KPU Minta Larangan Napi Maju Pilkada Masuk UU
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) berharap agar larangan mantan narapidana korupsi maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang saat ini hanya tercantum dalam Peraturan KPU (PKPU) bisa masuk ke dalam Undang-Undang Pilkada.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, aturan itu mesti dimuat di dalam UU Pilkada. Sebab, masalah ini cukup krusial sehingga tidak cukup tercantum di dalam PKPU saja, tapi harus dimasukkan ke dalam regulasi yang lebih mengikat.
”Kami tentu berharap ada revisi terhadap Undang-Undang (Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada),” kata di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Apalagi, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan frasa larangan eks koruptor maju dalam pemilu legislatif pada PKPU Pileg 2018 lalu. Alasan MA saat itu adalah karena tidak adanya aturan yang melarang eks koruptor menjadi calon angota legislatif dalam UU Pemilu.
Agar pembatalan tersebut tidak terjadi lagi, KPU berharap UU Pilkada bisa direvisi secepatnya. ”Saya berharap kalau UU itu direvisi, bisa diselesaikan tahun ini atau setidaknya awal tahun. Karena Mei atau Juni sudah mulai proses pencalonan itu,” ujar Arief.
Komisioner KPU Pramono Ubaid menambahkan, upaya KPU untuk mengatur soal mantan napi koruptor dalam pencalonan pilkada ini bukan hanya dilakukan melalui penyusunan PKPU.
”Kalaupun nanti ada revisi undang-undang, entah kita tidak tahu kapan waktunya, gagasan ini tetap juga akan kita lakukan. Jadi kami mengupayakan semua pintu yang mungkin kita tempuh untuk gagasan ini terwujud,” katanya.
Karena itu, pihaknya sangat berterima kasih kepada pemerintah dan DPR jika revisi UU Pemilu bisa dilakukan dan gagasan soal larangan napi koruptor maju sebagai kepala daerah masuk di dalamnya bisa diakomodasi.
”Karena saat ini belum ada kejelasan tentang kapan revisi itu bisa dilakukan, maka mudah-mudahan peraturan di PKPU ini mungkin mendapatkan dukungan dari pemerintah dan DPR,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, saat ini tahapan pilkada sudah berlangsung untuk proses penjaringan calon. Jika sekarang ada usulan revisi pihaknya masih akan menimbang lagi.
”Apakah nanti kalau revisi kemudian mengganggu tahapan atau tidak. Kalau toh harus revisi, pada bagian mana yang tidak mengganggu tahapan. Kan misalnya begitu. Padahal persiapan pencalonan, terutamanya perorangan itu akan dimulai awal Desember. Kalau direvisi bagaimana? Kan begitu,” tutur politikus PDIP ini.
Menurut dia, revisi bisa dilakukan sejauh tidak mengganggu tahapan dan urusannya memperbaiki sistem, serta memiliki semangat yang sama untuk memberantas tumbuh kembangnya korupsi. ”Kita lihat sejauh tidak menggangu penyelenggaraan, saya pastikan tentu bisa. Tapi kita akan cek mana yang harus diubah,” urainya.
Arif menuturkan, jadwal dan program pilkada sudah diatur dalam PKPU. Untuk persiapan calon perorangan dilakukan pada Desember awal.
”Anda bisa bayangkan ini sudah November. Lah kalau mengubah UU Pilkada termasuk pencalonan, berarti kan sudah masuk calon perorangan, kan enggak mungkin,” katanya.
Karena itu, menurutnya, jangan sampai usulan perubahan oleh KPU justru mengganggu tahapan Pilkada. ”Apakah perubahan itu dimungkinkan atau tidak? Kalau tidak kan mengganggu tahapan. Kalau mengganggu tahapan, berarti menggagalkan pilkada dong,” katanya.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, aturan itu mesti dimuat di dalam UU Pilkada. Sebab, masalah ini cukup krusial sehingga tidak cukup tercantum di dalam PKPU saja, tapi harus dimasukkan ke dalam regulasi yang lebih mengikat.
”Kami tentu berharap ada revisi terhadap Undang-Undang (Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada),” kata di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Apalagi, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan frasa larangan eks koruptor maju dalam pemilu legislatif pada PKPU Pileg 2018 lalu. Alasan MA saat itu adalah karena tidak adanya aturan yang melarang eks koruptor menjadi calon angota legislatif dalam UU Pemilu.
Agar pembatalan tersebut tidak terjadi lagi, KPU berharap UU Pilkada bisa direvisi secepatnya. ”Saya berharap kalau UU itu direvisi, bisa diselesaikan tahun ini atau setidaknya awal tahun. Karena Mei atau Juni sudah mulai proses pencalonan itu,” ujar Arief.
Komisioner KPU Pramono Ubaid menambahkan, upaya KPU untuk mengatur soal mantan napi koruptor dalam pencalonan pilkada ini bukan hanya dilakukan melalui penyusunan PKPU.
”Kalaupun nanti ada revisi undang-undang, entah kita tidak tahu kapan waktunya, gagasan ini tetap juga akan kita lakukan. Jadi kami mengupayakan semua pintu yang mungkin kita tempuh untuk gagasan ini terwujud,” katanya.
Karena itu, pihaknya sangat berterima kasih kepada pemerintah dan DPR jika revisi UU Pemilu bisa dilakukan dan gagasan soal larangan napi koruptor maju sebagai kepala daerah masuk di dalamnya bisa diakomodasi.
”Karena saat ini belum ada kejelasan tentang kapan revisi itu bisa dilakukan, maka mudah-mudahan peraturan di PKPU ini mungkin mendapatkan dukungan dari pemerintah dan DPR,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, saat ini tahapan pilkada sudah berlangsung untuk proses penjaringan calon. Jika sekarang ada usulan revisi pihaknya masih akan menimbang lagi.
”Apakah nanti kalau revisi kemudian mengganggu tahapan atau tidak. Kalau toh harus revisi, pada bagian mana yang tidak mengganggu tahapan. Kan misalnya begitu. Padahal persiapan pencalonan, terutamanya perorangan itu akan dimulai awal Desember. Kalau direvisi bagaimana? Kan begitu,” tutur politikus PDIP ini.
Menurut dia, revisi bisa dilakukan sejauh tidak mengganggu tahapan dan urusannya memperbaiki sistem, serta memiliki semangat yang sama untuk memberantas tumbuh kembangnya korupsi. ”Kita lihat sejauh tidak menggangu penyelenggaraan, saya pastikan tentu bisa. Tapi kita akan cek mana yang harus diubah,” urainya.
Arif menuturkan, jadwal dan program pilkada sudah diatur dalam PKPU. Untuk persiapan calon perorangan dilakukan pada Desember awal.
”Anda bisa bayangkan ini sudah November. Lah kalau mengubah UU Pilkada termasuk pencalonan, berarti kan sudah masuk calon perorangan, kan enggak mungkin,” katanya.
Karena itu, menurutnya, jangan sampai usulan perubahan oleh KPU justru mengganggu tahapan Pilkada. ”Apakah perubahan itu dimungkinkan atau tidak? Kalau tidak kan mengganggu tahapan. Kalau mengganggu tahapan, berarti menggagalkan pilkada dong,” katanya.
(cip)