Buruh Pertanyakan Kewenangan Kemenkes di RPMK Tembakau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (RPMK Tembakau) terus menuai kontroversi. Pasalnya, aturan tersebut dinilai terburu-buru tanpa pembahasan dengan berbagai pihak, serta masuk ke dalam ranah perekonomian yang bukan jadi kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau dan Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mengaku mendapatkan undangan dari Kemenkes untuk pembahasan RPMK Tembakau setelah aksi tersebut. Namun, kemudian dibatalkan secara mendadak oleh Kemenkes.
“Sesuai kesepakatan, kami akan dilibatkan dalam penyusunan Permenkesnya. Tadinya akan dilakukan tanggal 16, tetapi diundur hingga pemberitahuan selanjutnya. Selain kemasan polos, aturan mengenai radius 200 meter dari satuan pendidikan dan bermain anak juga harus direvisi,” ungkap Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto, Kamis (17/10/2024).
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengaku tidak mendapatkan undangan dari Kemenkes seperti yang diterima Sudarto. Seharusnya Kemenkes wajib mengundang pihak industri terkait peraturan yang menyangkut industri.
“Kami belum diundang (oleh Kemenkes). Ada informasi bahwa pertemuan yang dimaksud ditunda. Namun, pihak industri wajib diundang karena peraturan ini menyangkut industri,” sesal Benny.
Benny menekankan pihak industri wajib diundang untuk membahas mengenai RPMK Tembakau. Apalagi banyak pasal yang berhubungan erat dengan keberlangsungan industri dan masa depan perekonomian Indonesia.
Sebagai informasi, ribuan massa FSP RTMM SPSI menyampaikan aspirasi di depan Kemenkes untuk menuntut pemerintah agar menghentikan pembahasan RPMK Tembakau sekaligus menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 atau PP Kesehatan.
Massa aksi yang berasal dari Pasuruan, Bekasi, Gresik, Magelang, Blora, Serang, Bogor serta berbagai daerah lain di Indonesia tersebut memohon agar pemerintah mendengarkan masukan yang sudah mereka suarakan sejak lama. Keluhan ini disampaikan lantaran berbagai upaya telah dilakukan tanpa mendapatkan respon yang diharapkan.
Seperti diketahui, PP No. 28 Tahun 2024 sebagai aturan turunan UU Kesehatan turut mengatur mengenai produk tembakau. Salah satu pasal yang dipersoalkan yakni pasal yang mengatur mengenai larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Tidak adanya kejelasan dan definisi serta penindakan lebih lanjut, membuat kekhawatiran akan pemberlakuan aturan ini yang berpotensi semena-mena. Hal ini tercermin pada RMPK Tembakau yang jauh lebih dalam dan ketat mengatur mengenai produk tembakau, yang turut membuat industri berpotensi mengalami kemunduran.
Pasal mengenai kemasan polos menjadi kekhawatiran utama, dengan kemungkinan meningkatnya peredaran rokok ilegal. Padahal, di dalam PP Kesehatan tidak menyebutkan terkait pengaturan kemasan polos. Hal ini yang menimbulkan ketidak percayaan kalangan industri terhadap penyusunan peraturan secara tertutup oleh Kemenkes.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau dan Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mengaku mendapatkan undangan dari Kemenkes untuk pembahasan RPMK Tembakau setelah aksi tersebut. Namun, kemudian dibatalkan secara mendadak oleh Kemenkes.
“Sesuai kesepakatan, kami akan dilibatkan dalam penyusunan Permenkesnya. Tadinya akan dilakukan tanggal 16, tetapi diundur hingga pemberitahuan selanjutnya. Selain kemasan polos, aturan mengenai radius 200 meter dari satuan pendidikan dan bermain anak juga harus direvisi,” ungkap Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto, Kamis (17/10/2024).
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengaku tidak mendapatkan undangan dari Kemenkes seperti yang diterima Sudarto. Seharusnya Kemenkes wajib mengundang pihak industri terkait peraturan yang menyangkut industri.
“Kami belum diundang (oleh Kemenkes). Ada informasi bahwa pertemuan yang dimaksud ditunda. Namun, pihak industri wajib diundang karena peraturan ini menyangkut industri,” sesal Benny.
Benny menekankan pihak industri wajib diundang untuk membahas mengenai RPMK Tembakau. Apalagi banyak pasal yang berhubungan erat dengan keberlangsungan industri dan masa depan perekonomian Indonesia.
Sebagai informasi, ribuan massa FSP RTMM SPSI menyampaikan aspirasi di depan Kemenkes untuk menuntut pemerintah agar menghentikan pembahasan RPMK Tembakau sekaligus menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 atau PP Kesehatan.
Massa aksi yang berasal dari Pasuruan, Bekasi, Gresik, Magelang, Blora, Serang, Bogor serta berbagai daerah lain di Indonesia tersebut memohon agar pemerintah mendengarkan masukan yang sudah mereka suarakan sejak lama. Keluhan ini disampaikan lantaran berbagai upaya telah dilakukan tanpa mendapatkan respon yang diharapkan.
Seperti diketahui, PP No. 28 Tahun 2024 sebagai aturan turunan UU Kesehatan turut mengatur mengenai produk tembakau. Salah satu pasal yang dipersoalkan yakni pasal yang mengatur mengenai larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Tidak adanya kejelasan dan definisi serta penindakan lebih lanjut, membuat kekhawatiran akan pemberlakuan aturan ini yang berpotensi semena-mena. Hal ini tercermin pada RMPK Tembakau yang jauh lebih dalam dan ketat mengatur mengenai produk tembakau, yang turut membuat industri berpotensi mengalami kemunduran.
Pasal mengenai kemasan polos menjadi kekhawatiran utama, dengan kemungkinan meningkatnya peredaran rokok ilegal. Padahal, di dalam PP Kesehatan tidak menyebutkan terkait pengaturan kemasan polos. Hal ini yang menimbulkan ketidak percayaan kalangan industri terhadap penyusunan peraturan secara tertutup oleh Kemenkes.
(cip)