Mengangkat Warisan Budaya Tradisi Mandi ke Aek

Senin, 02 September 2024 - 17:24 WIB
loading...
Mengangkat Warisan Budaya...
Sosialisasi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTbI) Tradisi Mandi ke Aek. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Festival Bumi Seentak Galah Serengkuh Dayung Jilid 3 di Kabupaten Tebo menggelar lokakarya yang membahas Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTbI) Tradisi Mandi ke Aek. Festival tersebut bagian dari rangkaian acara Kenduri Swarnabhumi 2024.

Adapun tradisi Mandi ke Aek merupakan upacara adat yang telah dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat Daerah Aliran Sungai (DAS Batanghari) termasuk masyarakat Kelurahan Sungai Bengkal, Kabupaten Tebo. Tradisi itu menjadi salah satu simbol kebersamaan serta hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Pewaris WBTbI Tradisi Mandi Ke Aek, Novpriadi mengatakan, tradisi Mandi ke Aek khususnya di wilayah Tebo dilakukan saat bayi berusia tujuh hari atau setelah lepasnya tali pusat. “Prosesi ini, yang juga dikenal sebagai ‘nyebur’, merupakan bentuk penghormatan terhadap alam dan leluhur, serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kelahiran seorang anak,” ujar Novpriadi, Senin (2/9/2024).



Dalam prosesi ini, bayi digendong oleh seorang dukun yang membantu proses kelahirannya, dan diarak menuju sungai Batanghari dengan iring-iringan keluarga besar dari pihak ayah dan ibu. Dukun membawa tunam yang dibungkus kain hitam dan dibakar untuk membuka jalan dengan asapnya.

Setelah tiba di sungai, bayi dimandikan dengan air sungai yang telah dicampur dengan kembang tujuh rupa dan berbagai bahan lainnya, sambil dukun membacakan mantra: “Mudik Aek Ilir Aek, Ambek Aek pepat an Batang. Beranjak kau antu Aek, Aku nan Mandian anak cucu Adam.”

Usai dimandikan, bayi dibawa kembali ke rumah untuk diayun dalam kain panjang, disertai dengan pembacaan selawat nabi dan doa keselamatan. Prosesi ini juga memiliki makna sosial dan spiritual yang mendalam, seperti memperkenalkan bayi kepada lingkungan alam, terutama sungai yang menjadi sumber kehidupan, dan mengungkapkan rasa syukur serta terima kasih kepada dukun beranak.

“Pada umumnya, tradisi ini terjadi di wilayah atau daerah sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Yang membedakan ritusnya saja,” tuturnya.

Kendati demikian, karena kondisi Sungai Batanghari yang sudah tidak baik untuk kesehatan bayi, tradisi Mandi Ke Aek dilakukan dengan menggunakan media baskom. Prosesi pemandian bayi dilakukan dalam baskom bukan ke sungai. Namun semua prosesi lain termasuk doa-doa tetap dilakukan.

Pamong Ahli Budaya Kemendikbudristek Siswanto mengapresiasi pelestarian tradisi Mandi ke Aek dalam festival. “Kenduri Swarnabhumi 2024, melalui Festival Bumi Seentak Galah Serengkuh Dayung, berhasil mengangkat kembali tradisi-tradisi lokal seperti Mandi Ke Aek,” tutur Siswanto.

“Ini adalah langkah penting untuk menjaga keberlangsungan warisan budaya kita, agar tetap hidup dan dikenal oleh generasi muda. Tradisi ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga cerminan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dalam berinteraksi dengan alam dan sesama,” sambungnya.

Partisipasi komunitas dalam festival ini juga turut diapresiasi oleh komunitas, salah satunya adalah Komunitas Sanggar Seni Kuali Emas dari Desa Teluk Kuali. Perwakilan Komunitas Sanggar Seni Kuali Emas dari Desa Teluk Kuali Andi mengatakan pihaknya bangga bisa turut andil menyukseskan festival ini.

“Kami merasa terhormat bisa menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya ini. Melalui festival ini, kami berharap semakin banyak orang yang mengenal dan mencintai tradisitradisi lokal, serta memahami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya,” katanya.

Festival yang digelar di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi ini merupakan satu dari 12 festival budaya Kenduri Swarnabhumi 2024 yang diharapkan menjadi katalis bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di sepanjang DAS Batanghari, membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.

Sedangkan Kenduri Swarnabhumi bakal digelar di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, yakni di 10 kabupaten/kota se-Provinsi Jambi dan satu Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat dengan mengangkat narasi hubungan penting antara kebudayaan dengan pelestarian lingkungan, khususnya sungai, dan sebaliknya juga tentang pelestarian lingkungan untuk kebudayaan berkelanjutan.

Rangkaian pagelaran festival budaya yang akan diselenggarakan oleh masyarakat setempat ini, menjadi momentum memperkuat semangat kemandirian dalam mengangkat kearifan lokalnya. Setiap festival yang digelar akan berkoordinasi dengan Direktur Festival dan Kurator Lokal serta didukung Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman Musik dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1569 seconds (0.1#10.140)