Produktivitas UMKM, Kunci
loading...
A
A
A
Vietnam telah menempatkan UMKM dalam posisi strategis melalui pengembangan klaster UMKM yang berfokus pada ekspor dan industri global.
Sementara itu, Indonesia pun memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), namun efektivitasnya dalam mendorong UMKM sebagai bagian dari rantai pasok global masih rendah. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2024, hanya sekitar 10% dari UMKM di KEK yang terhubung dalam rantai pasok internasional.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya integrasi yang kuat antara UMKM lokal dan perusahaan multinasional yang berada di kawasan tersebut. Selain itu, dukungan teknologi dan akses pasar internasional yang terbatas menjadi kendala yang signifikan bagi UMKM di dalam KEK.
Situasi ini menyebabkan produktivitas per pekerja di sektor UMKM berada di level rendah dibandingkan dengan sektor usaha besar. Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah keterbatasan keterampilan atau skill tenaga kerja di sektor UMKM, yang berpengaruh pada efisiensi dan daya saing produk yang dihasilkan.
Berdasarkan teori human capital dari Gary Becker, rendahnya skill atau keterampilan tenaga kerja berdampak langsung pada rendahnya produktivitas mereka.
Banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal keterampilan (skill) dan pemanfaatan teknologi. Keterbatasan skill ini mencakup minimnya keahlian dalam mengelola bisnis secara efisien, penguasaan pemasaran digital, serta kurangnya keterampilan untuk menciptakan inovasi produk.
Selain itu, rendahnya adopsi teknologi modern memperlambat otomatisasi dan digitalisasi dalam proses produksi dan pemasaran. Tanpa keterampilan yang memadai dan teknologi yang relevan, UMKM kesulitan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing produknya, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya nilai tambah yang mereka hasilkan.
Akibat dari berbagai keterbatasan ini, produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM sering kali tidak mampu bersaing di pasar yang lebih luas atau memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin kompleks. Misalnya, survei Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% UMKM di Indonesia yang memanfaatkan teknologi digital dalam operasional mereka.
Rendahnya adopsi teknologi ini membuat UMKM tertinggal dari pesaing mereka yang sudah lebih maju secara digital, sehingga sulit untuk meningkatkan skala usaha dan efisiensi produksi. Dalam situasi seperti ini, produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM kurang memiliki nilai tambah yang bisa menarik minat pasar lebih luas.
Lebih lanjut, jika UMKM tidak mampu meningkatkan keterampilan dan adopsi teknologi, para UMKM akan cenderung bersifat self-sufficient, hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal tanpa berpotensi untuk berekspansi.
Sementara itu, Indonesia pun memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), namun efektivitasnya dalam mendorong UMKM sebagai bagian dari rantai pasok global masih rendah. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2024, hanya sekitar 10% dari UMKM di KEK yang terhubung dalam rantai pasok internasional.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya integrasi yang kuat antara UMKM lokal dan perusahaan multinasional yang berada di kawasan tersebut. Selain itu, dukungan teknologi dan akses pasar internasional yang terbatas menjadi kendala yang signifikan bagi UMKM di dalam KEK.
Serba-Serbi Rendahnya Produktivitas UMKM Indonesia
Paul Krugman, seorang ekonom, menyebutkan bahwa produktivitas adalah kunci utama bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga bagi UMKM, tanpa peningkatan produktivitas, UMKM tidak akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pasalnya, berdasarkan data dari Bank Dunia (World Bank) 2024, sekitar 70% tenaga kerja di sektor UMKM di Indonesia belum memiliki keterampilan formal yang memadai.Situasi ini menyebabkan produktivitas per pekerja di sektor UMKM berada di level rendah dibandingkan dengan sektor usaha besar. Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah keterbatasan keterampilan atau skill tenaga kerja di sektor UMKM, yang berpengaruh pada efisiensi dan daya saing produk yang dihasilkan.
Berdasarkan teori human capital dari Gary Becker, rendahnya skill atau keterampilan tenaga kerja berdampak langsung pada rendahnya produktivitas mereka.
Banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal keterampilan (skill) dan pemanfaatan teknologi. Keterbatasan skill ini mencakup minimnya keahlian dalam mengelola bisnis secara efisien, penguasaan pemasaran digital, serta kurangnya keterampilan untuk menciptakan inovasi produk.
Selain itu, rendahnya adopsi teknologi modern memperlambat otomatisasi dan digitalisasi dalam proses produksi dan pemasaran. Tanpa keterampilan yang memadai dan teknologi yang relevan, UMKM kesulitan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing produknya, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya nilai tambah yang mereka hasilkan.
Akibat dari berbagai keterbatasan ini, produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM sering kali tidak mampu bersaing di pasar yang lebih luas atau memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin kompleks. Misalnya, survei Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% UMKM di Indonesia yang memanfaatkan teknologi digital dalam operasional mereka.
Rendahnya adopsi teknologi ini membuat UMKM tertinggal dari pesaing mereka yang sudah lebih maju secara digital, sehingga sulit untuk meningkatkan skala usaha dan efisiensi produksi. Dalam situasi seperti ini, produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM kurang memiliki nilai tambah yang bisa menarik minat pasar lebih luas.
Lebih lanjut, jika UMKM tidak mampu meningkatkan keterampilan dan adopsi teknologi, para UMKM akan cenderung bersifat self-sufficient, hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal tanpa berpotensi untuk berekspansi.