Perppu Reformasi Keuangan: Upaya Mendegradasi BI dan OJK

Senin, 31 Agustus 2020 - 06:13 WIB
loading...
A A A
Sementara para politisi, yang untuk mendapatkan kekuasaan harus melalui perjuangan memenangkan suara hati pemilih, dalam banyak hal kalah kuasa dibandingkan para profesional dalam mengatur sumber daya ekonomi. Makanya politisi, dimana saja, ingin menguasai segala aspek. Kita bisa lihat yang terjadi di lembaga negara tertentu dimana mantan politisi telah menjadi pimpinan mayoritas. Apakah Perppu ini akan menjadi jalan masuk bagi mereka, sejarah akan membuktikannya.

Sejujurnya, penanganan krisis ekonomi akibat Covid-19 saat ini kurang efektif sebenarnya lebih banyak akibat kegagalan dalam optimalisasi Belanja Pemerintah. Anggaran tidak atau sulit terserap karena “akuntansi” mengalahkan akal sehat. Presiden menyatakan perlunya belanja negara lebih banyak. Di level teknis semua takut karena salah akuntansi, penjara akibatnya. Sistem dan prosedur akuntansi anggaran telah membuatnya menjadi “sumber kemacetan” bagi proses belanja negara. Bahkan akuntasi keuangan pemerintah bisa mengubah kebenaran esensi sebagai suatu kesalahan dan sebaliknya kesalahan yang esensial seolah menjadi benar. Bagi para Direktur Jenderal, lebih baik dimarahi Menteri atau Presiden daripada melanggar “akuntansi”.

Kondisi Sektor Keuangan
Pandemi Covid-19 telah membuat kegiatan ekonomi seolah berhenti mendadak sehingga pertumbuhan ekonomi diperkirakan tahun ini akan negatif 5,3%. Pertumbuhan negatif tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi hampir semua negara. Eropa diperkirakan tumbuh -7%, Amerika -6% dan Jepang -5.3%. Di Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi negatif juga terjadi di Filipina -16,5%, Singapura -13,2%. Hanya China dan Vietnam yang akan menikmati pertumbuhan positif.

Sektor keuangan secara umum terimbas oleh krisis. Namun likuiditas perbankan secara keseluruhan masih aman. Ketersedian alat likuid dibanding simpanan non inti (NCD) masih berkisar 128%. Artinya alat likuid yang tersedia lebih besar 28% dari seluruh simpanan non inti. Namun demikian pada bank buku 1 kondisinya terus memburuk imbas pandemi ini. Sementara, dari sisi perkreditan terjadi kenaikan NPL yaitu 3,22% (gross). Ini tentu tidak boleh dibaca sesederhana itu. Seperti diketahui OJK melalui regulasiya yaitu Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 membuat sistem pelaporan risiko kredit berubah. Tujuan POJK tersebut adalah sebagai stimulus bagi perbankan yang sedang menghadapi kondisi pandemi.

Pertumbuhan kredit masih rendah dan ini wajar karena bank menahan kredit sementara debitur juga enggan pinjam karena ketidakpastian yang tinggi. Walaupun secara umum Kredit mengalami pertumbuhan positif, namun daerah dengan kasus Covid-19 besar seperti Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan pertumbuhan kredit terdampak serius sehingga negatif.

Yang sedikit mengejutkan adalah fakta laju pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) relatif stabil pada kisaran 8,53%. Sayangnya, ini juga membuka fakta dualisme ekonomi kita. Saat pandemi ini nilai tabungan kecil menurun sementara tabungan kelompok di atas Rp1 miliar meningkat sebagai imbas korona karena mereka tidak bisa belanja dan berkonsumsi secara normal sehingga tabungan meningkat.

Secara umum sinergi kebijakan BI dan OJK dalam menjaga stabilitas sistem keuangan cukup memadai. Untuk menjaga likuiditas perekonomian banyak langkah telah dilakukan BI di antaranya pelonggaran likuiditas dengan kebijakan penciptaan uang (Quantitative Easing) seperti pembelian SBN oleh BI. Kebijakan ini adalah pengorbanan besar bagi otoritas moneter. Untuk mendukung stabilitas suku bunga, BI juga menurunkan Policy Rate BI Seven Day Repo Rate (BI7DRR) sebesar 0,75% menjadi 4%. Sekarang GWM menjadi 2% untuk bank konvensional dan 0,5% untuk bank syariah. Dalam rangka menjadi likuditas Penyangga Likuiditas Makroprudential (PLM) naik menjadi 6% bagi bank konvensional dan 4,5% bagi bank syariah.

Sementara itu problem penyerapan anggaran APBN masih tidak ada perkembangan signifikan. Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) secara rata rata berkisar 21%. Bahkan ada Kementerian yang baru membelanjakan 0,86% sementara yang tertinggi 25,26%. Sebagai instrumen penting untuk pemulihan ekonomi nasional maka lambatnya penggunaan anggaran membuat konstraksi ekonomi makin parah. Semoga Presiden menyadari permasalahan saat ini bersumber dari birokrasi sisi pemerintah bukan pada otoritas keuangan sehingga mereka lebih layak direformasi.
(ras)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0786 seconds (0.1#10.140)