Menangkal Hoaks Jelang Pemilihan Serentak 2020

Senin, 18 November 2019 - 08:30 WIB
Menangkal Hoaks Jelang Pemilihan Serentak 2020
Menangkal Hoaks Jelang Pemilihan Serentak 2020
A A A
M Rinaldi Khair
Anggota KPU Kota Medan, Mantan Jurnalis

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) pada 23 September 2019 secara resmi melakukan launching Pemilihan Serentak 2020 di Jakarta. Ada 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota se-Indonesia yang akan menggelar pemilihan.

Kota Medan merupakan salah satu dari 23 kabupaten/kota se-Sumatera Utara (Sumut) yang akan menggelar Pemilihan Serentak 2020. Secara nasional, Sumut menjadi provinsi terbanyak yang bakal menggelar tahapan pemilihan.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) tentu punya konstelasi politik yang cukup kuat di daerah. Jika tidak dikelola dan diselenggarakan dengan penuh integritas, profesional, dan mandiri, akan sulit untuk mengantisipasi potensi masalah yang bakal muncul. Belajar dari pengalaman Pemilu Serentak 2019 lalu, konstelasi politik yang cukup kuat pada akhirnya menyerang KPU secara kelembagaan.

Serangan-serangan berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian (hate speech) seakan tak pernah berhenti sepanjang tahapan berlangsung. Bahkan hingga saat ini, ketika tahapan Pemilu Serentak 2019 sudah tuntas terselenggara yang ditandai dengan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024, akun media sosial KPU RI belum bisa lepas dari komentar negatif dan ujaran kebencian.

Jika KPU RI sempat dise­rang dengan hoaks mengenai surat suara tercoblos sebanyak 7 kontainer, KPU Medan sesungguhnya juga sempat menjadi sasaran berita bohong yang beredar di media sosial. Sekitar pukul 18.30 WIB, Sabtu, 2 Maret 2019, linimasa media sosial sudah dipenuhi video berdurasi 6 menit 24 detik yang diklaim berisi kericuhan di KPU Medan mengenai adanya surat suara tercoblos ke salah satu pasangan calon.

Dalam hitungan jam sudah ada ribuan netizen yang ikut menyebarluaskan hoaks tersebut. Setiap sebarannya sudah ada puluhan netizen lain yang kembali meneruskan di dinding media sosial masing-masing. Telepon dan pesan instan WhatsApp pun tak berhenti berbunyi, bertanya ke KPU Kota Medan perihal kebenaran kabar tersebut. Bukan hanya di ling­kup Sumut, penyelenggara pe­milu secara nasional ikut mempertanyakannya.

KPU Provinsi Sumut bersama KPU Kota Medan sekira pukul 23.00 WIB langsung berinisiatif menggelar konferensi pers dan merekamnya dalam bentuk video klarifikasi berita hoaks surat suara tercoblos untuk bisa disebarkan melalui media sosial.

Namun, sayang, kecepatan sebaran berita klarifikasi tidak berbanding lurus dengan kecepatan sebaran berita hoaks. Jika diilustrasikan dengan deret matematika, berita hoaks tersebar seperti deret ukur yang terus berlipat ganda, sementara berita klarifikasi hanya tersebar layaknya deret hitung. Apalagi jika klarifikasinya terlambat beberapa jam dari berita hoaks saat pertama kali tersebar.

Menurut guru besar ilmu ko­munikasi Universitas Airlangga (Unair) Prof Henry Subiakto, hoaks dan hate speech itu seperti narkoba. Ada yang memproduksi, ada yang mendistribusi, ada yang butuh dan ada yang ketagihan. Korban sulit disadarkan, padahal merusak mental, cara berpikir, dan membahayakan bangsa. Hal itu dipaparkannya saat Konreg Parmas Gelombang I di Bukit Tinggi, 29 Agustus 2019.

Jika hoaks dan ujaran kebencian sudah seperti narkoba, menanggulanginya pun harus seperti memberantas narkoba, menjadikannya sebagai extraordinary crime. Perlu usaha luar biasa bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk melawan hoaks dan hate speech. Khususnya kepada 270 KPU provinsi dan kabupaten/kota yang saat ini sedang memasuki tahapan Pimilihan Serentak 2020.

Membangun kesadaran kri­tis akan pentingnya menangkal serangan hoaks menjadi sebuah keniscayaan. Se­tiap berita hoaks yang beredar di dunia maya dalam hitungan menit minimal sudah ada klarifikasi dan bantahannya. Bila perlu langsung membuat pernyataan untuk melaporkannya ke pihak kepolisian. Hanya dengan melaporkan ke polisi, sebaran berita hoaks akan perlahan menurun.

Begitu juga dengan ujaran kebencian, setiap muncul komentar negatif yang menjurus pada pelecehan, harus disikapi secara cepat. Dalam hitungan menit bahkan detik, komentar negatif harus terfilter dengan sendirinya.

Untuk itu KPU harus bisa memantau seluruh platform media sosialnya selama 24 jam secara berkesinambungan serta membentuk tim untuk mencari tahu kebenaran dan fakta atas berita hoaks, khususnya tentang Pilkada 2020 yang beredar. Caranya dengan memanfaatkan aplikasi penangkal hoaks yang kini sudah banyak dikembangkan. Hal itu agar berita hoaks dan ujaran kebencian tidak kadung tersebar luas yang mengakibatkan masyarakat sebagai korban terprovokasi dan terbawa emosi.

Hoaks adalah musuh ber­sama yang harus diberantas secara masif. Dorong terus budaya malu terhadap jejak digital ketika share informasi yang masih sumir kebenarannya. Biasakan untuk saring sebelum sharing .

Seperti yang telah diwahyukan Allah SWT dalam QS Al-Hujurat (49) bahwa dalam berinteraksi sosial, manusia harus menjauhi prasangka buruk, bertabayun (melakukan verifikasi) sebelum menyebarkan informasi, tidak mencela, mengolok-olok, bergunjing, memberikan gelar buruk kepada sesama. Manusia dalam berinteraksi harus mendamaikan serta bersikap adil.

Semoga Pemilihan Serentak 2020 membawa kedamaian dan keadilan bersama.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2936 seconds (0.1#10.140)