Pilpres Kembali Dipilih MPR, Parpol Saling Tunggu

Jum'at, 29 November 2019 - 11:11 WIB
Pilpres Kembali Dipilih MPR, Parpol Saling Tunggu
Pilpres Kembali Dipilih MPR, Parpol Saling Tunggu
A A A
JAKARTA - Wacana presiden kembali dipilih oleh MPR kembali muncul setelah PBNU menyatakan pemilihan presiden (pilpres) langsung lebih banyak madharat atau dampak negatifnya.

Karena itu, PBNU pun setuju presiden kembali dipilih MPR. Termasuk wacana perpanjangan periodisasi presiden dari sebelumnya maksimal dua periode menjadi tiga periode melalui amandemen UUD 1945.

Partai politik pun menyikapi usulan ini dengan hati-hati. Wacana Pilpres dipilih MPR satu sisi memang menguntungkan parpol. Namun di sisi lain, tingkat resistensi dari publik terutama kalangan masyarakat sipil dipastikan tinggi. Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baedowi mengatakan, munculnya wacana-wacana tersebut merupakan hal yang yang lumrah dalam dinamika politik di negara demokrasi. (Baca juga : PBNU Usul Presiden Dipilih MPR, Puan Sebut Dibahas di Komisi II DPR )

Karena itu, wacana atau evaluasi tersebut tidak perlu ditanggapi dengan reaktif. ”Wajar saja, biasa saja, itu tidak perlu ditanggapi terlalu sinis dan sebagainya. Toh, itu masih wacana yang terus bergulir, belum menjadi keputusan MPR. Tentu saja kami kami di fraksi, khususnya Fraksi PPP, tidak serta merta menyatakan sikap secara terburu-buru tanpa melakukan kajian. Semua masukan, semua aspirasi tentu kita tampung, kita analisis, kita lihat argumentasinya seperti apa,” ujarnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema "Bola Liar Amandemen, Masa Jabatan Presiden Diperpanjang?" di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

Politikus yang akrab disapa Awiek ini mengatakan, sampai saat ini tidak ada dari internal parlemen mewacanakan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. “Tetapi kalau menerima masukan, itu betul. Namanya menerima masukan, wartawan juga boleh memberikan masukan, pengamat politik bisa memberikan masukan, semua elemen bangsa ini bisa memberikan masukan,” katanya.

Begitu pula ketika Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan pilpres sebaiknya dikembalikan ke MPR karena melihat manfaat dan mudharat dari proses pilpres langsung. “Langsung ada yang menanggapi, ‘wah itu kembali ke zaman purba. Ada yang setuju, itu biasa dinamika politik. Namanya orang berpendapat ya boleh-boleh aja. Kalau berpendapat silakan aja, nggak ada masalah yang penting tidak boleh merongrong NKRI,” papar Wasekjen PPP ini.

Awiek mengatakan, wacana amandemen secara terbatas sangat mungkin nantinya meluas. Misalnya kelompok DPD dipastikan ingin menambah kewenangannya. ”Namanya juga amandemen, kecuali ada komitmen awal dari masing-masing fraksi untuk tidak memperlebarkan persoalan. Sudah pasti DPD minta kewenangan bertambah, kan bukan terbatas lagi kalau begitu. Terbatasnya hanya GBHN, DPD-nya minta kewenangannnya ditambah,” urainya. (Baca juga: Wacana Presiden Dipilih MPR Dinilai Mengkhianati Reformasi )

Anggota Fraksi Partai NasDem DPR RI, Syarief Abdullah Alkadrie mengatakan, amandemen bukan persoalan mudah karena menyangkut konstitusi. ”Kita bukan tidak pada posisi menolak atau menyetujui terhadap amandemen ini, tetapi untuk dilakukan amandemen itu tentu harus kita kaji secara menyeluruh sehingga apakah harus kita amandemen secara keseluruhan atau kita amandemen yang terbatas,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Sementara itu Pengamat komunikasi politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, saat ini demokrasi yang ada di Indonesia sebenarnya masih dalam proses menuju atau transisi demokrasi. Jika saat ini muncul wacana perpanjangan masa periodesasi presiden menjadi tiga periode, menurut Ujang, wacana yang berkembang ini harus benar-benar dikawal dan dikritisi.

”Kalau kita tidak hati-hati dalam proses transisi demokrasi ini, kalau kita tidak kawal maka dikhawatirkan itu akan menjadi otoritarian. Inilah yang terjadi di Amerika Latin, demokrasinya gagal, kembali ke otoratier, matilah kita,” ucapnya.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini, wacana menjadikan periodesasi presiden menjadi tiga periode harus dikawal karena upaya melanggengkan kekuasaan akan sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). ”Kalau soal demokrasi berbiaya tinggi, itu harus kita koreksi. Karena sesungguhnya kesinambungan program kerja adalah periode pertama ke jilid kedua. Misalnya Nawacita 1 ke Nawacita 2, itu berkesinambungan. Masa meminta jilid ketiga, kan aneh? Lalu nanti minta jilid empat. Kesinambungan itu satu ke dua, bukan ketiga dan keempat,” urainya.

Karena itu, sebagai upaya memperbaiki bangsa, yang diperlukan bukan dengan melanggengkan kekuasaan. Ujang mengakui bahwa demokrasi di Indonesia sangat mahal. Hal yang sama juga terjadi di Amerika maka disebut demokrasi liberal. ”Dan itu kita adopsi sama “plek’ bahkan lebih liberal. Ini yang harus kita evaluasi sesungguhnya. Wacana inilah yang kita kawal. Membangun transisi demokrasi,” katanya. (Abdul Rochim)

(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4265 seconds (0.1#10.140)