Diskursus Identitas: Ragam Afiliasi Sampai 'Fallacy of Composition'

Kamis, 10 Oktober 2019 - 08:32 WIB
Diskursus Identitas: Ragam Afiliasi Sampai Fallacy of Composition
Diskursus Identitas: Ragam Afiliasi Sampai 'Fallacy of Composition'
A A A
Muhammad Husni Abdul Fatah
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Pada 1940 seorang anak kecil di India menjerit di halaman rumahnya. Ia kaget melihat ada seorang lelaki dewasa meminta tolong, badan lelaki itu berlumuran darah karena ditikam. Anak kecil itu bersama ayahnya membawa si lelaki ke rumah sakit terdekat, namun nahas, nyawanya tak tertolong.

Sebelum meninggal lelaki itu bercerita kepada ayah si anak kecil bahwa sebenarnya ia tidak diizinkan untuk mencari kerja oleh istrinya, tapi keadaan miskin memaksanya pergi mencari kerja, dan sialnya ia terjebak dalam konflik sektarian. Korban bernama Kader Mia ini seorang muslim yang ditikam oleh rekan sesama buruh beragama Hindu. Kejadian yang berujung pada kematiannya.

Anak kecil itu bernama Amartya Sen, salah satu peraih Nobel Ekonomi. Sen menceritakan trauma masa kecilnya dalam buku berjudul 'Kekerasan dan Identitas'. Setelah peristiwa itu ayahnya membawa Sen sekeluarga pergi meninggalkan daerah konflik tersebut dan tentu membawa banyak tanda tanya. "Mengapa ia ditikam? Padahal ia sama-sama mencari pekerjaan, sama-sama mencari makan dan sama-sama miskin."

Ragam Identitas
Dalam buku yang sama, Sen menjelaskan sebuah antitesis dari clash of civilizations ala Samuel Huntington, yang menekankan terjadinya konflik karena perbedaan kebudayaan. Akan tetapi, menurut Sen, pemikiran Huntington tidak tepat karena mendasarkan identitas manusia hanya berdasarkan pada kebudayaan.

Begitu juga dengan Karl Marx memisahkan manusia hanya berdasarkan kelas sosial, adanya borjuis (pemilik alat produksi dan modal) dengan proletar (tidak memiliki keduanya). Pendapat ini dianggap tidak tepat oleh banyak pakar sosiologi karena generalisasinya terhadap masyarakat berdasar faktor ekonomi, padahal masih banyak variabel sosial lain (Sunarto: 2000). Menurut Sen, manusia memiliki identitas beragam.

Sebagai contoh, saya memiliki teman bernama Farid. Ia merupakan mahasiswa di universitas ternama. Dalam deskripsi, apakah ia hanya seorang mahasiswa? Tidak. Ia memiliki identitas lainnya. Ia merupakan penghafal Alquran, memiliki minat besar di kemaritiman, bersuku Jawa, lulusan pondok pesantren dan sangat menguasai matematika. Selain itu, ia juga aktif berorganisasi dan identitas-identitas lainnya. Apakah identitasnya hanya sebagai mahasiswa? Tidak. Tapi beragam. Itulah yang disebut ragam identitas.

Karenanya, setiap insan dari masyarakat harus menyadari manifestasi unik dari identitasnya. Sebuah identitas bisa menjadi akar pemicu konflik atau sebaliknya, yakni menjadi akar terciptanya perdamaian. Persoalan identitas ini tidak stagnan, melainkan akan terus berkembang seiring perubahan masa.

Fallacy of Composition
Menghadapi keberagaman, masyarakat memerlukan cara berpikir yang tepat dalam menghadapi keberagaman. Tanpa berpikir tepat, apalagi hanya berupa narasi politik yang dibumbui kepentingan sesaat. Saat ini kita menghadapi dua atau bahkan tiga fenomena, yaitu penolakan terhadap RUU KPK, RKUHP, dan ditangkapnya salah satu menteri muda dari kalangan nahdliyin.

Meski sangat urgen untuk membahas mengenai RUU KPK hingga RKUHP, ada hal lain yang perlu diulas menyangkut fenomena pertama dan ketiga. Narasi KPK dilemahkan sehingga muncul dan menimbulkan kontra dari kalangan mahasiswa. Akan tetapi, ada pula yang mendukung KPK dilemahkan dengan melempar isu "Polisi Taliban". Isu yang digelontorkan itu menyiratkan bahwa di KPK terdapat oknum-oknum radikal sehingga perlu dilemahkan.

Benar bahwa KPK merupakan lembaga memiliki dukungan politik terbesar dibanding lembaga lainnya. Karena itu, apa pun yang dilakukan KPK bisa bermuatan politis. Namun, jika dilihat dari pasal-pasal pada RUU tersebut, tidak bisa tidak berbau upaya pelemahan terhadap KPK. Bahkan, dalam konferensi pers oleh KPK, sampai beberapa jam sebelum disahkan, isi revisi tersebut belum dibuka kepada publik.

Kemudian timbul pernyataan bahwa salah satu menteri muda terbaik di kabinet, Imam Nahrawi, dinyatakan bersalah atas salah satu kasus korupsi. Timbul reaksi masif dari publik, banyak yang menyayangkan dan banyak juga justru menyatakan kalau ini kasus politis. Kemudian ormas yang "mengader" menteri tersebut dikritik banyak pihak. Ramai pihak, terutama yang kontra dengan Nahdlatul Ulama menyalahkan, menyebut ormas tersebut sarang koruptor dan sebagainya.

Benarkah narasi yang dilontarkan orang-orang itu secara sepihak? Benarkah ormas tersebut merupakan sarang koruptor? Sebelum menjawab, hendaknya kita beralih pada kasus serupa meski itu pun terjadi di kubu berlawanan. Pada 2013 terjadi kasus suap kuota impor. Salah satu tersangkanya ialah Luthfi Hasan Ishaaq, presiden PKS waktu itu. Lalu, bagaimana reaksinya? Banyak yang kemudian menyebut bahwa partai Islam tersebut merupakan partai korup, pengkhianat Islam, dan sebagainya.

Ya, serupa reaksinya. Banyak yang menilai mengeneralisasikan kesalahan individu tersebut menjadi kesalahan organisasi secara luas. Padahal kita tidak bisa menyimpulkan demikian. Bentuk penyimpulan tersebut merupakan salah satu kesalahan berpikir yang disebut fallacy of composition.

Fallacy of composition ialah sebuah kesalahan berpikir yang terjadi bilamana argumentasi memperlakukan kebenaran partikular juga pasti berlaku pada kebenaran keseluruhannya (Meliono, 2017). Karena itu, menyebabkan generalisasi secara sepihak yang melahirkan stigma, labelling, fanatisme, dan diskriminasi.

Contoh lain dalam ekonomi ialah soal menghemat. Pada tingkat individu, menghemat merupakan tindakan baik. Namun, jika semua individu menghemat, maka akan mengganggu pertumbuhan ekonomi yang ada. Dalam kata lain, yang terjadi pada skala kecil belum tentu serupa jika dalam skala besar (Rahardja, 2019).

Bentuk kesesatan berpikir itu masih kita temukan di masyarakat pada umumnya. Orang-orang masih berpikir berdasarkan stigma. Menganggap kelompoknya yang paling benar, menganggap kelompok lainnya terbelakang, dan lainnya. Kesesatan berpikir ini merupakan antitesis dari ragam afiliasi identitas yang ada.

Munculnya Narasi Kontra-Ilmiah
Apa akibatnya? Masyarakat menjadi tidak teredukasi. Masyarakat awam menjadi antipati terhadap hal-hal sebenarnya dapat mengedukasi dan membuka cakrawala baru. Namun, karena beberapa pihak menyebutnya sebagai "radikal" dan "liberal", menyebabkan kebingungan sehingga diskusi publik pun berisikan stigma-stigma.

Kalaupun benar, publik harus paham, mengapa pemikiran atau golongan itu disebut demikian secara ilmiah. Jika pihak tersebut tidak setuju disebut demikian, jalan terbaik ialah membantah argumennya. Bukan dengan mengekang pemikiran-pemikiran yang ada.

Kita mengenang Imam al-Ghazali dahulu pernah membantah pemikiran filsafat ala Ibnu Rusydi melalui Tahafut al-Falasifah. Kemudian Ibnu Rusydi membantah karangan itu dengan Tahafut at-Tahafut. Buku dibantah dengan buku. Pemikiran dibantah dengan pemikiran. Di saat lain, al-Ghazali pernah menulis Al-Mustashfa, yang justru karangan itu dibuat ringkasannya oleh Ibnu Rusydi berjudul ad-Dharuri fi Ushul al-Fiqh dengan menambahkan beberapa definisi penting.

Artinya apa? Mereka ini bukanlah saling haters melainkan kritis. Pada akhirnya, perbedaan pendapat melahirkan nalar kritis dengan narasi ilmiah. Berbeda dengan kini, ketika perbedaan pendapat justru melahirkan stigmatisasi dan caci maki (Hosen, 2019).

Akhir Kata
Diskursus soal identitas tidak pernah berakhir. Identitas menjadi sebuah pemicu maupun pereda dari sebuah konflik. Karenanya, perlu dipahami bahwa identitas itu tidak tunggal karena setiap individu memiliki identitas beragam. Konflik identitas terjadi akibat bersinggungannya satu identitas dengan identitas lainnya. Meredanya konflik pun diakibatkan kesamaan antarsatu identitas dengan identitas lainnya.

Jangan sampai karena tidak memahami ragam afiliasi, kita menjadi terjebak pada narasi-narasi yang mengeneralisasikan, kontra-ilmiah, dan mematikan nalar berpikir, yang menyebabkan jatuh pada kefanatikan dan perpecahan. Manusia Indonesia perlu berhenti sejenak, memikirkan apa yang telah dilakukan. Mengoreksi apa yang telah diperbuat. Jangan sampai kekuasaan, ketamakan, dan kerakusan, membuat anak-cucu kita mengutuk perbuatan kita hari ini.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7593 seconds (0.1#10.140)