Keindahan dan Kebenaran: Seni dan Kepantasan di Mata serta Telinga
loading...
A
A
A
Al Makin
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
KITA selalu mengatur penampilan bukan? Baju yang bagus-bagus dipakai, supaya percaya diri. Kurang pantas membaut kita tidak nyaman. Sepatu yang pas saja di lekatkan di kaki, baik sepatu sport atau resmi kulit. Yang bersih dan baik. Feysen adalah penampilan kita, harus indah paling tidak menurut perasaan sendiri.
Begitu juga dalam online, media sosial: Instagram, Tiktok dan Facebook. Semua kita tampilkan yang indah-indah.
Yang tidak pantas kita edit, rapikan, jika tidak bisa ya dibuang. Kita atur penampilan secara luring dan daring, offline dan online, itulah keindahan. Itulah seni.
Seni agar pantas. Kepantasan juga sekaligus kebenaran. Itulah seni. Keindahan terkait dengan kebenaran, kebenaran itu ya keindahan itu sendiri, baik untuk diri sendiri atau konsumsi publik.
Seni bisa mengukur kejernihan pikiran dalam memandang. Mungkin kita perlu sudut pandang kesenian dan keindahan untuk mengukur kepantasan. Sesuatu yang pantas dan tidak pantas, seni adalah salah satu ukurannya. Apabila suatu obyek itu nyaman didengar, sedap dilihat, indah dipandang, dan menenangkan dirasakan, maka itu indah. Indah sekaligus benar. Keindahan adalah kebenaran.
Perbuatan, kata, kabar, rumor, update gambar, berita sosial media, mungkin bisa dijadikan bahan renungan. Apakah itu pantas? Apakah nyaman di telinga? Apakaah sedap di mata? Apakah menenangkan di hati?
Jika benar, itulah kebenaran dan kepantasan. Jika tidak, berarti ada yang salah.
Rasa-rasanya budaya dan bahasa berbagai suku dan etnis Nusanara kita yang kaya ini bisa menjadi tolak ukur seninya. Kejadian sosial, ekonomi, dan politik juga bisa diukur lewat seni dan keindahan.
Indah? Pantas? Sedap? Nyaman? Menenangkan? Adat Jawa, Dayak, Batak, Sasak, Bugis, Madura, Bali mempunya cita rasa keindahan dan kepantasan. Mungkin sama secara isi, beda dalam bahasa, dan itulah kebenaran.
Bisa jadi suatu berita atau rumor dirasakan tidak pantas, terus tidak layak dilihat dan dibaca khalayak publik, berarti tidak benar. Mungkin sudah benar-benar terjadi, tetapi tidak benar secara moral. Apalagi jika harus ditutup-tutupi, diedit, dihilangkan dari google, frekuensi berita dibuang agar jangan sampai viral, tentu ini tidak menyamankan.
Pemikir Indonesia sekaligus seniman kata dan pena, Yusuf Bilryarta Mangunwijaya (1929-1999) dulu sering mengingatkan prinsip Thomas Aquinas (1225-1274), splendor veritatis. Keindahan adalah kebenaran. Indah itu benar, keindahan mengandung kebenaran.
Thomas Aquinas adalah seorang pemikir dan agamawan yang perhatian pada moral, etika, norma, dan ilmu. Tentu kaitannya jelas, dia berfikir jika sesuai dengan ilmu pasti indah.
Jika sesuatu sudah sesuai dengan kaedah etika dan norma, itu pasti enak disampaikan. Jika tidak layak, walaupun sudah menjadi kenyataan, tentu terus ditutup-tutupi. Jangan sampai menjadi konsumsi publik dan viral.
Mangunwijaya adalah seorang novelis, arsitektur, aktivis, sekaligus kritikus tulen yang obyektif dan jernih. Dalam kata dan tulisan dia ungkapkan ketidakindahan dan keindahan realitas Indonesia era Orde Baru (rumah kumuh di Kali Code, penggusuran di Kedungombo, sistem pendidikan yang timpang, pembangunan, dan patriotisme/cinta tanah air yang dibuat-buat). Tidak banyak yang menyoroti secara gamblang dan jelas realitas yang berjalan era itu karena kebijakan represif pemerintah.
Kala itu, pemerintah Orde Baru tidak sudi mendengar yang tidak indah tentang pemerintah di mata, hati, dan telinga rakyat. Seakan semua tembok mengamati dan mengawasi semua jenis berita. Berita harus diatur supaya indah. Berita keindahan kebijakan pemerintah direkayasa agar berjalan sesuai dengan kenyamanan.
Kini kita layak merenung lagi: mana yang pantas, tidak pantas, mana yang indah, tidak indah, mana yang nyaman, tidak nyaman, mana yang sedap, tidak sedap, mana yang menenangkan, mana yang menggusarkan, dan mana yang mengkhawatirkan. Boleh jadi, kita kembali pada cita rasa dasar ini, seni, keindahan, kepantasan, dan sekaligus kebenaran.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
KITA selalu mengatur penampilan bukan? Baju yang bagus-bagus dipakai, supaya percaya diri. Kurang pantas membaut kita tidak nyaman. Sepatu yang pas saja di lekatkan di kaki, baik sepatu sport atau resmi kulit. Yang bersih dan baik. Feysen adalah penampilan kita, harus indah paling tidak menurut perasaan sendiri.
Begitu juga dalam online, media sosial: Instagram, Tiktok dan Facebook. Semua kita tampilkan yang indah-indah.
Yang tidak pantas kita edit, rapikan, jika tidak bisa ya dibuang. Kita atur penampilan secara luring dan daring, offline dan online, itulah keindahan. Itulah seni.
Seni agar pantas. Kepantasan juga sekaligus kebenaran. Itulah seni. Keindahan terkait dengan kebenaran, kebenaran itu ya keindahan itu sendiri, baik untuk diri sendiri atau konsumsi publik.
Seni bisa mengukur kejernihan pikiran dalam memandang. Mungkin kita perlu sudut pandang kesenian dan keindahan untuk mengukur kepantasan. Sesuatu yang pantas dan tidak pantas, seni adalah salah satu ukurannya. Apabila suatu obyek itu nyaman didengar, sedap dilihat, indah dipandang, dan menenangkan dirasakan, maka itu indah. Indah sekaligus benar. Keindahan adalah kebenaran.
Perbuatan, kata, kabar, rumor, update gambar, berita sosial media, mungkin bisa dijadikan bahan renungan. Apakah itu pantas? Apakah nyaman di telinga? Apakaah sedap di mata? Apakah menenangkan di hati?
Jika benar, itulah kebenaran dan kepantasan. Jika tidak, berarti ada yang salah.
Rasa-rasanya budaya dan bahasa berbagai suku dan etnis Nusanara kita yang kaya ini bisa menjadi tolak ukur seninya. Kejadian sosial, ekonomi, dan politik juga bisa diukur lewat seni dan keindahan.
Indah? Pantas? Sedap? Nyaman? Menenangkan? Adat Jawa, Dayak, Batak, Sasak, Bugis, Madura, Bali mempunya cita rasa keindahan dan kepantasan. Mungkin sama secara isi, beda dalam bahasa, dan itulah kebenaran.
Bisa jadi suatu berita atau rumor dirasakan tidak pantas, terus tidak layak dilihat dan dibaca khalayak publik, berarti tidak benar. Mungkin sudah benar-benar terjadi, tetapi tidak benar secara moral. Apalagi jika harus ditutup-tutupi, diedit, dihilangkan dari google, frekuensi berita dibuang agar jangan sampai viral, tentu ini tidak menyamankan.
Pemikir Indonesia sekaligus seniman kata dan pena, Yusuf Bilryarta Mangunwijaya (1929-1999) dulu sering mengingatkan prinsip Thomas Aquinas (1225-1274), splendor veritatis. Keindahan adalah kebenaran. Indah itu benar, keindahan mengandung kebenaran.
Thomas Aquinas adalah seorang pemikir dan agamawan yang perhatian pada moral, etika, norma, dan ilmu. Tentu kaitannya jelas, dia berfikir jika sesuai dengan ilmu pasti indah.
Jika sesuatu sudah sesuai dengan kaedah etika dan norma, itu pasti enak disampaikan. Jika tidak layak, walaupun sudah menjadi kenyataan, tentu terus ditutup-tutupi. Jangan sampai menjadi konsumsi publik dan viral.
Mangunwijaya adalah seorang novelis, arsitektur, aktivis, sekaligus kritikus tulen yang obyektif dan jernih. Dalam kata dan tulisan dia ungkapkan ketidakindahan dan keindahan realitas Indonesia era Orde Baru (rumah kumuh di Kali Code, penggusuran di Kedungombo, sistem pendidikan yang timpang, pembangunan, dan patriotisme/cinta tanah air yang dibuat-buat). Tidak banyak yang menyoroti secara gamblang dan jelas realitas yang berjalan era itu karena kebijakan represif pemerintah.
Kala itu, pemerintah Orde Baru tidak sudi mendengar yang tidak indah tentang pemerintah di mata, hati, dan telinga rakyat. Seakan semua tembok mengamati dan mengawasi semua jenis berita. Berita harus diatur supaya indah. Berita keindahan kebijakan pemerintah direkayasa agar berjalan sesuai dengan kenyamanan.
Kini kita layak merenung lagi: mana yang pantas, tidak pantas, mana yang indah, tidak indah, mana yang nyaman, tidak nyaman, mana yang sedap, tidak sedap, mana yang menenangkan, mana yang menggusarkan, dan mana yang mengkhawatirkan. Boleh jadi, kita kembali pada cita rasa dasar ini, seni, keindahan, kepantasan, dan sekaligus kebenaran.
(poe)