Monitoring Self-Assessment Kunci Cegah Korupsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Monitoring self-assessment sangat penting dalam meningkatkan penerimaan pajak dan mencegah korupsi. Sistem ini menawarkan transparansi dan akuntabilitas yang diperlukan untuk membangun kepercayaan publik terhadap perpajakan.
"Sistem ini memastikan seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak dilaporkan dengan benar, lengkap, dan jelas. Ini akan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi," kata Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009-2014, Hadi Purnomo, dalam peringatan HUT Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Hadi menjelaskan monitoring self-assessment berfungsi sebagai instrumen pengumpul data untuk membentuk Big Data Perpajakan. Dengan pemetaan yang komprehensif terhadap penerimaan pajak, sistem ini dapat mencakup pendapatan legal dan ilegal serta melibatkan tiga sektor utama: konsumsi, investasi, dan tabungan.
Lebih lanjut, Hadi menggarisbawahi pentingnya digitalisasi dalam penerapan sistem ini. Dengan adanya sistem berbasis link and match, integrasi data Wajib Pajak dapat dilakukan secara lebih efisien, sehingga mempermudah pengawasan dan pencegahan korupsi.
Ia juga menekankan perlunya keterlibatan semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga, dan sektor swasta, untuk membuka akses terhadap data perpajakan. "Ini akan menciptakan transparansi dan mencegah korupsi," kata mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan ini.
Hadi mengacu pada landasan hukum yang mendukung sistem ini, termasuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Ia menegaskan bahwa semua instansi pemerintah dan pihak terkait wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Namun, ia juga menyoroti adanya perlunya revisi terhadap peraturan pelaksanaan yang dinilai inkonsisten. "Inkonsistensi ini menjadi hambatan utama dalam penerapan monitoring self-assessment yang efektif," tuturnya.
Hadi mengusulkan agar peraturan-peraturan yang tidak selaras dengan undang-undang yang lebih tinggi, seperti PMK 66/2008 dan PMK 157/2008, segera direvisi atau dibatalkan. Hal ini diharapkan dapat mewujudkan transparansi dalam sistem perpajakan, serta meningkatkan pengawasan dan akurasi laporan pajak.
"Dengan langkah ini, kita dapat menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya adil, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sosial di Indonesia," katanya.
"Sistem ini memastikan seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak dilaporkan dengan benar, lengkap, dan jelas. Ini akan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi," kata Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009-2014, Hadi Purnomo, dalam peringatan HUT Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Hadi menjelaskan monitoring self-assessment berfungsi sebagai instrumen pengumpul data untuk membentuk Big Data Perpajakan. Dengan pemetaan yang komprehensif terhadap penerimaan pajak, sistem ini dapat mencakup pendapatan legal dan ilegal serta melibatkan tiga sektor utama: konsumsi, investasi, dan tabungan.
Lebih lanjut, Hadi menggarisbawahi pentingnya digitalisasi dalam penerapan sistem ini. Dengan adanya sistem berbasis link and match, integrasi data Wajib Pajak dapat dilakukan secara lebih efisien, sehingga mempermudah pengawasan dan pencegahan korupsi.
Ia juga menekankan perlunya keterlibatan semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga, dan sektor swasta, untuk membuka akses terhadap data perpajakan. "Ini akan menciptakan transparansi dan mencegah korupsi," kata mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan ini.
Hadi mengacu pada landasan hukum yang mendukung sistem ini, termasuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Ia menegaskan bahwa semua instansi pemerintah dan pihak terkait wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Namun, ia juga menyoroti adanya perlunya revisi terhadap peraturan pelaksanaan yang dinilai inkonsisten. "Inkonsistensi ini menjadi hambatan utama dalam penerapan monitoring self-assessment yang efektif," tuturnya.
Hadi mengusulkan agar peraturan-peraturan yang tidak selaras dengan undang-undang yang lebih tinggi, seperti PMK 66/2008 dan PMK 157/2008, segera direvisi atau dibatalkan. Hal ini diharapkan dapat mewujudkan transparansi dalam sistem perpajakan, serta meningkatkan pengawasan dan akurasi laporan pajak.
"Dengan langkah ini, kita dapat menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya adil, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sosial di Indonesia," katanya.
(abd)