Jasa Influencer, PKS: Pemerintah Bertanggung Jawab atas Terbelahnya Rakyat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dana sebesar Rp90,45 miliar yang dikucurkan pemerintah sepanjang tahun 2014-2020 terkait anggaran belanja untuk influencer masih menuai polemik. Kali ini, Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf yang mengkritik gelontoran dana tersebut.
(Baca juga: Pemerintah Demam Pakai Influencer, Ini Harganya di Indonesia)
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berpendapat, tindakan pemerintah pusat yang menghabiskan dana sebesar itu sebagai bentuk kemubaziran mengingat masing-masing lembaga atau kementerian telah memiliki bidang kehumasan yang seharusnya bisa dioptimalkan.
(Baca juga: Gunakan Jasa Influencer, Pemerintah Tak Percaya Diri)
"Kita perlu mengapresiasi temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) ini. Temuan ini jelas membuat publik berang. Sebab, akhirnya terkuak bahwa uang mereka selama ini ternyata dihabiskan oleh pemerintah dengan cara yang tidak etis, alias mubazir," kata Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Senin (31/8/2020).
(Baca juga: Pemerintah Diminta Ungkap Influencer yang Mendapat Anggaran Publik)
Menurut dia, pemerintah tidak percaya diri dengan program yang telah mereka susun sehingga harus menyewa influencer untuk membuat publik percaya. Selain itu, Bukhori juga menganggap langkah pemerintah menggandeng influencer sebagai strategi bernegara yang buruk, apalagi apabila dalam rangka menambal kepercayaan publik kepada mereka yang terus merosot dari waktu ke waktu.
Pasalnya, strategi itu ironisnya menimbulkan dampak eksesif di tengah masyarakat. Bukhori menambahkan, sebenarnya kinerja pemerintah yang terus merosot berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan publik yang kian menurun.
"Alhasil, pemerintah kalang kabut sehingga mengambil shortcut dengan menggunakan influencer untuk memperbaiki public trust. Ironisnya, dampak yang terjadi justru fatal. Masyarakat kian terbelah dengan hadirnya influencer alias buzzer yang disponsori oleh negara ini," katanya.
Dia menyesalkan fenomena sosial politik yang terjadi akhir-akhir ini sebagai implikasi negatif dari kehadiran para influencer. Masyarakat yang kritis dan jengah terhadap kebijakan pemerintah yang keliru acapkali dibunuh karakternya melalui para buzzer yang disewa untuk menjaga kepentingan politik.
Tradisi untuk saling menegur dan menasihati antara rakyat dan pemerintah dalam sistem demokrasi semakin terkikis ruangnya akibat kekuasaan yang antikritik. Alhasil, lanjut dia, kekuasaan yang berjalan tanpa kontrol efektif justru akan mengarah pada watak pemerintahan yang otoriter.
"BPK harus segera menindaklanjuti temuan ini. KPK juga harus turun tangan karena kuat dugaan terjadi penyelewengan anggaran oleh pemerintah terkait dana untuk influencer ini. Secepatnya, pemerintah harus menghentikan program ini dan harus bertanggungjawab atas terbelahnya masyarakat akibat ulah influencer," pungkasnya.
(Baca juga: Pemerintah Demam Pakai Influencer, Ini Harganya di Indonesia)
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berpendapat, tindakan pemerintah pusat yang menghabiskan dana sebesar itu sebagai bentuk kemubaziran mengingat masing-masing lembaga atau kementerian telah memiliki bidang kehumasan yang seharusnya bisa dioptimalkan.
(Baca juga: Gunakan Jasa Influencer, Pemerintah Tak Percaya Diri)
"Kita perlu mengapresiasi temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) ini. Temuan ini jelas membuat publik berang. Sebab, akhirnya terkuak bahwa uang mereka selama ini ternyata dihabiskan oleh pemerintah dengan cara yang tidak etis, alias mubazir," kata Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Senin (31/8/2020).
(Baca juga: Pemerintah Diminta Ungkap Influencer yang Mendapat Anggaran Publik)
Menurut dia, pemerintah tidak percaya diri dengan program yang telah mereka susun sehingga harus menyewa influencer untuk membuat publik percaya. Selain itu, Bukhori juga menganggap langkah pemerintah menggandeng influencer sebagai strategi bernegara yang buruk, apalagi apabila dalam rangka menambal kepercayaan publik kepada mereka yang terus merosot dari waktu ke waktu.
Pasalnya, strategi itu ironisnya menimbulkan dampak eksesif di tengah masyarakat. Bukhori menambahkan, sebenarnya kinerja pemerintah yang terus merosot berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan publik yang kian menurun.
"Alhasil, pemerintah kalang kabut sehingga mengambil shortcut dengan menggunakan influencer untuk memperbaiki public trust. Ironisnya, dampak yang terjadi justru fatal. Masyarakat kian terbelah dengan hadirnya influencer alias buzzer yang disponsori oleh negara ini," katanya.
Dia menyesalkan fenomena sosial politik yang terjadi akhir-akhir ini sebagai implikasi negatif dari kehadiran para influencer. Masyarakat yang kritis dan jengah terhadap kebijakan pemerintah yang keliru acapkali dibunuh karakternya melalui para buzzer yang disewa untuk menjaga kepentingan politik.
Tradisi untuk saling menegur dan menasihati antara rakyat dan pemerintah dalam sistem demokrasi semakin terkikis ruangnya akibat kekuasaan yang antikritik. Alhasil, lanjut dia, kekuasaan yang berjalan tanpa kontrol efektif justru akan mengarah pada watak pemerintahan yang otoriter.
"BPK harus segera menindaklanjuti temuan ini. KPK juga harus turun tangan karena kuat dugaan terjadi penyelewengan anggaran oleh pemerintah terkait dana untuk influencer ini. Secepatnya, pemerintah harus menghentikan program ini dan harus bertanggungjawab atas terbelahnya masyarakat akibat ulah influencer," pungkasnya.
(maf)