Produktivitas UMKM, Kunci
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan
USAHA Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2024, UMKM di Indonesia mencapai sekitar 64,2 juta unit usaha, atau sekitar 99% dari total unit usaha di tanah air.
Tak hanya berkontribusi besar dalam jumlah unit, UMKM juga menjadi sumber lapangan kerja utama, dengan total pekerja yang terlibat mencapai lebih dari 120 juta orang atau sekitar 97% dari total tenaga kerja nasional.
Akan tetapi, meski kontribusi mereka terhadap penyerapan tenaga kerja tinggi, kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru mencapai sekitar 61% dari total PDB. Hal ini menunjukkan besarnya potensi yang dimiliki UMKM namun belum sepenuhnya terealisasi dalam kontribusi ekonomi secara nasional.
Ironisnya, meski mendominasi jumlah unit usaha, UMKM di Indonesia menghadapi kendala signifikan dalam upaya “naik kelas.” Menurut data dari Bank Indonesia tahun 2024, hanya sekitar 20% UMKM yang berhasil mengembangkan usahanya menjadi skala yang lebih besar dalam kurun lima tahun terakhir.
Tantangan yang dihadapi, seperti keterbatasan akses pembiayaan, minimnya kemampuan manajemen, dan kurangnya penetrasi ke pasar ekspor, menjadikan UMKM sering kali stagnan dan tetap berada di kelas mikro atau kecil.
Situasi ini menunjukkan bahwa UMKM di Indonesia belum mampu menjadi pemain utama dalam industri nasional maupun global, meski pemerintah telah menerapkan sejumlah program pengembangan.
Di sisi lain, Vietnam menjadi salah satu contoh negara Asia Tenggara yang berhasil mengembangkan UMKM sebagai bagian dari rantai pasok global. Dalam sepuluh tahun terakhir, menurut laporan dari Asian Development Bank (ADB) 2024, pertumbuhan UMKM di Vietnam secara konsisten mencapai lebih dari 6% per tahun.
Pemerintah Vietnam berhasil mengecilkan ketimpangan antar daerah dengan strategi peningkatan infrastruktur, pemberian subsidi kredit, dan dorongan kuat terhadap adopsi teknologi digital di kalangan UMKM.
Selain itu, Vietnam juga menerapkan kebijakan klasterisasi UMKM yang memungkinkan produk-produk mereka terintegrasi dalam rantai pasok global, terutama di sektor elektronik, tekstil, dan otomotif.
Vietnam telah menempatkan UMKM dalam posisi strategis melalui pengembangan klaster UMKM yang berfokus pada ekspor dan industri global.
Sementara itu, Indonesia pun memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), namun efektivitasnya dalam mendorong UMKM sebagai bagian dari rantai pasok global masih rendah. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2024, hanya sekitar 10% dari UMKM di KEK yang terhubung dalam rantai pasok internasional.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya integrasi yang kuat antara UMKM lokal dan perusahaan multinasional yang berada di kawasan tersebut. Selain itu, dukungan teknologi dan akses pasar internasional yang terbatas menjadi kendala yang signifikan bagi UMKM di dalam KEK.
Situasi ini menyebabkan produktivitas per pekerja di sektor UMKM berada di level rendah dibandingkan dengan sektor usaha besar. Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah keterbatasan keterampilan atau skill tenaga kerja di sektor UMKM, yang berpengaruh pada efisiensi dan daya saing produk yang dihasilkan.
Berdasarkan teori human capital dari Gary Becker, rendahnya skill atau keterampilan tenaga kerja berdampak langsung pada rendahnya produktivitas mereka.
Banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal keterampilan (skill) dan pemanfaatan teknologi. Keterbatasan skill ini mencakup minimnya keahlian dalam mengelola bisnis secara efisien, penguasaan pemasaran digital, serta kurangnya keterampilan untuk menciptakan inovasi produk.
Selain itu, rendahnya adopsi teknologi modern memperlambat otomatisasi dan digitalisasi dalam proses produksi dan pemasaran. Tanpa keterampilan yang memadai dan teknologi yang relevan, UMKM kesulitan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing produknya, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya nilai tambah yang mereka hasilkan.
Akibat dari berbagai keterbatasan ini, produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM sering kali tidak mampu bersaing di pasar yang lebih luas atau memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin kompleks. Misalnya, survei Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% UMKM di Indonesia yang memanfaatkan teknologi digital dalam operasional mereka.
Rendahnya adopsi teknologi ini membuat UMKM tertinggal dari pesaing mereka yang sudah lebih maju secara digital, sehingga sulit untuk meningkatkan skala usaha dan efisiensi produksi. Dalam situasi seperti ini, produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM kurang memiliki nilai tambah yang bisa menarik minat pasar lebih luas.
Lebih lanjut, jika UMKM tidak mampu meningkatkan keterampilan dan adopsi teknologi, para UMKM akan cenderung bersifat self-sufficient, hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal tanpa berpotensi untuk berekspansi.
UMKM dengan keterbatasan ini akan lebih rentan terhadap persaingan ketat di pasar yang lebih luas. Misalnya, ketika ada pesaing yang mampu menawarkan produk dengan harga lebih murah atau kualitas lebih tinggi, maka UMKM lokal akan sulit bertahan.
Kurangnya kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah produk membuat mereka cenderung kalah saing di pasar, bahkan di tingkat lokal.
UMKM di Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Meski demikian, untuk dapat berkompetisi di era globalisasi dan memenuhi permintaan pasar yang kian dinamis, diperlukan berbagai solusi strategis.
Salah satu solusi utama adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Kualitas SDM yang tinggi memungkinkan pelaku UMKM untuk lebih efektif dalam menjalankan bisnisnya, mulai dari manajemen keuangan hingga strategi pemasaran.
Pun program pelatihan keterampilan bisnis dan pengembangan kapasitas digital yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan SDM di UMKM dapat membantu mereka beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan bersaing dengan lebih baik.
Selain peningkatan kualitas SDM, penerapan teknologi yang tepat juga menjadi hal yang sangat penting bagi UMKM agar bisa meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk mereka. UMKM dapat lebih efisien dalam memproses input menjadi output berkualitas tinggi hanya melalui penerapan teknologi yang tepat.
Hal ini tidak hanya meningkatkan efisiensi biaya tetapi juga daya saing produk di pasar. Misalnya, penerapan teknologi digital dalam proses produksi dan pemasaran dapat membantu UMKM dalam memperluas akses ke pasar internasional.
UMKM yang telah memiliki kemampuan dan daya saing tinggi juga dapat mempertimbangkan untuk menjalin kerja sama atau perjanjian (MoU) dengan mitra internasional, memungkinkan mereka untuk masuk ke dalam rantai pasok global yang lebih luas.
Pemerintah juga memiliki peran besar dalam mendukung perkembangan UMKM melalui regulasi yang inovatif. Kebijakan yang mempermudah akses perizinan dan mempercepat prosesnya menjadi penting agar UMKM tidak terhambat dalam mengembangkan usahanya.
Proses perizinan yang cepat dan mudah akan memberikan kepastian bagi pelaku UMKM, sehingga mereka lebih fokus pada operasional bisnis dan ekspansi.
Selain itu, pemerintah dapat membuat regulasi yang mendukung UMKM untuk mengadopsi teknologi dan memperbaiki kualitas SDM mereka. Misalnya melalui subsidi atau insentif khusus bagi UMKM yang aktif dalam pelatihan dan digitalisasi.
Kepastian usaha yang diberikan melalui regulasi yang konsisten dan terintegrasi juga sangat penting bagi keberlanjutan UMKM. Regulasi yang memberikan kepastian usaha menciptakan lingkungan yang stabil dan kondusif bagi UMKM untuk berkembang.
Kebijakan yang konsisten akan meningkatkan kepercayaan para pelaku UMKM, karena mereka tahu bahwa upaya dan investasi yang mereka tanamkan tidak akan terganggu oleh perubahan kebijakan yang mendadak.
Ini penting terutama bagi UMKM yang ingin berinvestasi dalam teknologi baru atau memperluas jangkauan pasar, baik domestik maupun internasional.
Sejatinya UMKM di Indonesia memiliki peluang besar untuk naik kelas dan bersaing di pasar yang lebih luas melalui sinergi antara peningkatan kualitas SDM, penerapan teknologi yang tepat, dan regulasi pemerintah yang mendukung.
Peningkatan nilai tambah produk melalui inovasi dan efisiensi produksi dapat menjadikan UMKM tak hanya self-sufficient, melainkan juga menjadi pemain penting di tingkat nasional dan global.
Oleh sebab itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan pelaku UMKM sendiri akan menjadi kunci sukses untuk mewujudkan potensi besar ini. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan
USAHA Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2024, UMKM di Indonesia mencapai sekitar 64,2 juta unit usaha, atau sekitar 99% dari total unit usaha di tanah air.
Tak hanya berkontribusi besar dalam jumlah unit, UMKM juga menjadi sumber lapangan kerja utama, dengan total pekerja yang terlibat mencapai lebih dari 120 juta orang atau sekitar 97% dari total tenaga kerja nasional.
Akan tetapi, meski kontribusi mereka terhadap penyerapan tenaga kerja tinggi, kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru mencapai sekitar 61% dari total PDB. Hal ini menunjukkan besarnya potensi yang dimiliki UMKM namun belum sepenuhnya terealisasi dalam kontribusi ekonomi secara nasional.
Ironisnya, meski mendominasi jumlah unit usaha, UMKM di Indonesia menghadapi kendala signifikan dalam upaya “naik kelas.” Menurut data dari Bank Indonesia tahun 2024, hanya sekitar 20% UMKM yang berhasil mengembangkan usahanya menjadi skala yang lebih besar dalam kurun lima tahun terakhir.
Tantangan yang dihadapi, seperti keterbatasan akses pembiayaan, minimnya kemampuan manajemen, dan kurangnya penetrasi ke pasar ekspor, menjadikan UMKM sering kali stagnan dan tetap berada di kelas mikro atau kecil.
Situasi ini menunjukkan bahwa UMKM di Indonesia belum mampu menjadi pemain utama dalam industri nasional maupun global, meski pemerintah telah menerapkan sejumlah program pengembangan.
Di sisi lain, Vietnam menjadi salah satu contoh negara Asia Tenggara yang berhasil mengembangkan UMKM sebagai bagian dari rantai pasok global. Dalam sepuluh tahun terakhir, menurut laporan dari Asian Development Bank (ADB) 2024, pertumbuhan UMKM di Vietnam secara konsisten mencapai lebih dari 6% per tahun.
Pemerintah Vietnam berhasil mengecilkan ketimpangan antar daerah dengan strategi peningkatan infrastruktur, pemberian subsidi kredit, dan dorongan kuat terhadap adopsi teknologi digital di kalangan UMKM.
Selain itu, Vietnam juga menerapkan kebijakan klasterisasi UMKM yang memungkinkan produk-produk mereka terintegrasi dalam rantai pasok global, terutama di sektor elektronik, tekstil, dan otomotif.
Vietnam telah menempatkan UMKM dalam posisi strategis melalui pengembangan klaster UMKM yang berfokus pada ekspor dan industri global.
Sementara itu, Indonesia pun memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), namun efektivitasnya dalam mendorong UMKM sebagai bagian dari rantai pasok global masih rendah. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2024, hanya sekitar 10% dari UMKM di KEK yang terhubung dalam rantai pasok internasional.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya integrasi yang kuat antara UMKM lokal dan perusahaan multinasional yang berada di kawasan tersebut. Selain itu, dukungan teknologi dan akses pasar internasional yang terbatas menjadi kendala yang signifikan bagi UMKM di dalam KEK.
Serba-Serbi Rendahnya Produktivitas UMKM Indonesia
Paul Krugman, seorang ekonom, menyebutkan bahwa produktivitas adalah kunci utama bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga bagi UMKM, tanpa peningkatan produktivitas, UMKM tidak akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pasalnya, berdasarkan data dari Bank Dunia (World Bank) 2024, sekitar 70% tenaga kerja di sektor UMKM di Indonesia belum memiliki keterampilan formal yang memadai.Situasi ini menyebabkan produktivitas per pekerja di sektor UMKM berada di level rendah dibandingkan dengan sektor usaha besar. Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah keterbatasan keterampilan atau skill tenaga kerja di sektor UMKM, yang berpengaruh pada efisiensi dan daya saing produk yang dihasilkan.
Berdasarkan teori human capital dari Gary Becker, rendahnya skill atau keterampilan tenaga kerja berdampak langsung pada rendahnya produktivitas mereka.
Banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal keterampilan (skill) dan pemanfaatan teknologi. Keterbatasan skill ini mencakup minimnya keahlian dalam mengelola bisnis secara efisien, penguasaan pemasaran digital, serta kurangnya keterampilan untuk menciptakan inovasi produk.
Selain itu, rendahnya adopsi teknologi modern memperlambat otomatisasi dan digitalisasi dalam proses produksi dan pemasaran. Tanpa keterampilan yang memadai dan teknologi yang relevan, UMKM kesulitan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing produknya, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya nilai tambah yang mereka hasilkan.
Akibat dari berbagai keterbatasan ini, produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM sering kali tidak mampu bersaing di pasar yang lebih luas atau memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin kompleks. Misalnya, survei Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% UMKM di Indonesia yang memanfaatkan teknologi digital dalam operasional mereka.
Rendahnya adopsi teknologi ini membuat UMKM tertinggal dari pesaing mereka yang sudah lebih maju secara digital, sehingga sulit untuk meningkatkan skala usaha dan efisiensi produksi. Dalam situasi seperti ini, produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM kurang memiliki nilai tambah yang bisa menarik minat pasar lebih luas.
Lebih lanjut, jika UMKM tidak mampu meningkatkan keterampilan dan adopsi teknologi, para UMKM akan cenderung bersifat self-sufficient, hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal tanpa berpotensi untuk berekspansi.
UMKM dengan keterbatasan ini akan lebih rentan terhadap persaingan ketat di pasar yang lebih luas. Misalnya, ketika ada pesaing yang mampu menawarkan produk dengan harga lebih murah atau kualitas lebih tinggi, maka UMKM lokal akan sulit bertahan.
Kurangnya kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah produk membuat mereka cenderung kalah saing di pasar, bahkan di tingkat lokal.
Solusi Menuju UMKM Berdaya Saing
UMKM di Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Meski demikian, untuk dapat berkompetisi di era globalisasi dan memenuhi permintaan pasar yang kian dinamis, diperlukan berbagai solusi strategis.
Salah satu solusi utama adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Kualitas SDM yang tinggi memungkinkan pelaku UMKM untuk lebih efektif dalam menjalankan bisnisnya, mulai dari manajemen keuangan hingga strategi pemasaran.
Pun program pelatihan keterampilan bisnis dan pengembangan kapasitas digital yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan SDM di UMKM dapat membantu mereka beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan bersaing dengan lebih baik.
Selain peningkatan kualitas SDM, penerapan teknologi yang tepat juga menjadi hal yang sangat penting bagi UMKM agar bisa meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk mereka. UMKM dapat lebih efisien dalam memproses input menjadi output berkualitas tinggi hanya melalui penerapan teknologi yang tepat.
Hal ini tidak hanya meningkatkan efisiensi biaya tetapi juga daya saing produk di pasar. Misalnya, penerapan teknologi digital dalam proses produksi dan pemasaran dapat membantu UMKM dalam memperluas akses ke pasar internasional.
UMKM yang telah memiliki kemampuan dan daya saing tinggi juga dapat mempertimbangkan untuk menjalin kerja sama atau perjanjian (MoU) dengan mitra internasional, memungkinkan mereka untuk masuk ke dalam rantai pasok global yang lebih luas.
Pemerintah juga memiliki peran besar dalam mendukung perkembangan UMKM melalui regulasi yang inovatif. Kebijakan yang mempermudah akses perizinan dan mempercepat prosesnya menjadi penting agar UMKM tidak terhambat dalam mengembangkan usahanya.
Proses perizinan yang cepat dan mudah akan memberikan kepastian bagi pelaku UMKM, sehingga mereka lebih fokus pada operasional bisnis dan ekspansi.
Selain itu, pemerintah dapat membuat regulasi yang mendukung UMKM untuk mengadopsi teknologi dan memperbaiki kualitas SDM mereka. Misalnya melalui subsidi atau insentif khusus bagi UMKM yang aktif dalam pelatihan dan digitalisasi.
Kepastian usaha yang diberikan melalui regulasi yang konsisten dan terintegrasi juga sangat penting bagi keberlanjutan UMKM. Regulasi yang memberikan kepastian usaha menciptakan lingkungan yang stabil dan kondusif bagi UMKM untuk berkembang.
Kebijakan yang konsisten akan meningkatkan kepercayaan para pelaku UMKM, karena mereka tahu bahwa upaya dan investasi yang mereka tanamkan tidak akan terganggu oleh perubahan kebijakan yang mendadak.
Ini penting terutama bagi UMKM yang ingin berinvestasi dalam teknologi baru atau memperluas jangkauan pasar, baik domestik maupun internasional.
Sejatinya UMKM di Indonesia memiliki peluang besar untuk naik kelas dan bersaing di pasar yang lebih luas melalui sinergi antara peningkatan kualitas SDM, penerapan teknologi yang tepat, dan regulasi pemerintah yang mendukung.
Peningkatan nilai tambah produk melalui inovasi dan efisiensi produksi dapat menjadikan UMKM tak hanya self-sufficient, melainkan juga menjadi pemain penting di tingkat nasional dan global.
Oleh sebab itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan pelaku UMKM sendiri akan menjadi kunci sukses untuk mewujudkan potensi besar ini. Semoga.
(shf)