai tukar dengan menaikkan suku bunga, atau membiarkan nilai tukar melemah demi mendorong ekspor. Dalam situasi seperti ini, campur tangan politik bisa menjadi penghambat. Tekanan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi jangka pendek sering kali bertolak belakang dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Mitigasi masalah yang juga pelik bagi BI adalah risiko sistem keuangan. Perkembangan teknologi finansial (fintech) dan maraknya kredit online membawa tantangan baru bagi BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Di satu sisi, digitalisasi keuangan membantu meningkatkan inklusi keuangan. Namun, di sisi lain, muncul risiko baru berupa kredit macet dan shadow banking yang sulit diawasi.

Untuk menghadapi populisme ekonomi dan tantangan realitas moneter, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia.

(1) Memperkuat Komunikasi Kebijakan
BI perlu meningkatkan transparansi dan komunikasi kebijakannya kepada publik. Ketika kebijakan moneter dijelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, dukungan publik terhadap BI akan meningkat. Misalnya, ketika BI menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, masyarakat perlu memahami bahwa langkah ini diambil demi stabilitas jangka panjang, bukan semata-mata untuk “menghambat pertumbuhan ekonomi”.

(2) Menjaga Sinergi dengan Pemerintah Tanpa Mengorbankan Independensi
Kerja sama antara BI dan pemerintah tetap penting, terutama dalam menghadapi situasi krisis. Namun, sinergi ini harus didasarkan pada prinsip independensi. BI harus tetap berpegang pada mandat utamanya, yaitu menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.

(3) Reformasi Regulasi untuk Menghadapi Tantangan Baru BI perlu memperkuat kerangka regulasi untuk menghadapi risiko baru, seperti digitalisasi keuangan dan shadow banking. Dengan demikian, BI dapat memastikan bahwa sistem keuangan tetap stabil di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1164 seconds (0.1#10.140)