Banjir Gerus Bisnis Ritel

Sabtu, 04 Januari 2020 - 08:00 WIB
Banjir Gerus Bisnis Ritel
Banjir Gerus Bisnis Ritel
A A A
BANJIR yang menggenangi sebagian wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) sekaligus penanda memasuki 2020 ternyata juga ikut “menggerus” pengunjung pusat perbelanjaan. Khusus untuk kawasan Jakarta, pengurus Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) membeberkan terjadi penurunan sekitar 30% pengunjung pusat perbelanjaan dalam tiga hari terakhir ini.

Pengunjung yang masih menyempatkan ke pusat perbelanjaan lebih fokus pada penjualan makanan dan minuman ketimbang penjualan fashion. Banjir yang melanda wilayah Jabodetabek memang sebuah pukulan telak bisnis ritel dan pusat perbelanjaan yang selama ini bisa mengeruk keuntungan di musim libur seperti libur Natal dan Tahun Baru. Apa boleh buat, perhatian masyarakat yang terkena musibah banjir sibuk menyelamatkan diri dan harta benda yang ikut terendam.

Lalu, berapa prediksi kerugian yang diderita oleh para pebisnis ritel? Mengutip dari keterangan Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, setidaknya pebisnis ritel di Jakarta menderita kerugian sekitar Rp960 miliar. Dari mana didapat angka kerugian sebesar itu? Perhitungannya sederhana berdasarkan eskalasi jumlah toko ritel yang terpaksa tutup akibat banjir.

Untuk Jakarta tak kurang dari 300 toko yang tidak buka dengan asumsi pengeluaran belanja terkecil sebesar Rp100.000 dikali sebanyak 32.000 jiwa terdampak langsung banjir. Banjir yang menyapu hampir merata di wilayah Jakarta telah menenggelamkan keuntungan para pebisnis ritel yang selalu panen pada periode Natal dan Tahun Baru.

Selain bisnis ritel, yang paling terpukul akibat banjir juga sektor usaha logistik. Hal itu disebabkan perusahaan pengangkutan tidak bisa beroperasi maksimal, lantas sejumlah infrastruktur jalanan hingga bandar udara (bandara) seperti Bandara Halim Perdana Kusuma di Jakarta Timur tergenang air sehingga aktivitas penerbangan pada 1 Januari 2020 berhenti total. Dan, sebagian besar aset sektor logistik mengalami kerusakan terendam banjir yang berujung pada beban perbaikan dan pemeliharaan yang tinggi. Sayangnya, di antara sektor bisnis yang dipastikan mengalami kerugian diterjang banjir belum ada angka pasti, baru sebatas taksiran terutama dari pihak asosiasi.

Begitu pula dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang masih mengumpulkan informasi, terutama dari laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), seberapa besar kerugian yang timbul dari banjir yang sempat merendam selama dua hari pada titik rawan banjir di Jakarta dan Bekasi. Mengutip data yang dirilis BNPB pada Kamis (2/1) siang, terdapat sebanyak 62.442 orang mengungsi akibat banjir sejak Rabu (1/1) dini hari, dan tersebar pada 302 lokasi pengungsian di seluruh Jakarta. Lokasi pengungsian terpadat berada di Cipinang Melayu, Jakarta Timur dan Cengkareng, Jakarta Barat.

Di tengah kondisi dan situasi masyarakat korban banjir berjibaku menyelamatkan diri dan harta benda. Para elite malah berpolemik seputar program dan cara menangani banjir selama ini di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ngotot dengan konsep naturalisasi, sementara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono tetap mempertahankan program normalisasi sungai. Faktanya, dua program tersebut tidak ada yang berjalan sebagaimana mestinya.

Program naturalisasi yang menjadi andalan Anies Baswedan didefinisikan sebagai sebuah cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau, memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir dan konservasi. Sementara itu, program normalisasi yang sudah berjalan sebelum Anies menjadi orang nomor satu di Pemda DKI Jakarta terhenti sejak 2018.

Target normalisasi sungai sepanjang 33 kilometer baru terealisasi sepanjang 16 kilometer karena terkendala pembebasan lahan yang menjadi tanggung jawab Pemda DKI Jakarta. Saat ini terdapat 13 aliran sungai yang mengalir di Jakarta dan Ciliwung adalah sungai terbesar. Di mata Basuki bahwa konsep naturalisasi masih perlu dijabarkan menjadi bahasa yang lebih teknis.

Semua orang paham bahwa persoalan utama sungai di Jakarta adalah pendangkalan dan penyempitan yang sangat parah. Lebar sungai di Jakarta rata-rata menyusut dari sekitar 50 meter menjadi hanya 15 meter. Pengerukan sungai dan hunian padat di bantaran kali adalah inti dari penataan sungai untuk mengatasi banjir.

Karena itu, pengerukan sungai dan hunian yang melanggar aturan mutlak direlokasi. Bukan menyuburkan polemik antara program naturalisasi yang diusung Pemda DKI Jakarta dan program normalisasi yang sudah dijalankan pemerintah pusat, namun macet.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3245 seconds (0.1#10.140)