Pilkada 2020, Bawaslu Soroti Netralitas ASN dan Kabar Hoaks

Senin, 25 November 2019 - 19:49 WIB
Pilkada 2020, Bawaslu Soroti Netralitas ASN dan Kabar Hoaks
Pilkada 2020, Bawaslu Soroti Netralitas ASN dan Kabar Hoaks
A A A
BANTEN - Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap masih menjadi fokus Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada perhelatan Pilkada serentak 2020 mendatang.

Tidak hanya netralitas ASN, Bawaslu juga memfokuskan diri terhadap pengawasan politik uang dan berita bohong (hoaks)

Seperti diketahui, terdapat empat kabupaten/kota di Banten yang akan menyelenggarakan Pilkada 2020, yaitu Kota Cilegon, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang.

Secara nasional, tercatat 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak pada 2020 mendatang.

Komisioner Bawaslu RI Fritz Edward Siregar mengatakan, setidaknya terdapat tiga segmentasi yang masih menjadi fokus pengawasan Bawaslu pada pilkada serentak yaitu, netralitas ASN, TNI dan Polri, poltik uang dan ujaran kebencian (hoaks).

“Kita melihat dari beberapa Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang lalu, dugaan adanya netralitas ASN, TNI dan Polri, poltik uang dan hoaks masih mendominasi pelanggaran pidana pemilu pada Pemilu 2020,” ujar Fritz ditemui usai menjadi narasumber pada acara eksaminasi Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Pemilu di Hotel Grand Krakatau, Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten, Senin (25/11/2019).

Saat ditanya IKP untuk Pilkada 2020 mendatang, Fritz mengaku belum bisa menyebut apa saja yang menjadi indikator kerawanan pemilu. Ia beralasan, dalam menentukan IKP harus melakukan survey ke lapangan.

“Saya belum bisa banyak omong. Karena kita harus melihat data dari daerah. Kita harus turun ke lapangan, interview (wawancara), lalu dikompilasi mana (daerah) yang indeks (kerawanan) tinggi. Tapi yang jelas IKP akan kita luncurkan pada Januari 2020 mendatang,” tuturnya. (Baca Juga: Fadli Zon: Bangsa yang Abai terhadap Nasib Guru, Tidak Akan Maju)

Fritz mengungkapkan, yang menjadi tantangan pada Pilkada 2020 mendatang, yakni adanya dua peraturan perundang-undangan dinilai saling berbenturan. Kedua aturan itu adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

“Tantangan terdapat pada kelembagaan Bawaslu, penegakan hukum dan tugas wewenang serta kewajiban Bawaslu,” ujarnya.

Dia menjelaskan, terdapat sejumlah perbedaan yang tertuang dalam dua aturan soal pemilihan tersebut. Terkait penegakan hukum misalnya, waktu penanganan dugaan pelaanggaran memiliki versi yang berbeda. Dalam Undang-undang Pemilu total ada 21 hari, sementara di Undang-undang tentang Pilkada hanya lima hari.

“Penjelasan harinya juga berbeda, untuk pemilu itu hari kerja sesuai pasal 1 angka 28. Sementara untuk pilakda itu hari kalender sesuai putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 105/PUU-XIII/2015 dan Nomor 31/PUU-XVI/2018,” jelasnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8819 seconds (0.1#10.140)